Meringis miris aku membaca berbagai
curahan hati kawan-kawanku yang mengirim naskah pengalamannya dalam bertarung
dengan si monster akhir bulan—tanggal tua. Betapa kemelaratan juga bisa terdefinisikan
dalam berbagai versi. Hal-hal yang menurutku lumrah dan biasa saja, ternyata
bisa menimbulkan keluh-kesah bagi sebagian di antaranya. Dan bukan tidak
mungkin, pengalaman seru-haru yang kutulis ini juga tak mencapai seujung kuku
sekalipun bagi derita sebagian yang lainnya.
Aku
memang sudah tidak pernah lagi merasakan masa-masa perih itu. Kalaupun kini aku
pernah kelaparan, itu bukan karena aku tak punya rupiah untuk ditukar dengan
panganan, lebih karena sifat malasku yang tak terkalahkan meski cacing di perut
sudah mengadakan demo besar-besaran. Namun bagaimanapun waktu berliku, berlalu,
masa itu akan tetap melekat erat dalam kotak di dalam otak yang sudah kukunci
dengan baik agar terekam jelas selamanya. Saat di mana realita menginjak telak
di ulu hatiku. Aku tersadar.
Aku
sadar bahwa pada Februari 2012 lalu itu, pantulanku dalam cermin tak lagi
merefleksikan sosok gadis kecil berkuncir kuda dengan poni menyamping, juga
bukan remaja berjilbab dengan seragam putih abu-abu. Aku adalah gadis yang
sedang berproses menjadi perempuan, aku adalah wanita. Terlihat aneh memang,
tapi hal tersebut memang sengaja kuanalogikan, bahwa “wanita” adalah masa
transisi dari seorang “gadis” yang ingin menjadi “perempuan”. Bahwa ketika aku
telah menahbiskan diri untuk menjadi seorang wanita, maka sebaik-baik manusia
yang bisa dijadikan sandaran untuk menjadi orang yang bisa diandalkan adalah
diriku sendiri.
Pada
Februari itu, pikiranku mulai menguak lebar untuk menebus semua dosa masa lalu
pada diriku sendiri; aku benci telah membuat diriku pernah ada dalam posisi
kelaparan! Namun kembali kupertegas, kebencian itu tak lantas membuatku ingin
melesakkannya jauh ke dasar memori. Justru aku memilih untuk tetap
membiarkannya ada di permukaan pikirku, menohoknya dengan balasan-balasan
setimpal bahwa kini aku berhasil mengalahkannya; SANG MONSTER AKHIR BULAN!
Pernah
membayangkan ada seorang anak yang notabene
bukan berasal dari keluarga ekonomi bawah (alhamdulillah, meski belum kaya tapi
keluargaku cukup terbilang masih beruntung dari segi finansial. Masih bisa makan
sepuas hati—di rumah—meski hanya dengan lauk sekelas tempe dan teri), harus
bertahan hidup di perantauan hanya dengan bekal sesapan kecap selama tiga hari
berturut-turut? (ya, hanya tiga hari. Karena pada hari ke empat, aku mendapati
jatuhan pepaya di pekarangan kost yang akhirnya kumakan meski sebagiannya sudah
koyak dan menjadi konsumsi serangga). Bukan lagi terbayangkan buatku, karena
justru aku yang mengalaminya sendiri.
Masih
terekam jelas bagaimana ketika si Monster kep*r*t itu memecundangiku, membuat
air di mataku menitik satu-satu saat dengan kepayahan berusaha menyugesti alam
bawah sadar, bahwa lelehan kecap yang susah payah kukorek dari sisa botolnya
bisa dijadikan andalan untuk meredam emosi para cacing, untuk tidak berbalik
mengonsumsi lambungku hanya karena tak kusediakan jatah makan.
Bukan
salah Ibu-Bapak jika aku harus bertarung dengan tanggal tua, yang
akhirnya—pernah—berhasil mengalahkan dan menempatkanku pada posisi miris
seperti yang kukisahkan, pernah membuatku minum dari air keran selama
berhari-hari karena tak memiliki satu sen pun untuk kubelikan air mineral.
Semua salahku sendiri yang terlalu boros, menggampangkan uang hanya karena aku
merasa bahwa kini aku menjadi satu-satunya tanggungan orangtua, melupakan
adikku yang meski sudah bekerja dan kala itu menunda kuliahnya namun juga masih
jauh dari kata mapan, meminggirkan biaya yang harus ditanggung orangtuaku untuk
Uwak (kakak dari bapakku) yang tak beranak-suami dan kala itu diberi cobaan
dengan kanker lidah (yang akhirnya menjadi jembatan beliau menuju
surga—aamiin), dan melupakan lambung-lambung dalam balutan tubuh ringkih kedua
orangtuaku yang berusia di atas 50 tahun, namun masih harus bekerja keras
memenuhi segala macam tuntutan ketidaktahuan diri dari anak yang sudah
sepantasnya mulai berproses menjadi “perempuan”, namun terlalu lena di posisi
“gadis”. Aku lupa bahwa dunia tak selamanya bisa memaklumi kemasabodoan dan
kemalasan yang kumiliki.
Dan
kini kukatakan, bahwa segala kekalahan yang pernah kudulang saat bertarung
dengan si Monster akhir bulan yang terakhir kali kurasakan lebih dari dua tahun
lalu itu, adalah murni salahku.
Aku
memiliki satu kebiasaan buruk, mengikuti hasrat hati saat kondisinya sedang
porak-poranda. Alih-alih mengadu pada Tuhan untuk mendapat ketentraman, aku
justru menggunakan isi dalam dompetku yang pada masa itu volumenya tak pernah
tebal, untuk kujadikan senjata penyenang sesaat. Aku ingat, sebelum akhirnya
tersadarkan diri setelah terkalahkan itu, aku baru saja mencampakkan seseorang
yang kemudian kusebut “Sapi” karena dia mencampakkanku. Kekesalan yang
membuatku memboros besar-besaran, menikmati me
time di mall dan membeli apa pun yang kuhasrati—walau hanya sesaat.
Mungkin
orang akan meneriaki bodoh karena aku tak memanfaatkan relasi persaudaraan atau
pertemanan untuk meminjam uang. Haha, hei... aku adalah orang yang paling
bingung bagaimana caranya jika harus diminta meminjam uang. Semenjak aku di
pesantren dulu, tak sekalipun aku pernah mengandalkan uang selain kiriman dari
orangtuaku. Sementara di lain sisi, orangtuaku bukan typikal pemanja yang royal
pemakluman. Jika aku tak bisa me-manage
keuanganku dengan baik, maka aku harus menanggung segala resikonya hingga tiba
masa jatah kiriman di periode selanjutnya. Dan untuk insiden sesapan kecap itu,
aku memang sengaja tidak menceritakannya, bahkan hingga detik diketiknya
tulisan ini, karena aku tak punya alibi apa pun untuk kujadikan alasan atas
lenyapnya jatah uang jajanku dalam waktu yang singkat, padat, dan tak jelas
itu.
Setelah
bertahan dengan sesapan kecap dan tegukan air keran, bertepatan dengan liburan
semester kuliah. Ibuku mengirimkan uang untuk bekalku mudik ke kampung halaman.
Dari sanalah mata, hati, dan pikiranku terbuka; inilah saatnya aku harus mulai
berproses menjadi seorang perempuan. Menjadikan tumit kakiku sendiri sebagai pijakan
kuat untuk melangkah. Aku melihat bagaimana kepayahannya dua sosok renta itu
mengurusi Uwak dengan biaya waktu, tenaga, dan uang yang tak sedikit. Aku mulai
dirasuki malu jika harus terus menjadi benalu, padahal tepat di Februari dua
tahun lalu itu usiaku menjejak pada bilangan kepala dua. Lebih merasa pecundang
lagi saat ibuku yang terpusing-pusing mencari uang untuk bekalku kembali ke
perantauan, akhirnya membatalkan pinjaman dari Bibi setelah adikku—orang yang
harusnya kuberikan contoh baik—mengirim sebagian uang gajinya untuk modal hidup
si pecundang semacamku.
Namun
tak akan ada aku yang sekarang, yang bisa menjadi andalan dari segi finansial
bagi orangtua dan saudara, yang bisa bukan hanya membiayai kebutuhan hidup dan
kuliahku selama di rantau, namun untuk adikku juga. Tak ada aku yang sekarang,
yang kurasa telah cukup berhasil mengalahkan kepongahan si Tanggal Tua, jika
tak pernah ada Tanggal Tua yang mengalahkan dan berhasil menjatuhkanku hingga
titik nadir.
Kala
itu, sesampainya di Jogja, aku langsung berusaha keras untuk bangkit bekerja
cerdas. Menyadari keterbatasan egoku yang merasa cukup sulit untuk menerima
perintah dari telunjuk selain milikku, maka opsi menjadi pegawai part time pun tak menarik minatku sama
sekali. Satu-satunya harapan; aku harus berwirausaha.
Allah
Mahabaik melancarkan niatanku. Sepulang kuliah saat memutuskan untuk mengambil
jalan memutar menuju kostan, aku melihat peluang bisnis pertamaku. Bisnis yang
langsung sukses dan berhasil menuai keuntungan bersih (di luar modal tenaga)
sebesar 700 ribu perminggu. Nominal yang terbilang sangat besar bagiku kala
itu. Sebuah penghasilan yang berhasil membuat ibuku mengucurkan puluhan kata
syukur di balik horn ponsel saat
kukisahkan kisahku, mengubah keluhan ibu dan lenguhan napas lelah bapakku
menjadi kata-kata semangat agar aku bisa terus berhasil dengan jalanku.
Well, saat itu aku bisnis menjual
buku-buku di bazar lewat facebook. Bazar yang diadakan selama 2 pekan di gedung
yang bersebelahan dengan kampusku itu menjadi awal keberanianku dalam berbisnis
dengan modal NOL rupiah, yang kuandalkan benar-benar hanya otak dan ototku
dalam bertarung mengalahkan si Tanggal Tua. Kucatat semua buku yang ada di
stand termurah, untuk kemudian kupasarkan di facebook pribadiku dengan sistem
paketan dan gratis ongkos kirim. Margin keuntungan yang kuperoleh lumayan
besar, karena aku sangat meminimalisir modal uang. Kubeli buku di bazar itu
hanya jika sudah ada customer-ku yang
benar-benar fix mau membeli dengan
bukti menransfer dananya. Kubawa berkantung-kantung besar buku-buku itu dari
tempat bazar ke kamar kostku yang jaraknya hampir satu kilo hanya dengan
berjalan kaki.
Dari
bisnis pertama itu, ide bisnis lain hilir mudik saling menghampiri. Mulai dari
berjualan batik bola yang perolehan keuntungannya sama memukau juga, meski aku
pernah dibuat menangis sendirian di bangku pinggir jalan Malioboro saat
“ditipu” oleh suplyer pertamaku,
meski aku pernah dibuatnya beberapa kali berjalan kaki dari kostku di daerah
UIN ke Maliboro atau sebaliknya, yang jaraknya puluhan kilo meter hanya demi
menghemat ongkos busway yang jika kulihat sekarang sangat tak seberapa.
Tapi
harus kuakui, jika saat itu segala penghasilanku hanya bisa memenuhi kebutuhan
pribadiku saja, belum bisa dengan leluasa kucicipkan juga untuk orangtua dan
sodara. Dan ide bisnis baru pun melintasi pikiranku pada 27 Mei dua tahun lalu;
aku ingin membuka usaha jasa penerbitan buku indie. Ide bisnis yang langsung
kurintis perealisasiannya di keesokan harinya dengan nama Harfeey yang kupilih
sebagai brand, sebuah nama yang
merupakan singkatan dari nama ibu-bapakku.
Bersama
Harfeey, aku berhasil membeli mimpi-mimpiku, aku bisa mewujudkan mimpi-mimpi
orangtua dan sodaraku, bahkan aku mampu menyambut tanggal tua dengan tawa yang
mengejeknya; aku bukan lagi sasaran tepat untuk kau siksa!
Takkan
cukup hanya dengan beberapa halaman untuk mengisahkan kejatuhanku dalam usaha
untuk memenangkan pertarungan, hingga akhirnya bisa berdiri meski belum terlalu
kokoh. Namun satu hal yang ingin kuberitahu, bahwa aku bisa berada di sini
bukan dengan cara yang instan. Ada banyak bekas luka yang menjadi bukti proses
pendewasaan yang berhasil kuraih dengan gadaian cucuran peluh dan air mata.
(y)
BalasHapus