Rabu, 24 Februari 2016

Kenapa Harfeey Tidak Pernah Mengadakan Lomba?

Ketika ada yang bertanya "Kenapa Penerbit Harfeey tidak pernah mengadakan lomba menulis seperti penerbit lain?" Jawabannya adalah, karena kamu baru mengenal Harfeey beberapa bulan ini wkwkw. (Seriously ada beberapa yang nanya begini)

Semua ada "masanya", dan masa-masa itu sudah lewat untuk Penerbit Harfeey. Sudah terlalu mainstream, istilahnya. Di awal berdiri sejak tahun 2012 sudah cukup sering mengadakan lomba.

"Apa karena sepi peserta?" Absolutely no, alhamdulillahnya tiap Harfeey bikin lomba, pesertanya selalu ratusan. Tidak cuma itu, yang order buku hasil lombanya juga banyaaak. Alhamdulillah. Terakhir Harfeey membuat lomba satu tahun lalu untuk memperingati HUT ke 3 Harfeey, itu pun setelah vakum mengadakan lomba beberapa bulan.

Seperti yang sudah dibahas di atas, semua ada "masanya". Dan mengadakan lomba kepenulisan dengan jangka waktu yang sangat sering, tidak lagi menjadi prioritas Harfeey. Alhamdulillah, dulu kami cukup berhasil menjaring peserta berkat inovasi ketentuan keuntungan dari harga buku yang Harfeey terapkan & akhirnya banyak diadaptasi oleh penerbit lain (info lengkapnya bisa cek di salah satu catatan lomba Harfeey).

Sekarang Harfeey harus bergerak lagi, mencoba memisahkan diri dari hal-hal mainstream dengan tunduk pada motto; selektif, kreatif, inovatif. Karena untuk melakukan proses personal branding yang kuat itu salah satu syaratnya adalah harus "different". Dan jujur saja itu tidak mudah, butuh kerja keras yang konsisten.

Fokus utama Harfeey sekarang hanya di penerbitan naskah-naskah yang dikirim oleh penulis, serta promosinya yang digencarkan. Alhamdulillah, Harfeey juga bisa membuka divisi percetakan dengan ketentuan harga yang tentunya beda dari yang lain. Ke depannya, Harfeey berniat membuka bidang usaha lain yang masih saling berhubungan, seperti agen ekspedisi pengiriman barang dan pabrik kertas daur ulang, misalnya. 😊

"Jadi, kapan Harfeey akan mengadakan lomba lagi?"
Entah kapan mungkin Harfeey akan mengadakan lomba lagi untuk memperingati momen penting, tapi yang pasti tidak dalam waktu dekat ini, dan maksimalnya hanya satu kali dalam setahun.

www.penerbitharfeey.blogspot.com

Jangan Jadi Budak Nilai

Nilai saya di kampus gak begitu bagus, alasannya karena saya jarang masuk kuliah yang ber-impact pada jarangnya juga saya ngumpulin tugas. Akhirnya saya harus puas dengan IPK yang cuma 3,2an. TAPI, ilmu yang saya dapat, alhamdulillahnya, cukup banyak. Contoh kecilnya, kalo saya gak kuliah di Jogja & tetep stay di kota kecil Majalengka, kayaknya mustahil saya bisa punya Penerbit Harfeey yang ngasih dampak perubahan besar-besaran di hidup saya.

Saya ambil kuliah jurusan periklanan, meski jarang masuk tapi sekalinya masuk saya selalu duduk di deretan bangku paling depan, fokus merhatiin dosen. Apa yang dosen bilang, bisa menancap kuat di pikiran dan akhirnya langsung saya praktikkan di pengembangan Harfeey. Ilmu dari bangku kuliah tidak saya gunakan untuk mencari nilai.

Sekadar info, waktu masih sekolah, saya pernah menjadi yang sangat pintar. Dan mungkin itu juga yang bikin ortu saya sekarang kaget, kenapa bisa saya telat skripsian. Tapi sepintar-pintarnya dulu, kala itu saya "nothing".

Nilai di atas kertas tidak menjamin seseorang berilmu. Sementara, ilmu yang didapat bisa membuat seseorang bernilai, walau hanya dalam hal-hal kecil. Please, stop jadi dan/atau menjadikan orang lain sebagai budak nilai.

Penampilan yang Menipu Tapi Tak Tertipu

Tahun kemarin saya ke toko emas di Jogja, rame bgt tempatnya. Saya udah berdiri lama di depan bagian kalung limited edition, tapi gak ada jg yang nyamperin saya. Orang di kiri kanan saya yg dateng belakangan malah diduluin, padahal saya udah manggil2 hehe.

Pas yg lain udah diladangin, akhirnya ada sales yg nyamperin saya. Saya nunjuk satu kalung yg dari awal udah saya incer. Saya tetep stay cool walau mbak sales keliatan jelas ogah2an waktu ngambil dan ngasih kalung itu karena penampilan saya yg "anak-kuliahan-banget". Saya tanya harganya, si mbak nyebutin sekian belas. Saya ngangguk dan bilang oke yang ini. Mbak sales melongo kaget, terus dia senyum dan jadi ramah banget hahahaha. Kebetulan saya beli bukan buat dipake jg, tapi buat invest Penerbit Harfeey yang udah saya kumpulin. Jadi gak perlu pilih2, coba2, apalagi sampe gak jadi.

Lain waktu di Majalengka. Saya liat2 emas jg di toko, bedanya perlakuan gak asik yang saya terima kali ini bukan dari salesnya, tapi dr pengunjung lain. Pas saya longok2in kepala karena sesek dumpel dan nanya harga pergram sama salesnya, ada ibu2 bergelang sampe siku yg nyeletuk kalo harga yang murah sebelah sana! sambil nunjuk tempat yg jauh lebih sesek antreannya. Padahal alesannya sama, saya beli emas bukan buat dipake, jadi ya lebih milih yg pergramnya tinggi sekalian.

Saya gak tau gimana perlakuan mereka kalo seandainya tau salah satu orang muda terkaya di dunia malah lebih suka berpakaian kasual dengan warna baju yg terkesan itu2 aja.

Rabu, 17 Februari 2016

PULANG (Cerpen)

Salah satu karya tulis terbaik saya yang ikut dibukukan dalam antologi cerpen event terakhir Penerbit Harfeey, "Kado Terindah" bersama puluhan penulis lainnya. Selamat menikmati akhir pekan.

***

PULANG
By Boneka Lilin

Abah berdiri tak sampai satu jengkal di kananku. Saking dekatnya, bahu kami hingga bersinggungan. Setelah delapan tahun, ini menjadi kali pertama antara aku dan Abah tanpa jarak. Di hadapan kami terhampar danau yang ujungnya tak terjangkau penglihatanku. Kabut tipis di pagi hari memberi kontribusi besar untuk menyamarkannya.

“Manusia hidup dalam keadaan tiada,” Abah memulai petuahnya, petuah yang entah bagaimana aku merasa dikhususkan bagiku. “Namun manusia wajib mati dalam keadaan ada.” Kepalanya yang terlilit sorban putih dipalingkannya menghadapku. Dari sisi ini, aku baru menyadari kalau ternyata Abah juga mengenakan jubah putih, baju yang kubelikan untuk dipakainya pada Lebaran tahun lalu.

Aku masih bergeming, bahkan ketika Abah yang tersenyum mengelus kepalaku dari pangkal ke pangkal. “Abah menyayangi Ria. Paling sayang.” Ucapan terakhirnya sebelum kemudian berjalan lurus, menembus air danau yang tiba-tiba berubah menjadi jalan bertanah liat.

Sampai di sini, kesadaranku seperti baru terkumpul. Aku menangis, memanggil Abah dengan suara yang tak bergaung sama sekali. Namun Abah tak mengacuhkanku, terus melangkah hingga sosoknya tertelan kabut putih. Entah kenapa aku merasa sangat sakit hati.

“Astaghfirullah!” kudapati keterjagaan setelah kaki kananku menghentak udara.
Hanya mimpi. Dua kata itu yang pertama kali kusugesti untuk diterima otak. Ya, meski hanya mimpi, namun ternyata rasa sakitnya masih membekas di hati.

Jam analog pada android yang selalu kuletakkan di sampingku menampilkan angka 16.21. Sebuah momen tidur siang yang kebablasan, dan akhirnya berbuah mimpi menyebalkan. Aku merutuk sepanjang perjalanan menuju kamar mandi untuk berwudhu.
***
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” suara Abah yang menjawab. Hal yang cukup jarang, mengingat Abah adalah seorang yang terbilang zuhud. Namun dari yang kudengar, Mimi sengaja mengajari Abah bagaimana caranya menjawab telepon yang masuk ke ponsel, agar Abah tidak perlu merepotkan tetangga hanya sekadar untuk menekan tombol berwarna hijau jika kebetulan Mimi tak ada.
“Abah...”
Belum selesai aku bicara, terdengar teriakan Abah memanggil Mimi. “Tunggu sebentar, Mimi masih di kamar mandi.” Ucapnya sebelum kemudian kembali menjauhkan mulut dari horn dan berteriak memanggil Mimi untuk segera menjawab teleponku.

Aku tersenyum. Abah selalu begitu. Selalu merasa setiap anak-anaknya menelepon, itu berarti berkepentingan dengan Mimi. Selalu merasa dirinya bukan objek yang kerap dibutuhkan, bahkan sekalipun untuk sekadar mengobrol.

“Assalamu’alaikum,” sapaan ceria khas Mimi setelah sebelumnya terdengar bertanya pada Abah tentang siapa yang menelepon.
“Wa’alaikumsalam. Sehat, Mi?” pertanyaan langganan yang kerap kutanyakan jika menghubungi rumah. Empat tahun sudah aku merantau di Kota Gudeg, pulang hanya setahun sekali meski berulang Mimi memintaku untuk mudik. Namun sesuatu yang disebabkan oleh delapan tahun lalu, selalu memupus hasratku untuk pulang meski seberapa pun inginnya aku. Cara satu-satunya bagiku untuk tetap mengetahui kondisi Abah dan Mimi yang kini hanya tinggal berdua di rumah adalah dengan menelepon sedikitnya tiga kali dalam seminggu.
“Alhamdulillah, sehat. Ada apa, Ri?”
Aku berdeham sebelum menjawab, “Gak apa-apa,” masih bergelayut sebongkah ragu untuk mengutarakan maksud utamaku.
“Oh. Hm, Ria sehat? Udah makan?”
“Alhamdulillah. Udah, Mi.”

Untuk beberapa saat aku hanya mendengarkan celotehan Mimi jika di sana pun mereka baru selesai makan dengan labu siam dan pepes tahu. Kondisi fisik Mimi yang disarangi beberapa penyakit memang mengharuskannya untuk memilah makanan. Mau tak mau, Abah yang sehat secara jasmani pun harus mengikuti menu makan Mimi. Bukan sekali dua kali aku mengirimkan obat, baik ramuan herbal maupun obat modern, demi kesembuhan Mimi. Namun sejauh ini, hidupnya masih harus bergantung pada obat-obatan.

“Ehm. Abah... Abah sehat, Mi?” akhirnya, terucap juga tujuan utamaku menghubungi rumah. Satu pertanyaan yang nyaris saja kutelan untuk kembali ke dalam relung-relung perut saat mendengar suara Abah yang menjawab panggilan telepon.

Ada jeda sekian detik sampai suara Mimi yang lebih bersemangat dari sebelumnya, merespons pertanyaanku, “Alhamdulillah!” Entah, aku mendengarnya seperti sebuah kelegaan, bukan sebagai jawaban atas pertanyaan. “Alhamdulillah, Abah sehat. Selalu sehat. Alhamdulillah, berkat doa Ria.” Volume suaranya pun naik beberapa oktaf.

Bukannya aku tidak tau, Mimi meninggikan suaranya agar Abah bisa mendengar langsung jika aku menanyakan kabarnya. Agar Abah tidak selalu merasa Mimi berbohong saat menyampaikan salam sapa dariku. Agar Abah tau bahwa aku, anak ketiganya yang tak tau diri, yang selalu membuat benteng penghalang di antara kami kian hari kian tinggi dan menebal, ternyata masih memiliki kepedulian untuk bertanya kabarnya.

Delapan tahun, bukan waktu yang main-main lamanya untuk menciptakan jarak jauh dengan seseorang yang telah bertaruh apa pun untuk kelayakan hidupku. Delapan tahun usahaku untuk kian merentangkan jarak dengan Abah. Delapan tahun penuh kaku yang tercipta hanya karena sebuah kesalahpahaman.

Dari cerita Mimi, Abah sudah tahu kebenaran dari peristiwa delapan tahun lalu itu berkat kisahnya yang kutuliskan di dalam salah satu bukuku, buku yang sengaja kuterbitkan untuk menyuarakan pemberontakanku pada Abah yang dulu bahkan tak memberiku satu kali pun kesempatan untuk membela diri. Namun entah, rasanya masih terbilang sulit untuk berlaku biasa setelah melalui tahun-tahun yang tak biasa.
***
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam. Teteh?” aku menjauhkan android dari telingaku, melihat layar untuk memastikan jika panggilan ini datangnya dari nomor Mimi. Tapi kenapa justru suara Teteh yang notabene berdomisili di Bandung yang terdengar.
“Ria, pulang, ya—”

Terdengar suara kasak-kusuk sebelum Teteh berhasil menuntaskan bicaranya, rupanya Mimi mengambil alih ponsel.
“Ria... Abah...”

Abah?! Detik itu juga aku menyambar tas selempangku yang hanya muat diisi oleh dompet dan ponsel, mengunci rumah kontrakan yang baru setahun kutempati setelah usaha yang kulakoni di sela kuliah kian membuahkan hasil, lantas memacu sepeda motor yang kubeli satu bulan sebelum mengontrak rumah ini.
Tujuanku hanya satu; stasiun. Aku ingin pulang. Aku harus pulang. Secepatnya.
***
Tanah ini masih merah, menguarkan bau basah yang berpadu dengan wewangian bunga yang masih utuh menyelimuti permukaan bidangnya. Sebongkah batu bata menancap tepat di satu sisi, sekadar penanda jika ada jasad yang terbujur di baliknya. Tanah ini masih merah, meski sembilan jam sudah terlewati sejak timbunan terakhirnya menutupi raga seseorang yang kini amat sangat ingin kucium kakinya.

“Abah...” kuusap nisan sederhana tanpa nama itu, sesuai wasiat si pemilik yang tak ingin rumah terakhirnya di dunia terhias macam-macam.
Abah dimakamkan ba’da ashar tadi, sekitar empat jam setelah Ijrail menjemputnya. Lima jam sebelum aku tiba di rumah. Kuikhlaskan tak melihat jasad Abah yang bahkan kali terakhir menemuinya adalah pada Lebaran tahun lalu, agar Abah tak berlama-lama tersiksa di dunia dan bisa disegerakan untuk menunaikan kewajiban pertanggungjawabannya dengan Pencipta.

“Khusnul khotimah, insyaallah.” Berkali-kali Aa yang kini mendampingiku mengunjungi makam Abah mengingatkan dengan air muka sedih yang dipaksa berbinar ikhlas demi memuluskan jalan Abah menghadap Allah. Namun tak pelak, air matanya pun terus berlinang. Sama banyak dengan banjir yang sejak di kereta menjebol pertahanan mataku.

Beri-beri jantung, satu penyakit yang baru kutahu ada justru setelah menjadi jembatan Abah memutus kontrak hidupnya dengan dunia yang selama 63 tahun dilakoninya nyaris tanpa cela. Jika bukan dokter yang menjabarkan tanda-tandanya, tak akan ada satu pun yang percaya jika Abah yang di usia kepala enamnya itu masih mampu mengangkut sekarung padi, tak pernah bisa terlihat diam menganggur, dan luar biasa giat beribadah bisa meninggal karena penyakit yang aku yakin dirinya sendiri pun tak menyadari.

Jika Abah terjangkit beri-beri kering atau basah, paling tidak akan ada “pertanda” untuk mengantisipasi penyembuhannya. Namun, qadarullah, beri-beri jantung yang terpilih untuk menjemput Abah tanpa pesan. Selain pesan yang dituahkannya padaku dalam mimpi kemarin sore.

Dikisahkan Kakak Ipar—suami dari Teteh—karena baik Aa, Teteh, apalagi Mimi masih nampak terpukul, Abah meninggal beberapa detik setelah menuntaskan kewajibannya memimpin kaum lelaki menunaikan sholat Jumat. Menurut penuturan dari saksi mata yang duduk tepat pada shaf di belakang imam, tangan Abah yang semula tengah menengadah berdoa, tiba-tiba menekan ulu hatinya, hingga kemudian tubuhnya ambruk ke kanan setelah mengucapkan dengan nyaris berteriak nama “Allah”. Sesuatu yang membuat kami dan semuanya yakin jika Abah pergi dengan kebaikan yang menyertainya.

“Abah... ampun, Bah... Ria minta maaf, gak pernah kirim obat buat Abah. Ria gak tau, gak pernah mau tau...” aku tak memiliki kesanggupan untuk menuntaskan kalimatku, isakan menyakitkan yang menekan-nekan dadaku hingga terasa menghimpit menyulitkanku untuk memuntahkan semua isi hati.

Dengan sigap, Aa yang masih berusaha keras untuk meredam isakannya sendiri, merangkul pundakku dan membimbing untuk berdiri.
“Ayo pulang, udah hampir jam 11 malam.”
“Abah... Ria pulang, Bah. Pulang sebagai Juaria binti Sulaiman, anak Abah yang delapan tahun ‘menghilang’. Ria pulang, Bah. Pulang untuk mengantar Abah berpulang.
Kutuntaskan risalah meski hanya lewat kata hati, aku yakin Abah bisa mendengarnya di sana, di surga, insyaallah.

Meski tak sempat berjumpa raganya, aku bahagia karena Abah “memilihku” untuk dititipinya pesan terakhir. Pesan yang disampaikannya dengan berjubah putih pemberianku, jubah sama yang mengantarkannya menghadap Allah Azza Wa Jalla di masjid siang tadi. Satu hal yang membuatku menjadi tahu dan kian yakin, Abah tetap menyayangiku, paling menyayangiku.

Satu wasiat Abah yang akan menjadi pedoman hidupku kini. Aku terlahir dengan tiada keistimewaan apa pun yang kumiliki, namun aku mati harus dengan membawa banyak manfaat untuk bekal menghadap Illahi. Aku ingin pulang seperti Abah, berpulang dalam kebaikan.

#Fiksi

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis