Udah lama gak update status tentang sharing di FB ini, ya. Kemaren
riweuh sama orderan dan cetak buku aja. Kebetulan sekarang bisa dibilang
lagi hari tenang sampe masa selesai cetak nanti, saya mau sedikit
sharing tentang rasa jenuh.
Setiap orang pasti sering atau
minimal pernah merasakan yang namanya jenuh, dalam dan/atau untuk hal
apa pun. Termasuk saya pada Penerbit Harfeey.
Beberapa kali saya pernah mendiamkan semua sms/misscall yang masuk
padahal itu bukan hari Minggu (hari yang saya tegaskan sebagai satu dari
tujuh hari di mana saya jangan mengurusi apa pun tentang Harfeey, walau
pada prakteknya saya sering kendor pertahanan juga kalo melihat
tumpukan kerjaan). Beberapa kali juga saya mengganti ringtone sms untuk
mengakali kejenuhan saya akan banyaknya sms; mulai dari orderan buku,
tanya-tanya penerbitan, konfirmasi pembayaran, komplain, dlsb. Karena
mustahil kalo saya melarang mereka untuk sms, itu sudah menjadi resiko
saya yang berniaga nontatap-muka. Tapi saya juga tidak mau mengabaikan
kondisi hati dan pikiran hanya demi pundi-pundi mata uang.
Harfeey yang menurut barometer anak bawang seperti saya sudah menjadi
bidang usaha yang terbilang sukses, tidak lantas menjadikan saya selalu
merasa nyaman dengan semua tentangnya. Alhamdulillah, dari semenjak
berdiri hingga saat ini, saya tidak pernah merasa ada masalah dengan
pemasukan di Harfeey. Besar-kecilnya tetap tidak pernah saya
besar-besarkan untuk diambil pusing, terlebih saya typikal orang yang
tidak begitu royal soal pengeluaran. Namun tetap saja, rasa jenuh selalu
datang tiap kali serangan kerjaan menumpuk itu tiba. Untuk soal desain
cover, saya memang masih bisa dibantu adik saya walau sebagian besarnya
juga saya kerjakan sendiri dengan alasan idealisme. Soal packing dan
pengiriman paket pun masih bisa dibantu seorang teman, apalagi sekarang
juga ada adik saya di Jogja. Tapi untuk urusan hal-hal teknis lainnya
semacam proses penerbitan, promosi, respon sms/inbox, proses cetak,
dlsb-nya saya lakukan sendiri. Untuk hal-hal seperti itu, yang hanya
saya sendiri yang paham bagaimana jalannya, sangat sulit kalau harus
meminta bantuan orang lain. Terlebih saya typikal orang yang cukup
idealis.
Apa yang biasanya saya lakukan saat dilanda jenuh? Ada 3
hal; pertama, membeli banyak camilan dan menggasaknya di kost sambil
nonton TV atau baca buku yang saya suka, dengan mengabaikan atau bahkan
menonaktifkan HP dan tidak membuka akun Harfeey sama sekali. Kedua,
berjalan-jalan ke tempat tenang yang memiliki view pemandangan alam,
tapi minimal saya harus ditemani oleh seorang kawan. Karena akan sangat
aneh rasanya kalo saya pergi dan merenung di tempat sepi sendirian,
salah-salah saya disangka lagi depresi dan tinggal menghitung detik
untuk bunuh diri. Dengan ditemani seseorang, walaupun nantinya kami
saling diam, setidaknya saya tak begitu nampak "menyedihkan". Ketiga,
pergi ke pusat keramaian seorang diri, dan biasanya saya lakukan dengan
berjalan kaki. Percaya atau tidak, saya sering melakukan hal ini,
berjalan kaki pulang-pergi dari kost saya di daerah Demangan Kidul
(dekat XXI) menuju Mall Amplaz. Beberapa kali juga saya pernah pulang
atau pergi ke atau dari kost menuju kawasan Malioboro dengan mengambil
rute normal. Di tempat ramai itu, saya biasa memerhatikan orang-orang
yang lalu lalang. Melihat "Mbak" yang menggendong balita di pinggang
dengan tumpukan plastik belanjaan majikannya di tangan, saya berpikir
apa yang kira-kira ada di benak saya jika saya di posisi dia, berpikir
sebegitu sulitnya orang lain demi menjemput rejeki. Dan masih banyak
lagi hal-hal yang mungkin terlihat sepele tapi bisa menjadi pelipur
sejenak rasa jenuh saya, dan akhirnya bisa menghasilkan rasa fresh penuh
syukur.
Salah satu motto saya juga, hidup sudah menyuguhkan
banyak tantangan kesulitan yang harus kita selesaikan, jadi jangan
mengurusi hal-hal tak penting yang berpotensi membuat susah, yang
padahal sangat bisa kita enyahkan. Misalnya saat ada orang yang sms
dengan caci-maki tanpa bisa lagi dijelaskan duduk permasalahnnya dengan
cara santun, daripada saya terus ikut tersulut, saya akan lebih memilih
untuk mengabaikannya. kebetulan HP jadul saya punya menu blokir nomor,
itu sangat membantu agar jenuh/stress saya sedikit terjaga
kestabilannya.
Di facebook pun begitu, kadang-kadang saya sering
melihat orang yang sudah jelas antara satu dan lainnya saling tidak
suka, tapi masih juga mempertahankan masing-masingnya untuk ada di
friendlist. Bilangnya benci, tapi sangat rajin stalking. Itu kan aneh,
cari penyakit namanya. Kalo saya, baik di FB Harfeey maupun FB pribadi,
saat sudah merasa tidak nyaman dengan akun tersebut, saya akan langsung
memblokirnya dari akun Harfeey, selesai perkara. Kecuali untuk FB
pribadi, itu lebih ribet lagi. Saya cukup selektif mengonfirmasi atau
bahkan mempertahankan friendlist. Jujur saja, saya tidak nyaman kalo ada
orang yang punya kepentingan dengan Harfeey tapi ingin masuk list FB
pribadi saya juga. Karena saya sadar betul, saya paling tidak bisa yang
namanya pencitraan. Berpura-pura mencitrakan kalo saya seseorang yang
harus selalu punya tindak-tanduk teratur seperti yang sering tercermin
di status Harfeey, padahal faktanya saya sama seperti pengguna facebook
lainnya; yang mayoritas suka membagikan sesuatu yang penting hanya
menurut dirinya sendiri.
Di FB Harfeey, saya tidak
mempermasalahkan jenis kelamin, nama alay, ketikan alay, dlsb-nya dalam
mengonfirmasi pertemanan. Selama space masih ada, pasti saya konfirmasi
(tapi kebetulan sekarang sudah full 5 ribu, dan hanya bisa untuk
di-follow). Lain halnya dengan di FB pribadi. Hal-hal yang saya sebutkan
tadi jelas jadi pertimbangan. Mungkin ada di antara teman-teman FB ini
yang juga meng-add FB pribadi saya tapi tidak dikonfirmasi juga sampe
sekarang, padahal friendlist saya masih 2 ribuan (jauh lebih banyak
followers saya ketimbang friendlist). Atau sudah berbilang bulan/tahun
sejak nge-add dan baru dikonfirmasi. Atau juga harus meminta secara
personal untuk dikonfirmasi. Serius, sebenernya bukan karena saya
sombong atau merasa sok begini-begitu makanya pilih-pilih teman, itu
semua justru karena itu tadi, saya merasa semua yang saya post di FB
pribadi itu hanya penting menurut diri saya sendiri. Jadi gak ada
manfaatnya sama sekali buat orang lain yang berharap bisa menemukan
sesuatu dari postingan orang-biasa-pada-umumnya. Hingga akhirnya hal-hal
yang membuat saya jenuh mengemban label sebagai pemilik penerbitan buku
indie pun, tak jarang saya dapatkan dari orang-orang yang atas dasar
keinginannya sendiri meng-add akun pribadi saya yang tak penting.
Pada event awal Harfeey, saya memang pernah mensyaratkan untuk meng-add
akun pribadi saya atas dasar kepraktisan penyebaran informasi. Tapi
kemudian itu saya hilangkan di event-event selanjutnya, saya ganti
dengan hanya me-like fanpage saya, setelah ada seseorang yang bahkan
saya konfirmasi sebagai teman FB pun tidak (alias dia follow FB saya
sendiri), yang mengait-ngaitkan antara postingan tak penting saya
sebagai saya pribadi dengan label saya sebagai pemilik penerbit indie.
Kadang-kadang memang hanya ada sedikit orang yang bisa membedakan mana
urusan pribadi dan kerjaan. Jika memang memiliki Harfeey lantas harus
mengubah saya menjadi orang lain yang mengekang diri saya sendiri,
memaksa saya untuk mencitrakan diri sebagai orang yang sesuai dengan
apa-kata-dan-mau-orang-lain, lebih baik saya jadi pengangguran yang
merdeka saja.
Itulah sebab yang pada akhirnya saya sangat ketat
menyeleksi friendlist. Orang yang jelas-jelas menampilkan
ketidaksukaannya dengan post2 di FB saya akan saya remove kalau berteman
dan blokir kalau dia hanya followers, karena saya malas mengganggu dia
dengan post tidak penting saya tapi anehnya masih dia follow juga. Orang
yang tidak saya kenal dan saya merasa tidak punya kepentingan apa-apa
dengan dia pun biasanya saya remove. Akun dengan nama dan/atau ketikan
alay juga saya remove, kecuali untuk orang yang dengan alasan tertentu
tidak memungkinkan saya untuk me-remove-nya, biasanya saya hanya
meng-hide akunnya. Entahlah, target saya memang hanya ingin punya di
bawah 2 ribu friendlist saja, padahal dulu akun saya beberapa kali
mengalami full friendlist (yang sebagian besar isinya adalah orang-orang
yang tidak saya kenal, tidak kenal saya, dan tidak punya kepentingan
dan ketertarikan untuk saling mengenal).
Saya sering berpikir,
alangkah menyenangkannya jika saya bisa mengatur hidup saya seperti saya
mengatur akun facebook saya. Saya bisa memilah-milih siapa saja yang
boleh ada di kehidupan saya (friendlist), siapa yang bisa masuk tetapi
dengan batasan izin dari saya (followers), dan siapa yang benar-benar
ingin dienyahkan (blokir). Tapi saya tau itu mustahil dan bisa merusak
keseruan hidup. Tapi, selagi kita masih punya kuasa untuk mengatur
hal-hal yang penting atau tidak bagi diri kita di akun sosial media dan
HP, kenapa tidak kita gunakan untuk mengurangi kadar jenuh dan stress?
Ya ampun, ini panjang bangeeet, ya. Hahaha. Gak 'papa, mau saya posting
di blog juga soalnya, lama gak update. Akhirulqalam, sesibuk apa pun
kita dalam menunaikan kewajiban terhadap pemenuhan akan hak-hak orang
lain, jangan sampai kita mengorbankan hak-hak kita sendiri. Refreshing
itu perlu, meghilangkan jenuh itu penting, karena jika tidak diatasi
dengan baik, mustahil kita bisa memberikan hal yang maksimal bagi orang
lain. Abaikan segala rupa yang tak ada manfaatnya untuk kita, tetap
berjalan di jalur yang menurut kita baik dan tidak merugikan orang lain
(kecuali pendengki). Saya dan kamu punya ukuran baju masing-masing, dan
tidak bisa saling memaksakan untuk bertukar baju padahal jelas size kita
berbeda.
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)