Kerdus Merah
Boneka Lilin
“Perlu
lu tau,” aku menjambak rambutnya dari belakang. Rambut berwarna coklat tua yang
sering dikoarnya jauh lebih baik kibasannya dibanding kibaran kerudung merahku.
“Gue pake kerudung bukan sebagai pengakuan diri kalo gue udah jadi cewek
SEMPURNA!” teriakku geram tepat di cuping telinganya yang bertindik tiga.
“Aaarg,
haaah... cewek gila! Saiko!” aaagh!” Dia mengerang, terus menyeracau tak jelas.
Aku puas, sangat puas. Puas luar biasa. Tangannya menggapai-gapai,
memukul-mukul tanganku agar lepas dari pagutan pada rambutnya.
“Dengerin
gue, Sialan! Sekarang waktunya gue yang ngebacot, dan lu mingkem! Masih kurang
aja lu, hah, dari dulu selalu grusuhin hidup gue?! Gantian, BOSS!” kujengkut
kepalanya dengan frontal, wanita binal yang menyebalkan itu kembali
menyalak-nyalak. “Huahaha, gue puas banget! Puas bisa punya kesempatan buat
nyumpal bacotan busuk lu!”
“Aaa...
hikhiks, lu bener-bener... SAKIT! Sakit jiwa! Aaargh!”
(
“Pake
kerudung cuma buat buat nutupin kebusukan. Apa namanya kalo bukan KERDUS!
Hahaha, kerudung dusta!” Lagi-lagi dia—sosok menyebalkan dengan tumit berjinjit
dan gincu merah terang itu—menghujat kerudung merah yang sejak awal kuliah
sudah bertengger di kepalaku.
“Masih
mending kayak kit, dong! Gak munafik. Sok mau keliatan alim, padahal...”
temannya yang berambut ikal melirik sinis saat aku tepat lewat di depan bangku
yang ditempati gengnya.
Sekuat
tenaga aku berusaha untuk menulikan sistem indera pendengar, mengebaskan sistem
indera perasa, menganggap cibiran mereka layaknya gonggongan anjing gila yang
tak pantas dapatkan respon. Meski hatiku tetap sulit memungkiri, bahwa ada segumpal
dendam yang tertanam di kedalaman sana.
(
“Gue
pake kerudung bukan karena gue mau keliatan sok alim! Tapi karena gue sayang
sama bokap gue!” napasku menderu setelah menampar wajah culas dan menyebalkan
itu dengan ayunan medium. Dia menjerit-jerit dengan frekuensi lebih, aku tetap
abai.
Kurampas
tas yang sedari tadi kuat digenggamnya. Tas mahal dengan merk Prada itu
kuobrak-abrik isinya. Benar saja, seperangkat alat lenong lantas silih
berjejalan keluar. Kuambil lipstik berwarna merah terang kepunyaannya.
“Lu
selalu ngehina penampilan gue, lu selalu ngritik dandanan gue, kerudung merah
gue! Sekarang gue pengen kasih liat sama lu, sekalian gue praktekin karena gue
gak cuma pinter bacot kayak lu, gimana penampilan yang COCOK buat cewek iblis
macam lu!”
Dia kian
meronta saat lipstik merah itu kupoleskan serampangan di bibirnya, lalu di
lingkaran matanya, di pipinya. Dia menatapku penuh kebencian yang kubalas
dengan sorot penuh kemenangan.
“Tunggu
pembalesan gue! Tunggu pembalesan gue buat lu, KERDUS MERAH!” dia berteriak
sambil meraung tak jelas. Aku terbahak puas.
“Gak ada
pembalasan untuk pembalasan, Bego! Lu yang duluan ngusik gue, dan ini secuil
balasannya! Hahaha...”
(
“Woy,
KERDUS! Minggir, dong! Lu kira ini kantin punya Embah Moyang lu!” si gincu
merah mendorong tubuhku dengan cukup keras, es teh yang kupegang menyiprat ke
sepatunya.
“Eh,
sialan nih anak. Cari perkara ngotorin sepatu malah gue!” aku mengerang saat jari-jemari
lentiknya menjambak belakang jilbabku.
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)