Aku sedang malas berdialog,
biar kukisahkan kisahku delapan tahun lalu ini lewat paparan narasi saja. Kisah
yang meski sudah berbilang tahun lamanya, tapi masih tetap sukses membuatku
merasa heran luar biasa. Mungkin karena ini adalah pengalaman horor dan mistis
pertama yang kejadiannya paling runut—tiga hari berturut-turut.
Saat itu aku kelas 8 SMP,
sekitar tahun 2006. Kejadian menyeramkan ini terjadi berawal dari insiden kecelakaan
maut yang merenggut nyawa salah satu kawan SD yang juga merangkap kawan SMP-ku.
Kakinya terlindas mobil pick up, dan kepalanya hancur tergilas mobil pengangkut
minyak pertamina saat motor yang ditumpangi bersama ayahnya selepas mudik
Lebaran itu tersenggol oleh pengendara lain, kemudian oleng dan membuat mereka
terjatuh di jalan raya yang padat merayap.
Entah berapa kali aku
menceritakan kisah ini pada teman-temanku, mencoba memberi keyakinan bahwa saat
itu aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Ini nyata, aku yakin, aku merasakan
“keberadaannya”.
Aku dan dia bisa dibilang
bukan teman dekat, meski kami sudah 8 tahun berteman sejak kelas 1 SD hingga
berakhir di kelas 8 SMP. Namun sejak SD, dia terbilang cukup “memujaku”. Setiap
kali menulis biodata di buku teman-teman untuk kenangan, dia kerap menulis
bahwa teman terbaik yang paling disukainya adalah aku. Dan salah satu kejadian
terakhir semasa hidupnya yang paling kuingat adalah saat hari Jum’at menjelang
bulan puasa Ramadhan, satu bulan sebelum kematiannya.
Saat itu aku dan
teman-teman dekatku yang sudah bersama sejak SD, tengah duduk-duduk di salah
satu saung pinggir kali. Rutinitas yang kerap kami lakukan sepulang sekolah,
sekadar untuk mengobrol dan melepas penat karena perjalanan menuju rumah cukup
jauh ditempuh dengan hanya berjalan kaki.
Waktu itu aku sedang
memetik bunga-bunga yang tumbuh cantik di sekitar pinggir kali yang tertata
rapi dengan permadani rumput hijaunya, sementara “dia” sedang duduk diayunan,
dan teman-teman lain mengobrol di saung. Pinggiran kali ini memang bukan kali
biasa, tapi bisa disebut taman bermain warga. Reward dari perda sebab desaku
telah terpilih sebagai desa teladan. Selain taman, perlengkapan bermain anak,
juga disediakan kanopi di kalinya untuk berkeliling sepanjang desa.
Iseng aku bertanya padanya,
apakah dia akan turut serta dalam program pesantren kilat yang dicanangkan
sekolah pada Ramadhan besok. Dia yang kala itu mengenakan kemeja putih, jilbab
putih, dan celana krem—karena setiap hari Jum’at di sekolahku diwajibkan untuk
memakai busana muslim—, menjawab dengan masih berayun-ayun di ayunan yang
menggantung di bawah pohon mangga besar. Katanya, dia akan ikut kalau aku juga
ikut.
Sore itu,
salah seorang teman dekatku datang ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Dia memanggil-manggil
namaku. Aku yang baru bangun tidur pun menghampirinya dengan enggan. Mata yang
masih ingin erat mengatup, akhirnya terbelalak sempurna saat temanku itu
memberitakan kabar jika “dia” telah meninggal dunia saat dalam perjalanan
kembali menuju desa kami, selepas mudik Lebaran di kampung halaman orangtuanya
di Cirebon.
Lama aku
terdiam dan menganggap ini semua hanya mimpi atau lelucon yang sama sekali
tidak lucu. Entah kenapa aku sering memikirkannya meski berulang kali kutepis
dan berusaha keras mengalihkannya dengan memikirkan hal lain. Namun ternyata,
pikiran tentangnya merasuk hingga ke alam bawah sadarku, hingga akhirnya dia
kembali untuk “mengajakku”. Dia mau “pergi” hanya jika aku bersamanya.
Malam itu
aku tidur di kamarku. Memiliki ranjang yang luas membuatku lebih nyaman tidur
dengan posisi vertikal. Saat itu, tiba-tiba aku terbangun dengan posisi badan
menghadap ke kanan. Wajahku tepat menghadap ke arah lemari tua berukuran besar
yang memiliki cermin dari ujung atas hingga ujung bawahnya. Dari dalam cermin
itu, aku bisa melihat jelas pantulan wajahku. Mataku melotot, dengan mulut yang
mengatup kuat. Posisi kedua tanganku menyilang di depan dada hingga ke
punggung, seperti mengunci tubuhku sendiri.
Sekuat
tenaga aku berusaha melepaskan “jeratan” itu agar tubuhku bisa terbebas, tapi
sekeras itu juga “dia” berusaha untuk tetap “memelukku” agar bersamanya. Hingga
akhirnya aku semakin lelah, berteriak pun tak bisa sama sekali. Aku nyaris
putus asa, sebelum kemudian satu cara kutempuh agar aku tak benar-benar diam
hingga akhirnya berakibat dia bisa dengan mudah menyeretku bersamanya.
Kutatap
pantulan wajahku di depan cermin, masih dengan posisi meringkuk dengan kedua
tangan menyilang di depan dada. Kutarik ujung-ujung bibirku hingga membentuk
simetris. Aku tersenyum. Aku terus tersenyum. Karena hanya hal itu yang bisa
kulakukan setelah lelah melakukan perlawanan. Yang penting aku masih melakukan
gerakan dan tidak diam sama sekali. Entah kenapa saat itu aku berkeyakinan jika
aku benar-benar diam dan pasrah, maka aku akan dengan mudah diseret olehnya.
Entah
berapa lama aku berada dalam kondisi seperti itu, hingga akhirnya satu hentakan
dari dalam diriku membuatku terbangun dengan buliran keringat besar-besar.
Mungkin benar ini hanya mimpi, mungkin benar aku terserang sleep paralysis, tapi satu keanehan muncul dan membuatku yakin
bahwa yang baru saja terjadi padaku bukan sekadar bunga tidur biasa. Aku
terbangun dengan posisi tubuh meringkuk menghadap cermin, dengan kedua tangan
menyilang di depan dada hingga punggung.
Paginya,
aku belum menceritakan hal itu pada siapa pun. Entah, aku merasa dia memintaku
untuk merahasiakannya. Hingga tibalah malam kedua setelah kejadian itu, aku
kembali tidur dengan posisi vertikal, seperti biasanya.
Lagi-lagi
dia mendatangiku, kali ini aku melawan dengan lebih beringas. Aku berteriak
memanggil ibuku yang di dalam mimpi itu tengah sholat bersama puluhan wanita
lainnya di sebuah tanggul, hanya dengan beralaskan undakan tanah merah, dengan
mengenakan mukena putih bersih. Aku terus memanggil, namun suaraku tak ada yang
terhantarkan angin, kembali berpulang dan menggaung di dalam relung-relung
perut.
Hingga akhirnya aku
terbangun, dengan posisi yang lagi-lagi sama persis seperti di dalam mimpiku.
Menghadap ke tembok putih, yang jika ditarik lurus aku menghadap ke arah di
mana ibuku sedang tertidur pulas di ruang keluarga depan TV. Kisah mistis di
malam kedua ini masih belum berani kuceritakan kepada siapa-siapa, selain
karena aku yang terus berusaha meyakinkan diriku bahwa ini semua hanyalah mimpi
biasa. Logikaku bisa menerima, namun tidak dengan hati kecilku
Malam
ketiga, aku kembali tidur di kamarku yang berada di rumah bagian depan dekat
ruang tamu, seorang diri. Entah kenapa setiap kali menonton film horor, aku
kerap mengumpat dan menganggap bodoh kebiasaan pemerannya yang terus memilih
untuk tidur sendirian padahal kerap dihantui. Tapi entah atas dasar apa, aku
pun merasakan hal yang sama. Aku masih tetap memilih untuk tidur sendiri meski
ketakutan untuk “didatangi” lagi olehnya masih terus menggagah luar biasa.
Malam
ketiga itu, aku mengubah posisi tidurku dengan horizontal, posisi tidur orang
pada umumnya. Berharap dengan suasan baru itu, “dia” tak lagi berusaha untuk
mengajakku. Namun harapanku tak berbalas. Dia kembali datang dan menampakkan
wujudnya.
Aku dan dia
berjalan di trotoar yang entah letaknya ada di alamat mana. Yang kuingat, dia
memakai pakaian yang sama persis seperti saat berdialog denganku di ayunan
taman itu. Busana yang serba putih. Dia mengajakku untuk ikut bersamanya. Dalam
mimpi itu, aku sadar betul kalau dia sudah meninggal. Jelas aku menolak dengan
rasa takut yang berusaha kuredam keras. Aku justru menawarkan dia untuk
mengajak salah satu kawan kami SD-SMP saja, kawan yang cukup tidak kusukai.
Tapi dia menolak, katanya dia hanya ingin denganku. Aku menggelengkan kepalaku
kuat-kuat, hingga akhirnya satu suara membangunkanku dengan napas ngos-ngosan.
Ada
seseorang yang dari suaranya adalah salah satu teman dekatku—yang juga teman
SD-SMP aku dan “dia”—memanggil namaku dari balik jendela kamar. Aku yakin betul
suara itu nyata, bahkan aku terbangun karena mendengar suaranya.
Aku
menyahut panggilannya dengan satu kata, “Ya!” yang kuucapakan refleks dengan
napas yang masih memburu. Aku mengira itu sudah shubuh, karena hari Minggu pagi
memang teman-temanku kerap menjemputku di rumah untuk pergi olahraga lari ke
bendungan.
Kuraih
handphone yang kuletakkan di atas tape di samping tempat tidurku, dengan maksud
untuk melihat jam. Karena jika belum shubuh, ibuku tidak akan mengizinkanku
pergi olahraga. Seperti ditampar jantungku saat jam analog di HP menampilakan
angka 00 yang hanya lebih beberapa menit saja. Tubuhku kian menggigil dingin
dengan keringat yang semakin menderas, kutup wajahku dengan selimut dan bantal
saat aku menyadari bahwa ini bukan Minggu pagi, tapi malam Jum’at.
Paginya, aku menceritakan
pengalamanku yang tiga malam berturut-turut selalu “didatangi untuk diajak”
oleh “dia” itu pada ibuku. Menurut Ibu, “dia” butuh kiriman doa dariku. Dan
sepertinya memang benar, setelah aku mengirimkan surat Yaasiin khusus untuknya,
malam-malamku selama delapan tahun terakhir ini tak pernah lagi dikacaukan oleh
paksaan ajakannya.
Aku menuliskan kisah ini di
siang bolong. Sengaja, agar ketakutan tak begitu mengontaminasi diriku, agar tak
ada sugesti yang akhirnya membawa “dia” untuk kembali masuk dan merasuk untuk
mengacaukan malam-malamku. Namun baru saja, saat akan mengakhiri tulisan ini,
sekujur tubuhku diserang rasa merinding yang tak biasa. Aku kembali takut
menghadapi malam....
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)