Tampilkan postingan dengan label Penerbit Harfeey. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penerbit Harfeey. Tampilkan semua postingan

Rabu, 24 Februari 2016

Kenapa Harfeey Tidak Pernah Mengadakan Lomba?

Ketika ada yang bertanya "Kenapa Penerbit Harfeey tidak pernah mengadakan lomba menulis seperti penerbit lain?" Jawabannya adalah, karena kamu baru mengenal Harfeey beberapa bulan ini wkwkw. (Seriously ada beberapa yang nanya begini)

Semua ada "masanya", dan masa-masa itu sudah lewat untuk Penerbit Harfeey. Sudah terlalu mainstream, istilahnya. Di awal berdiri sejak tahun 2012 sudah cukup sering mengadakan lomba.

"Apa karena sepi peserta?" Absolutely no, alhamdulillahnya tiap Harfeey bikin lomba, pesertanya selalu ratusan. Tidak cuma itu, yang order buku hasil lombanya juga banyaaak. Alhamdulillah. Terakhir Harfeey membuat lomba satu tahun lalu untuk memperingati HUT ke 3 Harfeey, itu pun setelah vakum mengadakan lomba beberapa bulan.

Seperti yang sudah dibahas di atas, semua ada "masanya". Dan mengadakan lomba kepenulisan dengan jangka waktu yang sangat sering, tidak lagi menjadi prioritas Harfeey. Alhamdulillah, dulu kami cukup berhasil menjaring peserta berkat inovasi ketentuan keuntungan dari harga buku yang Harfeey terapkan & akhirnya banyak diadaptasi oleh penerbit lain (info lengkapnya bisa cek di salah satu catatan lomba Harfeey).

Sekarang Harfeey harus bergerak lagi, mencoba memisahkan diri dari hal-hal mainstream dengan tunduk pada motto; selektif, kreatif, inovatif. Karena untuk melakukan proses personal branding yang kuat itu salah satu syaratnya adalah harus "different". Dan jujur saja itu tidak mudah, butuh kerja keras yang konsisten.

Fokus utama Harfeey sekarang hanya di penerbitan naskah-naskah yang dikirim oleh penulis, serta promosinya yang digencarkan. Alhamdulillah, Harfeey juga bisa membuka divisi percetakan dengan ketentuan harga yang tentunya beda dari yang lain. Ke depannya, Harfeey berniat membuka bidang usaha lain yang masih saling berhubungan, seperti agen ekspedisi pengiriman barang dan pabrik kertas daur ulang, misalnya. 😊

"Jadi, kapan Harfeey akan mengadakan lomba lagi?"
Entah kapan mungkin Harfeey akan mengadakan lomba lagi untuk memperingati momen penting, tapi yang pasti tidak dalam waktu dekat ini, dan maksimalnya hanya satu kali dalam setahun.

www.penerbitharfeey.blogspot.com

Rabu, 17 Februari 2016

PULANG (Cerpen)

Salah satu karya tulis terbaik saya yang ikut dibukukan dalam antologi cerpen event terakhir Penerbit Harfeey, "Kado Terindah" bersama puluhan penulis lainnya. Selamat menikmati akhir pekan.

***

PULANG
By Boneka Lilin

Abah berdiri tak sampai satu jengkal di kananku. Saking dekatnya, bahu kami hingga bersinggungan. Setelah delapan tahun, ini menjadi kali pertama antara aku dan Abah tanpa jarak. Di hadapan kami terhampar danau yang ujungnya tak terjangkau penglihatanku. Kabut tipis di pagi hari memberi kontribusi besar untuk menyamarkannya.

“Manusia hidup dalam keadaan tiada,” Abah memulai petuahnya, petuah yang entah bagaimana aku merasa dikhususkan bagiku. “Namun manusia wajib mati dalam keadaan ada.” Kepalanya yang terlilit sorban putih dipalingkannya menghadapku. Dari sisi ini, aku baru menyadari kalau ternyata Abah juga mengenakan jubah putih, baju yang kubelikan untuk dipakainya pada Lebaran tahun lalu.

Aku masih bergeming, bahkan ketika Abah yang tersenyum mengelus kepalaku dari pangkal ke pangkal. “Abah menyayangi Ria. Paling sayang.” Ucapan terakhirnya sebelum kemudian berjalan lurus, menembus air danau yang tiba-tiba berubah menjadi jalan bertanah liat.

Sampai di sini, kesadaranku seperti baru terkumpul. Aku menangis, memanggil Abah dengan suara yang tak bergaung sama sekali. Namun Abah tak mengacuhkanku, terus melangkah hingga sosoknya tertelan kabut putih. Entah kenapa aku merasa sangat sakit hati.

“Astaghfirullah!” kudapati keterjagaan setelah kaki kananku menghentak udara.
Hanya mimpi. Dua kata itu yang pertama kali kusugesti untuk diterima otak. Ya, meski hanya mimpi, namun ternyata rasa sakitnya masih membekas di hati.

Jam analog pada android yang selalu kuletakkan di sampingku menampilkan angka 16.21. Sebuah momen tidur siang yang kebablasan, dan akhirnya berbuah mimpi menyebalkan. Aku merutuk sepanjang perjalanan menuju kamar mandi untuk berwudhu.
***
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” suara Abah yang menjawab. Hal yang cukup jarang, mengingat Abah adalah seorang yang terbilang zuhud. Namun dari yang kudengar, Mimi sengaja mengajari Abah bagaimana caranya menjawab telepon yang masuk ke ponsel, agar Abah tidak perlu merepotkan tetangga hanya sekadar untuk menekan tombol berwarna hijau jika kebetulan Mimi tak ada.
“Abah...”
Belum selesai aku bicara, terdengar teriakan Abah memanggil Mimi. “Tunggu sebentar, Mimi masih di kamar mandi.” Ucapnya sebelum kemudian kembali menjauhkan mulut dari horn dan berteriak memanggil Mimi untuk segera menjawab teleponku.

Aku tersenyum. Abah selalu begitu. Selalu merasa setiap anak-anaknya menelepon, itu berarti berkepentingan dengan Mimi. Selalu merasa dirinya bukan objek yang kerap dibutuhkan, bahkan sekalipun untuk sekadar mengobrol.

“Assalamu’alaikum,” sapaan ceria khas Mimi setelah sebelumnya terdengar bertanya pada Abah tentang siapa yang menelepon.
“Wa’alaikumsalam. Sehat, Mi?” pertanyaan langganan yang kerap kutanyakan jika menghubungi rumah. Empat tahun sudah aku merantau di Kota Gudeg, pulang hanya setahun sekali meski berulang Mimi memintaku untuk mudik. Namun sesuatu yang disebabkan oleh delapan tahun lalu, selalu memupus hasratku untuk pulang meski seberapa pun inginnya aku. Cara satu-satunya bagiku untuk tetap mengetahui kondisi Abah dan Mimi yang kini hanya tinggal berdua di rumah adalah dengan menelepon sedikitnya tiga kali dalam seminggu.
“Alhamdulillah, sehat. Ada apa, Ri?”
Aku berdeham sebelum menjawab, “Gak apa-apa,” masih bergelayut sebongkah ragu untuk mengutarakan maksud utamaku.
“Oh. Hm, Ria sehat? Udah makan?”
“Alhamdulillah. Udah, Mi.”

Untuk beberapa saat aku hanya mendengarkan celotehan Mimi jika di sana pun mereka baru selesai makan dengan labu siam dan pepes tahu. Kondisi fisik Mimi yang disarangi beberapa penyakit memang mengharuskannya untuk memilah makanan. Mau tak mau, Abah yang sehat secara jasmani pun harus mengikuti menu makan Mimi. Bukan sekali dua kali aku mengirimkan obat, baik ramuan herbal maupun obat modern, demi kesembuhan Mimi. Namun sejauh ini, hidupnya masih harus bergantung pada obat-obatan.

“Ehm. Abah... Abah sehat, Mi?” akhirnya, terucap juga tujuan utamaku menghubungi rumah. Satu pertanyaan yang nyaris saja kutelan untuk kembali ke dalam relung-relung perut saat mendengar suara Abah yang menjawab panggilan telepon.

Ada jeda sekian detik sampai suara Mimi yang lebih bersemangat dari sebelumnya, merespons pertanyaanku, “Alhamdulillah!” Entah, aku mendengarnya seperti sebuah kelegaan, bukan sebagai jawaban atas pertanyaan. “Alhamdulillah, Abah sehat. Selalu sehat. Alhamdulillah, berkat doa Ria.” Volume suaranya pun naik beberapa oktaf.

Bukannya aku tidak tau, Mimi meninggikan suaranya agar Abah bisa mendengar langsung jika aku menanyakan kabarnya. Agar Abah tidak selalu merasa Mimi berbohong saat menyampaikan salam sapa dariku. Agar Abah tau bahwa aku, anak ketiganya yang tak tau diri, yang selalu membuat benteng penghalang di antara kami kian hari kian tinggi dan menebal, ternyata masih memiliki kepedulian untuk bertanya kabarnya.

Delapan tahun, bukan waktu yang main-main lamanya untuk menciptakan jarak jauh dengan seseorang yang telah bertaruh apa pun untuk kelayakan hidupku. Delapan tahun usahaku untuk kian merentangkan jarak dengan Abah. Delapan tahun penuh kaku yang tercipta hanya karena sebuah kesalahpahaman.

Dari cerita Mimi, Abah sudah tahu kebenaran dari peristiwa delapan tahun lalu itu berkat kisahnya yang kutuliskan di dalam salah satu bukuku, buku yang sengaja kuterbitkan untuk menyuarakan pemberontakanku pada Abah yang dulu bahkan tak memberiku satu kali pun kesempatan untuk membela diri. Namun entah, rasanya masih terbilang sulit untuk berlaku biasa setelah melalui tahun-tahun yang tak biasa.
***
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam. Teteh?” aku menjauhkan android dari telingaku, melihat layar untuk memastikan jika panggilan ini datangnya dari nomor Mimi. Tapi kenapa justru suara Teteh yang notabene berdomisili di Bandung yang terdengar.
“Ria, pulang, ya—”

Terdengar suara kasak-kusuk sebelum Teteh berhasil menuntaskan bicaranya, rupanya Mimi mengambil alih ponsel.
“Ria... Abah...”

Abah?! Detik itu juga aku menyambar tas selempangku yang hanya muat diisi oleh dompet dan ponsel, mengunci rumah kontrakan yang baru setahun kutempati setelah usaha yang kulakoni di sela kuliah kian membuahkan hasil, lantas memacu sepeda motor yang kubeli satu bulan sebelum mengontrak rumah ini.
Tujuanku hanya satu; stasiun. Aku ingin pulang. Aku harus pulang. Secepatnya.
***
Tanah ini masih merah, menguarkan bau basah yang berpadu dengan wewangian bunga yang masih utuh menyelimuti permukaan bidangnya. Sebongkah batu bata menancap tepat di satu sisi, sekadar penanda jika ada jasad yang terbujur di baliknya. Tanah ini masih merah, meski sembilan jam sudah terlewati sejak timbunan terakhirnya menutupi raga seseorang yang kini amat sangat ingin kucium kakinya.

“Abah...” kuusap nisan sederhana tanpa nama itu, sesuai wasiat si pemilik yang tak ingin rumah terakhirnya di dunia terhias macam-macam.
Abah dimakamkan ba’da ashar tadi, sekitar empat jam setelah Ijrail menjemputnya. Lima jam sebelum aku tiba di rumah. Kuikhlaskan tak melihat jasad Abah yang bahkan kali terakhir menemuinya adalah pada Lebaran tahun lalu, agar Abah tak berlama-lama tersiksa di dunia dan bisa disegerakan untuk menunaikan kewajiban pertanggungjawabannya dengan Pencipta.

“Khusnul khotimah, insyaallah.” Berkali-kali Aa yang kini mendampingiku mengunjungi makam Abah mengingatkan dengan air muka sedih yang dipaksa berbinar ikhlas demi memuluskan jalan Abah menghadap Allah. Namun tak pelak, air matanya pun terus berlinang. Sama banyak dengan banjir yang sejak di kereta menjebol pertahanan mataku.

Beri-beri jantung, satu penyakit yang baru kutahu ada justru setelah menjadi jembatan Abah memutus kontrak hidupnya dengan dunia yang selama 63 tahun dilakoninya nyaris tanpa cela. Jika bukan dokter yang menjabarkan tanda-tandanya, tak akan ada satu pun yang percaya jika Abah yang di usia kepala enamnya itu masih mampu mengangkut sekarung padi, tak pernah bisa terlihat diam menganggur, dan luar biasa giat beribadah bisa meninggal karena penyakit yang aku yakin dirinya sendiri pun tak menyadari.

Jika Abah terjangkit beri-beri kering atau basah, paling tidak akan ada “pertanda” untuk mengantisipasi penyembuhannya. Namun, qadarullah, beri-beri jantung yang terpilih untuk menjemput Abah tanpa pesan. Selain pesan yang dituahkannya padaku dalam mimpi kemarin sore.

Dikisahkan Kakak Ipar—suami dari Teteh—karena baik Aa, Teteh, apalagi Mimi masih nampak terpukul, Abah meninggal beberapa detik setelah menuntaskan kewajibannya memimpin kaum lelaki menunaikan sholat Jumat. Menurut penuturan dari saksi mata yang duduk tepat pada shaf di belakang imam, tangan Abah yang semula tengah menengadah berdoa, tiba-tiba menekan ulu hatinya, hingga kemudian tubuhnya ambruk ke kanan setelah mengucapkan dengan nyaris berteriak nama “Allah”. Sesuatu yang membuat kami dan semuanya yakin jika Abah pergi dengan kebaikan yang menyertainya.

“Abah... ampun, Bah... Ria minta maaf, gak pernah kirim obat buat Abah. Ria gak tau, gak pernah mau tau...” aku tak memiliki kesanggupan untuk menuntaskan kalimatku, isakan menyakitkan yang menekan-nekan dadaku hingga terasa menghimpit menyulitkanku untuk memuntahkan semua isi hati.

Dengan sigap, Aa yang masih berusaha keras untuk meredam isakannya sendiri, merangkul pundakku dan membimbing untuk berdiri.
“Ayo pulang, udah hampir jam 11 malam.”
“Abah... Ria pulang, Bah. Pulang sebagai Juaria binti Sulaiman, anak Abah yang delapan tahun ‘menghilang’. Ria pulang, Bah. Pulang untuk mengantar Abah berpulang.
Kutuntaskan risalah meski hanya lewat kata hati, aku yakin Abah bisa mendengarnya di sana, di surga, insyaallah.

Meski tak sempat berjumpa raganya, aku bahagia karena Abah “memilihku” untuk dititipinya pesan terakhir. Pesan yang disampaikannya dengan berjubah putih pemberianku, jubah sama yang mengantarkannya menghadap Allah Azza Wa Jalla di masjid siang tadi. Satu hal yang membuatku menjadi tahu dan kian yakin, Abah tetap menyayangiku, paling menyayangiku.

Satu wasiat Abah yang akan menjadi pedoman hidupku kini. Aku terlahir dengan tiada keistimewaan apa pun yang kumiliki, namun aku mati harus dengan membawa banyak manfaat untuk bekal menghadap Illahi. Aku ingin pulang seperti Abah, berpulang dalam kebaikan.

#Fiksi

Senin, 26 Januari 2015

Pameo "Pembeli Adalah Raja" Masihkah Relevan?

computerworld
Pameo pembeli adalah raja rasanya sudah gak relevan lagi. Kalopun masih ada yang mengiblatinya, mungkin itu cuma sebagian kecil saja. Zaman sekarang penjual bisa merangkap jadi pembeli dan begitu sebaliknya. Jadi, populasi antara penjual dan pembeli nyaris sama. So, we are a partner. Pembeli dan penjual sama-sama saling membutuhkan. Penjual memiliki kelebihan produk atau jasa dan dia butuh uang, pembeli memiliki kelebihan uang dan dia butuh produk/jasa. Singkatnya ini semacam barter yang nilainya sama tinggi. Jadi sekarang mah bukan cuma pembeli yang bisa blacklist, dan bukan cuma penjual juga yang bisa menipu. Semuanya punya kadar yang seimbang.

Saya di Penerbit Harfeey atau di usaha sebelumnya pun sering kali mem-blacklist pembeli yang tidak potensial. Entah itu yang berusaha menipu pembayaran, hit & run, yang sudah komplain marah-marah padahal masalah belum jelas, dlsb. Banyaknya yang saya ignore adalah mereka yang tidak bisa bekerja sama dengan manusia biasa yang rawan salah dengan ketidaksengajaannya. Bukan maksud menolak rejeki, karena saya yakin Tuhan masih punya banyak celah jalannya rejeki dari arah-arah yang lebih baik dan menyamankan hati. Hanya saja saya meminimalisir masalah dengan tidak mau lagi berurusan dengan pembeli-pembeli yang tidak potensial. Sementara untuk pembeli potensial, saya yakin semua penjual yang tau etika berbisnis akan memberikan pelayanan sebaik mungkin sesuai dengan yang dimampunya. Karena sekali lagi, kita adalah partner yang saling membutuhkan. 

Yah, begitulah kira-kira curcolnya penjual, wkwkwk. :P

Senin, 22 Desember 2014

Omzet Penerbit Harfeey

Selalu bingung tiap ada yang mau ngulas tentang profil Penerbit Harfeey dan nanya omzet perbulannya, soalnya saya gak pernah bikin pembukuan hehe. Biasanya uang setelah dipake biaya cetak, kirim paket untuk buku-buku PO, royalti penulis (untuk buku solo, kalo buku antologi event royaltinya langsung dipotong sebagai harga kontributor), nah... itulah omzetnya (masih laba kotor). Tapi ya alhamdulillah, sejauh ini masih bisa dipake buat makan 3 kali sehari dengan menu sekelas burjo (tapi masak sendiri ye). | Emangnya berapa digit? | Ya... 12 digit lah, wkwkw. ‪#‎Ngarang‬ ‪#‎Aamiin‬ ‪#‎Soon‬
 
2015 saya mau jadi alumni kampus, buka usaha keagenan ekspedisi pengiriman barang, punya kendaraan yang bisa nampung lebih dari 3 orang. ‪#‎Dream‬ ‪#‎Hope‬ ‪#‎Insyaallah‬
 
*Sore2 ngayal sambil nge-layout & nge-desain cover, di luar ujan*

Sabtu, 18 Oktober 2014

Titik Jenuh

Udah lama gak update status tentang sharing di FB ini, ya. Kemaren riweuh sama orderan dan cetak buku aja. Kebetulan sekarang bisa dibilang lagi hari tenang sampe masa selesai cetak nanti, saya mau sedikit sharing tentang rasa jenuh.

Setiap orang pasti sering atau minimal pernah merasakan yang namanya jenuh, dalam dan/atau untuk hal apa pun. Termasuk saya pada Penerbit Harfeey. Beberapa kali saya pernah mendiamkan semua sms/misscall yang masuk padahal itu bukan hari Minggu (hari yang saya tegaskan sebagai satu dari tujuh hari di mana saya jangan mengurusi apa pun tentang Harfeey, walau pada prakteknya saya sering kendor pertahanan juga kalo melihat tumpukan kerjaan). Beberapa kali juga saya mengganti ringtone sms untuk mengakali kejenuhan saya akan banyaknya sms; mulai dari orderan buku, tanya-tanya penerbitan, konfirmasi pembayaran, komplain, dlsb. Karena mustahil kalo saya melarang mereka untuk sms, itu sudah menjadi resiko saya yang berniaga nontatap-muka. Tapi saya juga tidak mau mengabaikan kondisi hati dan pikiran hanya demi pundi-pundi mata uang.

Harfeey yang menurut barometer anak bawang seperti saya sudah menjadi bidang usaha yang terbilang sukses, tidak lantas menjadikan saya selalu merasa nyaman dengan semua tentangnya. Alhamdulillah, dari semenjak berdiri hingga saat ini, saya tidak pernah merasa ada masalah dengan pemasukan di Harfeey. Besar-kecilnya tetap tidak pernah saya besar-besarkan untuk diambil pusing, terlebih saya typikal orang yang tidak begitu royal soal pengeluaran. Namun tetap saja, rasa jenuh selalu datang tiap kali serangan kerjaan menumpuk itu tiba. Untuk soal desain cover, saya memang masih bisa dibantu adik saya walau sebagian besarnya juga saya kerjakan sendiri dengan alasan idealisme. Soal packing dan pengiriman paket pun masih bisa dibantu seorang teman, apalagi sekarang juga ada adik saya di Jogja. Tapi untuk urusan hal-hal teknis lainnya semacam proses penerbitan, promosi, respon sms/inbox, proses cetak, dlsb-nya saya lakukan sendiri. Untuk hal-hal seperti itu, yang hanya saya sendiri yang paham bagaimana jalannya, sangat sulit kalau harus meminta bantuan orang lain. Terlebih saya typikal orang yang cukup idealis.

Apa yang biasanya saya lakukan saat dilanda jenuh? Ada 3 hal; pertama, membeli banyak camilan dan menggasaknya di kost sambil nonton TV atau baca buku yang saya suka, dengan mengabaikan atau bahkan menonaktifkan HP dan tidak membuka akun Harfeey sama sekali. Kedua, berjalan-jalan ke tempat tenang yang memiliki view pemandangan alam, tapi minimal saya harus ditemani oleh seorang kawan. Karena akan sangat aneh rasanya kalo saya pergi dan merenung di tempat sepi sendirian, salah-salah saya disangka lagi depresi dan tinggal menghitung detik untuk bunuh diri. Dengan ditemani seseorang, walaupun nantinya kami saling diam, setidaknya saya tak begitu nampak "menyedihkan". Ketiga, pergi ke pusat keramaian seorang diri, dan biasanya saya lakukan dengan berjalan kaki. Percaya atau tidak, saya sering melakukan hal ini, berjalan kaki pulang-pergi dari kost saya di daerah Demangan Kidul (dekat XXI) menuju Mall Amplaz. Beberapa kali juga saya pernah pulang atau pergi ke atau dari kost menuju kawasan Malioboro dengan mengambil rute normal. Di tempat ramai itu, saya biasa memerhatikan orang-orang yang lalu lalang. Melihat "Mbak" yang menggendong balita di pinggang dengan tumpukan plastik belanjaan majikannya di tangan, saya berpikir apa yang kira-kira ada di benak saya jika saya di posisi dia, berpikir sebegitu sulitnya orang lain demi menjemput rejeki. Dan masih banyak lagi hal-hal yang mungkin terlihat sepele tapi bisa menjadi pelipur sejenak rasa jenuh saya, dan akhirnya bisa menghasilkan rasa fresh penuh syukur.

Salah satu motto saya juga, hidup sudah menyuguhkan banyak tantangan kesulitan yang harus kita selesaikan, jadi jangan mengurusi hal-hal tak penting yang berpotensi membuat susah, yang padahal sangat bisa kita enyahkan. Misalnya saat ada orang yang sms dengan caci-maki tanpa bisa lagi dijelaskan duduk permasalahnnya dengan cara santun, daripada saya terus ikut tersulut, saya akan lebih memilih untuk mengabaikannya. kebetulan HP jadul saya punya menu blokir nomor, itu sangat membantu agar jenuh/stress saya sedikit terjaga kestabilannya.

Di facebook pun begitu, kadang-kadang saya sering melihat orang yang sudah jelas antara satu dan lainnya saling tidak suka, tapi masih juga mempertahankan masing-masingnya untuk ada di friendlist. Bilangnya benci, tapi sangat rajin stalking. Itu kan aneh, cari penyakit namanya. Kalo saya, baik di FB Harfeey maupun FB pribadi, saat sudah merasa tidak nyaman dengan akun tersebut, saya akan langsung memblokirnya dari akun Harfeey, selesai perkara. Kecuali untuk FB pribadi, itu lebih ribet lagi. Saya cukup selektif mengonfirmasi atau bahkan mempertahankan friendlist. Jujur saja, saya tidak nyaman kalo ada orang yang punya kepentingan dengan Harfeey tapi ingin masuk list FB pribadi saya juga. Karena saya sadar betul, saya paling tidak bisa yang namanya pencitraan. Berpura-pura mencitrakan kalo saya seseorang yang harus selalu punya tindak-tanduk teratur seperti yang sering tercermin di status Harfeey, padahal faktanya saya sama seperti pengguna facebook lainnya; yang mayoritas suka membagikan sesuatu yang penting hanya menurut dirinya sendiri.

Di FB Harfeey, saya tidak mempermasalahkan jenis kelamin, nama alay, ketikan alay, dlsb-nya dalam mengonfirmasi pertemanan. Selama space masih ada, pasti saya konfirmasi (tapi kebetulan sekarang sudah full 5 ribu, dan hanya bisa untuk di-follow). Lain halnya dengan di FB pribadi. Hal-hal yang saya sebutkan tadi jelas jadi pertimbangan. Mungkin ada di antara teman-teman FB ini yang juga meng-add FB pribadi saya tapi tidak dikonfirmasi juga sampe sekarang, padahal friendlist saya masih 2 ribuan (jauh lebih banyak followers saya ketimbang friendlist). Atau sudah berbilang bulan/tahun sejak nge-add dan baru dikonfirmasi. Atau juga harus meminta secara personal untuk dikonfirmasi. Serius, sebenernya bukan karena saya sombong atau merasa sok begini-begitu makanya pilih-pilih teman, itu semua justru karena itu tadi, saya merasa semua yang saya post di FB pribadi itu hanya penting menurut diri saya sendiri. Jadi gak ada manfaatnya sama sekali buat orang lain yang berharap bisa menemukan sesuatu dari postingan orang-biasa-pada-umumnya. Hingga akhirnya hal-hal yang membuat saya jenuh mengemban label sebagai pemilik penerbitan buku indie pun, tak jarang saya dapatkan dari orang-orang yang atas dasar keinginannya sendiri meng-add akun pribadi saya yang tak penting.

Pada event awal Harfeey, saya memang pernah mensyaratkan untuk meng-add akun pribadi saya atas dasar kepraktisan penyebaran informasi. Tapi kemudian itu saya hilangkan di event-event selanjutnya, saya ganti dengan hanya me-like fanpage saya, setelah ada seseorang yang bahkan saya konfirmasi sebagai teman FB pun tidak (alias dia follow FB saya sendiri), yang mengait-ngaitkan antara postingan tak penting saya sebagai saya pribadi dengan label saya sebagai pemilik penerbit indie. Kadang-kadang memang hanya ada sedikit orang yang bisa membedakan mana urusan pribadi dan kerjaan. Jika memang memiliki Harfeey lantas harus mengubah saya menjadi orang lain yang mengekang diri saya sendiri, memaksa saya untuk mencitrakan diri sebagai orang yang sesuai dengan apa-kata-dan-mau-orang-lain, lebih baik saya jadi pengangguran yang merdeka saja.

Itulah sebab yang pada akhirnya saya sangat ketat menyeleksi friendlist. Orang yang jelas-jelas menampilkan ketidaksukaannya dengan post2 di FB saya akan saya remove kalau berteman dan blokir kalau dia hanya followers, karena saya malas mengganggu dia dengan post tidak penting saya tapi anehnya masih dia follow juga. Orang yang tidak saya kenal dan saya merasa tidak punya kepentingan apa-apa dengan dia pun biasanya saya remove. Akun dengan nama dan/atau ketikan alay juga saya remove, kecuali untuk orang yang dengan alasan tertentu tidak memungkinkan saya untuk me-remove-nya, biasanya saya hanya meng-hide akunnya. Entahlah, target saya memang hanya ingin punya di bawah 2 ribu friendlist saja, padahal dulu akun saya beberapa kali mengalami full friendlist (yang sebagian besar isinya adalah orang-orang yang tidak saya kenal, tidak kenal saya, dan tidak punya kepentingan dan ketertarikan untuk saling mengenal).

Saya sering berpikir, alangkah menyenangkannya jika saya bisa mengatur hidup saya seperti saya mengatur akun facebook saya. Saya bisa memilah-milih siapa saja yang boleh ada di kehidupan saya (friendlist), siapa yang bisa masuk tetapi dengan batasan izin dari saya (followers), dan siapa yang benar-benar ingin dienyahkan (blokir). Tapi saya tau itu mustahil dan bisa merusak keseruan hidup. Tapi, selagi kita masih punya kuasa untuk mengatur hal-hal yang penting atau tidak bagi diri kita di akun sosial media dan HP, kenapa tidak kita gunakan untuk mengurangi kadar jenuh dan stress?

Ya ampun, ini panjang bangeeet, ya. Hahaha. Gak 'papa, mau saya posting di blog juga soalnya, lama gak update. Akhirulqalam, sesibuk apa pun kita dalam menunaikan kewajiban terhadap pemenuhan akan hak-hak orang lain, jangan sampai kita mengorbankan hak-hak kita sendiri. Refreshing itu perlu, meghilangkan jenuh itu penting, karena jika tidak diatasi dengan baik, mustahil kita bisa memberikan hal yang maksimal bagi orang lain. Abaikan segala rupa yang tak ada manfaatnya untuk kita, tetap berjalan di jalur yang menurut kita baik dan tidak merugikan orang lain (kecuali pendengki). Saya dan kamu punya ukuran baju masing-masing, dan tidak bisa saling memaksakan untuk bertukar baju padahal jelas size kita berbeda.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Tarif MURAH Mencetak Buku (Boleh Diadu) :P

Salam. Kami dari CV Harfeey ingin menawarkan kerjasama cetak buku POD pada penerbit. Yang membedakan cetak di kami dengan di tempat lain adalah, kami menerima cetak minimal 100 buku dengan judul campur. Dengan kata lain, dalam 100 buku itu boleh terdapat lebih dari 1 judul buku dengan jumlah halaman yang tidak terbatas. Misal, penerbit ingin mencetak judul A dengan jumlah halaman 150 sebanyak 10 buku, judul B 120 halaman sebanyak 50 buku, dst sampai minimal 100 buku. Asalkan ukuran bukunya sama, yakni A5. Untuk tarifnya pun cukup terjangkau dan hitungannya perhalaman. Jenis kertas cover ivory 260 gr, laminasi glossy/doff, kertas isi bookpaper 70 gr, binding lem panas.

Cetak 100 - 200 eksemplar
- Cover + finishing (binding & wraping): Rp6.000,-/eksemplar
- Isi: Rp60,-/halaman

Cetak 201 - 300 eksemplar
- Cover + finishing (binding & wraping): Rp5.800,-/eksemplar
- Isi: Rp58,-/halaman

Cetak 301 - 400 eksemplar
- Cover + finishing (binding & wraping): Rp5.500,-/eksemplar
- Isi: Rp55,-/halaman

Cetak 401 - 500 eksemplar
- Cover + finishing (binding & wraping): Rp5.000,-/eksemplar
- Isi: Rp50,-/halaman

Cetak >501 eksemplar
Bisa nego langsung! :)
Untuk menghemat ongkos kirim, kami juga bersedia membantu penerbit untuk mengirimkan pesanan buku-buku yang mungkin sebelumnya sudah di-pre order yang akan kami kirimkan dari Jogja ke masing-masing alamat para pengorder. Untuk jasa pengiriman ini kami kenakan tarif Rp50.000,- saja persekali periode pengiriman. Tarif tersebut sudah mencakup biaya pembungkus, lakban, jasa bungkus, dan jasa kirim. Namun jika sudah selesai kirim untuk pesanan pre order, kami tidak menerima jasa dropship. Dengan kata lain, sisa buku akan dikirim ke alamat penerbit dengan ongkos kirim ditanggung penerbit (boleh menggunakan ekspedisi apa pun yang sekiranya dianggap paling terjangkau).
Demikin penawaran dari kami. Jika berminat, silakan penerbit menghubungi via sms 087773000454 atau pin BB 7D0FCF1D (Ari Harfeey). Terima kasih dan kami tunggu responnya. Wassalam.

*PS: Kami juga menyediakan jasa pembuatan logo & desain cover keren + berkualitas dengan tarif 150 ribu/desain

DISTRO PENULIS; Cetak Kaos Satuan & Partai

HOLA! Kami dari Distro Penulis selain menyediakan kaos-kaos bertema kepenulisan dan kaos dengan desain keren lainnya, juga membuka jasa SABLON KAOS SATUAN. Bisa banget buat kamu yang mau punya kaos dengan desain non-mainstream kreasi sendiri, kaos couple, kaos komunitas, dll. Oke, monggo disimak list harga sablon yang juga sudah termasuk kaos dengan bahan cotton combat (ada diskon untuk pembelian partai besar):
Silakan diorder! :D Kami juga menyediakan jasa desain dengan tarif yang disesuaikan tergantung tingkat kesulitannya. Thank you. :)

Rabu, 07 Mei 2014

PENULIS? "Ketika kamu diragukan"

Saya sampe terinspirasi bikin kaos dengan desain ini, berawal dari pengalaman pribadi....

Saya sudah menggiati dunia tulis-menulis sejak lama, sejak saya kelas 4 SD bertahun-tahun lalu. Gak ada yang mendorong atau mengajari saya menulis, semuanya saya pelajari otodidak setelah saya "jatuh cinta" pada kalimat-kalimat puitis yang ditulis Teteh saya di buku hariannya (saya nemu di bekas lemari pakaian kakak saya, jadi saya baca XD). Sejak itu, saya menyisihkan uang jajan untuk rutin membeli buku diary dan menuliskan pengalaman saya sehari-hari. Selain itu, kelas 5 SD saya bisa punya buku kumpulan puisi yang ditulis tangan di buku tulis biasa. Berlanjut hingga SMP dan SMA, saya menghasilkan 1 novel serial remaja islami waktu duduk di bangku kelas 7, dan sangat banyak cerpen. Tapi kesemuanya sekarang entah di mana, dipinjam temen-dioper ke temen lain-dan... hilang.

Jadi, jujur saja, saya merasa gak nyaman kalo ada yang menyebut saya "penulis pemula" hanya karena umur saya yang belum senior. Karena faktanya saya sudah sangat lama bersinggungan dengan dunia itu. Disebut penulis senior pun saya gak mau, karena pasti akan ada "beban" tersendiri. Dan dalam dunia saya, gak ada istilah penulis senior-penulis pemula. Yang ada hanya penulis yang tulisannya bagus, dan penulis yang tulisannya belum bagus ("belum" ya, bukan "tidak").

Nah, apakah saya pernah diremehkan dengan "label" penulis yang saya sandang? Jawabannya... S E R I N G! O:) Tapi... itu DULU.

Dulu saya menulis cuma karena ingin menuruti hasrat, tulisan-tulisan pun cuma jadi konsumsi kawan main dan sekolah saja. Banyak yang mencibir waktu saya bilang mau jadi penulis, mau nyari makan dari menulis. Terutama dari teman-teman baru di kampus. Banyak sekali yang meremehkan. Menjadikan "profesi" saya ini sebagai objek lelucon. Penulis status facebook, lah. Penulis yang suka menuhin beranda orang dengan update-an 5 menit sekalinya, lah. Penulis yang hobi nulis status panjang-panjang, lah. Dan sebagainya, dan banyak lagi. 

Apa waktu diperlakukan begitu saya diam saja? Gak, dong. Bukan saya banget kalo gitu mah. 3:) Saya balas dengan senyum nonsimetris sambil menusukkan (hiperbolisnya keluar) tatapan mata yang seolah berkata, "Lu bakal 'nganga' pas liat nanti gimana gue bisa survive hidup di rantau dengan modal jemari."

Dan sekarang, apa masih ada yang berani menertawakan MIMPI saya (dan kamu, dan kita semua) sebagai penulis? Alhamdulillah, nothing. Mendapat uang di dunia perbukuan tidak hanya dengan mendirikan penerbitan (seperti saya). Jika memang kemampuan kalian terbatas pada hanya menulis, maka tekunilah. Royalti penulis itu lumayan, loh. Bisa sampe jutaan rupiah di penerbit indie (kalo promonya rajin), dan puluhan juta di penerbit major (tentunya yang high class. Oh ya, jangan kirim naskah dengan sistem royalti jual putus, apalagi kalo nominalnya 5 juta pun nggak nyampe. DP dari penerbit major aja rata-rata 2 juta, kok. Itu di luar royalti yang akan ditransfer persekian bulan sekalinya. Ini saran dari penulis produktif--Indah Hanaco--ke saya. Jadi sabar aja, bantu juga penerbit buat marketing bukumu)

Jadikan cibiran, ungkapan meremehkan, sebagai lecutan untuk kita semakin tunggang langgang menggapai mimpi. Jangan buat mereka senang dengan "mengabulkan" anggapan-anggapan mirisnya tentang kita. S E M A N G A T

Rabu, 02 April 2014

Cerpen; Kopi Air Mata

Kembali kureguk campuran kafein dengan air dari galon yang sama sekali tidak panas. Sesekali kuusap peluh yang besarnya tak sehiperbolis biji-biji jagung. Kipas angin di sudut kamar kost yang baru kubeli empat hari lalu telah mempekerjakan baling-balingnya dengan baik, tapi entah kenapa kadar air tubuhku lebih mendominasi untuk membuangnya lewat buliran keringat. Padahal udara malam tak terbilang panas.

Ini malam ke sekian dari 3 minggu yang penuh peluh dan keluh. Minggu-minggu yang memaksaku untuk memotong jam tidur lebih banyak lagi, lebih sibuk dari biasanya. Lebih lelah dari biasanya. Lebih emosional dari biasanya. Tuhan, beri aku kadar kesabaran lebih.

Mata dan jari-jariku masih sibuk berkeliaran nyalang di depan netbook. Berpindah dari microsoft words untuk menulis, mengedit, dan me-layout naskah ulang karena pekerjaanku sebelumnya hilang tertelan si error. Lalu bergulir ke paint untuk men-design cover. Begitu seterusnya, hingga mataku berair dan perut mual luar biasa saking bosannya.

Ini minggu terberat—seperti umumnya minggu-minggu dahulu di mana deadline jadwal cetak buku penerbit indie milikku sudah mencekik. Di antara keliaran pikir menghadapi segumpal pekerjaan, kelebatan bayang yang membuatku harus berlelah seperti ini turut berlompatan.

Kusesap kopiku lagi dan lagi, kopi pahit tanpa gula yang kucampur dengan air tawar. Sengaja aku meramunya begitu, aku tak ingin ada terselip kenikmatan di area deritaku. Itu tidak konsisten dengan keadaan. Keadaan di mana duka tengah erat mendekapku. Keadaan di mana situasi mengharuskanku menelan pahit ini mentah-mentah. Aku benar-benar merasa sendirian.

Kapan bukunya selesai cetak? Kapan buku pesanan saya dikirim? Mana revisian cover buku saya? Pokoknya buku saya harus sudah nyampe rumah sebelum tanggal 20! @#$%^&*?<!....

Kepalaku berdengung-dengung, konsentrasiku yang sudah terpecah ke berbagai tugas di balik netbook kian buyar, menebar, melebar. Tugas kuliah? Aku tak pernah memikirkannya. Kuteguk kopiku dengan lebih beringas, hingga gelas tupperware yang kupakai sebagai tempatnya pun kucekik kuat dengan kedua tangan.

Kini tubuhku menjauh dari layar netbook, bergeser pada satu ruang di sudut kamar gelap. Kamar yang hampir satu tahun terakhir ini tak pernah kupasangi lampu. Kusandarkan dagu di kedua lututku yang tertekuk, dengan tangan yang masih setia mencekik gelas yang kini berada tepat di bawah wajahku. Titik-titik air berjatuhan ke dalam gelas, bercampur dengan pekat kopiku. Bahuku mulai berguncang. Aku menangis.

Tuhan, aku lelah....

Harfeey adalah nama yang kupilih untuk usaha penerbitan buku indie milikku. Bidang usaha yang hampir dua tahun ini kugeluti sejak masih kuliah di semester 3. Nama yang sengaja kuambil dari singkatan nama orangtuaku, dengan harapan bisa sukses dan mendulang berkah melimpah.

Sepertinya harapan dari pemberian nama itu memang terkabul. Seiring perkembangannya, usahaku melesat pesat. Menimbulkan iri di sudut negatif maupun positif bagi yang lain. Beberapa media online mulai mengulas profilku di bidang kewirausahaan muda. Beberapa tawaran untuk menjadi pembicara seminar di komunitas, sekolah, bahkan perguruan tinggi pun menghampiri, tapi selalu kutolak tanpa tebang pilih. Aku belum berminat untuk menjadi terkenal. Seperti dagelan, tapi ini serius.

Tidak hanya itu, tawaran untuk membuka imprint penerbitan pun berseliweran, tawaran distribusi buku secara nasional turut berjejalan, hingga tawaran jasa editor dan design cover tak henti pula berdatangan. Dari kesemuanya tak ada yang kugubris. Aku masih belum bisa untuk merekrut orang lain. Selama ini aku meng-handle semua proses penerbitan seorang sendiri. Semuanya. Hanya kadang saja design cover dibantu oleh adikku, tapi tidak untuk masa cetak bulan ini. Aku benar-benar dibuat kesal dengan semuanya.

            Perhitunganku salah. Aku lupa jika tahun ini Februari hanya menjejak hingga angka 28. Aku teledor. Dan terparah adalah aku berjalan menghadapinya sendiri. Terlanjur sesumbar bahwa aku bisa meng-handle semuanya hingga jadwal cetak kuperkirakan akhir bulan.

            Dari belasan design cover, hampir seluruhnya aku yang buat sendiri karena adikku yang menyebalkan yang kumintai bantuan tak bisa diandalkan. Dua hari aku dibuatnya benar-benar tidak tidur sama sekali. Berkutat dengan 3 minggu yang penuh derita mendesign cover, seleksi naskah, editing, layout, dan blablabla. Ditemani lenguhan kecewa orang-orang yang merasa paling dirugikan di dunia karena buku PO-nya tak kunjung diterima. Lelah.

            Uang yang jika ditarik rata-rata perbulannya yang kukirim pada adikku hampir satu juta untuk biaya hidup dan kuliah di Jakarta, tiba-tiba saja mulai kuperhitungkan untuk enggan memberinya lagi. Kesal luar biasa saat mereka berbalik mendekatiku hanya di saat-saat butuh saja. Padahal aku sudah memberinya satu unit netbook juga agar lebih memudahkannya untuk membantuku membuat sebagian design cover, yang pastinya sulit kugarap sendiri mengingat tugas editing dan layout isi pun butuh waktu lama. Menggaji freelance? Hah, kantongku belum cukup untuk jadi juragan. Selain karena faktor aku tak begitu mudah puas dengan hasil orang lain.

            Air di mataku kian deras, rasa kesal dan marahku kian meluar biasa. Kian kuintenskan pula tiap regukan pada si pekat pahit. Sama pahitnya dengan nasibku. Sama pekatnya dengan deritaku.

            Ceracau tagihan pengiriman paket PO dari customer, sikap menyebalkan adikku yang sama sekali tak bisa diandalkan, hilangnya tulisan dan design-design cover-ku karena netbook yang berhari-hari tak kumatikan tiba-tiba error. Berkoalisi menjadi satu paket lengkap yang sukses mengoyak-koyak isi lambungku. Lantas kumuntahkan isinya yang penuh kopi, ke dalam cangkir yang masih berisi kopi.

Tangisku yang semula hanya berwujud linangan airmata, kini mulai diiringi isakan memilukan. Sedih dan jengkel, kolaborasi rasa yang tak jarang membuatku putus asa. Seperti melihat malaikat maut yang sudah mengintai dari segala sudut kamar kosku yang mungil.
Tuhan, aku tak berlebihan, kali ini benar-benar lelah....

#PromoApril; Buku-buku Rp20.000,-


PROMO APRIL!

Selama bulan April ini, harga dari masing-masing buku berikut hanyalah Rp20.000,- (belum termasuk ongkir dari Majalengka). Mari pilih dan order bukunya untuk koleksi pribadi atau dijual kembali!
Format order: Promo April-Judul Buku-Alamat kirim sms ke 081904162092

















Kamis, 20 Maret 2014

Behind The Scene "Paket Promo 3 & 4 Novel Rp100 Ribu Gratis Ongkos Kirim"

Begini, ya. Paket promo buku Gramedia, dll Rp100 ribu gratis ongkir itu memang sama sekali BUKAN saya yang jualannya. Tapi saya yang bantu promosikan jualan teman saya itu karena dia gak punya link ke cust yang suka baca/penulis. Lantas apa saya dapet fee/royalti dari penjualan paket tersebut? Ya sama sekali nggak lah. Penjualnya aja laba bersihnya kadang gak nyampe 10 ribu kok perpaket. Harga ngorder 3 atau 4 novel aja kisaran 60-68 ribu. Dan itu di 2 tempat. Saya juga sering bantu nemenin ngorder nyari bukunya di tempat yang lumayan jauh, kalo di sana gak ada ya terpaksa harus hubungin orang penerbitnya dan jadwal ketemu untuk order bukunya pun harus menyesuaikan sama waktu luang orang tersebut. Dan kadang harus nunggu ketersediaan stok bukunya juga.

Dari harga perpaket Rp100 ribu dan modal order bukunya 60-68 ribu, gak lantas kemudian laba/keuntungan penjualnya jadi 32-40 ribu. Jangan lupa kalo ini sifatnya juga GRATIS ongkos kirim ke seluruh Indo. Sistem ini pun saya yang ngusulin. Jadi selain capek ngorder ke 2 tempat, bungkusin paketnya, kesibukan belum selesai sampe di situ. Kita juga harus muterin Jogja buat nyari ekspedisi yang tarif ongkirnya termurah ke kota tujuan. Kalo lagi mujur, kadang di 1 paket itu ada yang ongkirnya masih di bawah 20-15 ribu. Tapi kalo lagi apes, banyak juga yang ongkir 1 paket (beratnya 1 kg) itu nyampe di atas 30 ribu, 50 ribu, dan malah ada juga yang 65 ribuan. Ya kalo udah gitu ceritanya mah cuma menang capek doank.

Di pre order Harfeey kemarin banyak yang order buku event dengan sekalian order paket promo itu, saya juga yang ngusulin. Dan karena kasian (plus tau banget berapa sih laba yang didapet penjualnya), khusus untuk paket-paket yang ada buku Harfeey-nya, saya nawarin ongkirnya dibagi 2 sama saya. Jadi yang ongkir paketnya di atas 20 ribu, sisanya saya yang nalangin. Tapi kalo di atas 50 ribu, saya bukan lagi nalangin sisanya, tapi setengah harga ongkirnya. Kalo udah gini, bukan cuma penjualnya yang apes karena cuma menang capek doang, tapi saya juga apes karena royalti penerbit dari penjualan bukunya malah dipake ongkir. Hahaha!

Kalo ditarik kesimpulan, dari 1 paket yang harganya Rp100 ribu dapet 3 atau 4 buku dan gartis ongkir itu, paling dapet laba kotor (belum dikurangi modal waktu + capek ngorder, bungkusin paket, nyari ekspedisi pengiriman, bensin motor, pembungkus + lakban, dll) paling gede cuma 20 ribuan, dan paling kecilnya ya gak dapet sama sekali (malah nombokin, makanya saya kasih solusi patungan ongkir karena kasian juga). Jadi kalo ada yang berniat order lebih dari 1 paket dan malah minta diskon di atas diskon, saya cuma bisa narik napas terus tepuk nyamuk! Dikiranya mungkin laba jualan buku paketan gratis ongkir gini tuh banyak kali, ya. Hoho. Belum lagi kalo ada yang request minta dikirimnya pake JNE biar cepet. Astaga. XD Silakan masuk ke web JNE dan cek seberapa "gaharnya" mereka ngasih tarif ongkir. Itu adalah ekspedisi yang paling saya hindari.

Pagi tadi ada yang kirim sms, kapok beli paket promo karena pengirimannya gak ontime. Ya saya cuma bisa mikir, terserah, wong itu juga bukan jualan saya. Kalo mau dijelasin sih ya kayak gini ini keadaannya. Mayoritas buku yang di dalamnya ada paket promo sebagian besarnya juga ada yang dikirim bareng buku-buku Harfeey yang lain di hari Rabu-Jumat. Tapi sekitar 2-3 paket memang ada yang baru dikirim Senin karena ada yang nunggu stok buku di agennya yang lagi kosong, dan ada juga yang belum nemu ekspedisi murah karena paketnya di atas 2 kg. Dihitung 3 kg biar bisa dikirim pake pos biasa (bukan kilat khusus) pun gak bisa karena beratnya masih di bawah 2,5 kg. Sementara kalo pake kilat khusus, ongkirnya hampir 120 ribu. Stress, itu mah nyari buntung. Makanya saya bantu ngakalin juga dengan nambah2 lapisan paket buat nambah beban berat biar bisa pake pos biasa. Dan setelah bisa pake paket biasa pun, ongkirnya hampir 60 ribu. Hahaha, ujung-ujungnya patungan deh. T_T

Apa setelah kejadian gini paket promonya jadi berakhir? Ya tentu aja nggak, tapi harus sabar karena ngirimnya pun harus ngubek-ngubek dulu ekspedisi yang ongkirnya bersahabat. Cuma mungkin ke depannya saya mau saranin lagi ke penjualnya kalo untuk beberapa daerah yang ongkirnya nyekik dan gak bisa diakalin (pokoknya yang 1 paket di atas 30 ribu) mending gak usah aja, karena bukannya untung malah buntung. Kalo gak nombok ya paling menang capek doang. XD

Selasa, 11 Maret 2014

SIAPA YANG BERMINAT KULIAH DENGAN HARGA MURAH? Mari saya ajari! (Wkwkwk, MLM banget)

Ehm, saya serius, saya mau kasih tau (tentunya buat yang mau tau) gimana caranya bisa kuliah dengan harga murah yang biayanya berasal dari kantong sendiri (dipertegas, kantong sendiri, ya. Bukan kantong bapak, ibu, atau mbahmu).
I could, I would
1. Cari perguruan tinggi di luar kota, jangan di daerahmu sendiri. Kenapa? karena ini untuk membentuk jiwa perantau yang umumnya lebih mandiri. Bisa merasakan bagaimana sulitnya hidup di perantauan yang hanya bisa menjadikan dirimu sendiri sebagai orang yang bisa diandalkan, akan menimbulkan motivasi "the power of kepepet". Percaya sama saya, selepas dari orangtua (jika kamu benar-benar anak yang tau bagaimana caranya berterimakasih) kamu akan lebih bisa "mikir".

2. Saya kasih saran buat merantau ke Jogja dan kuliah di UIN Suka (ya ampun, promo banget). Haha, saya gak promoin kampusnya, tapi saya kasih liat keekonomisannya. Biaya hidup di Jogja relatif murah kalo dibandingin sama kota besar lainnya. Termasuk soal kost-kostan, yang 800 ribu pertahun juga ada kalo kamu pinter nyarinya (atau bisa tempati 1 kamar 2 orang). Waktu saya daftar di tahun 2011, uang masuk di UIN Suka cuma 2,3 juta dan itu udah termasuk biaya SPP semester pertama Rp600 ribu. Biaya SPP seperti yang sudah diinfokan sebelumnya, 600 ribu/semesteer (6 bulan). Itu bersih, gak ada biaya lain karena KRS-nya gratis. Jangan beranggapan karena kampus UIN kurang prestise trus ngerasa takut susah buat nyari kerja. Hello, Boys and Girls! ini bukan lagi zaman Firaun jualan popok yang mana fresh graduate harus jadi kuli di negeri sendiri. Punya cita-cita tuh yang tinggi dong, jadi BOSS! Hehehe. Lagian juga, ya, yang saya tau, sekarang ini perusahaan-perusahaan mulai lebih ngelirik orang-orang kreatif dan inovatif ketimbang orang "pinter" (yang rajin minum tolak angin, skip) yang lulus dari perguruan tinggi prestise dengan predikat summa summa summa cumlaude tapi otaknya gak "cerdas" (pinter sama cerdas itu beda, loh).

3. Kalo kamu lulusan MA (Madrasah Aliyah), saya saranin buat daftar lewat jalur SPMB-PTAIN langsung di hari pertama (lewat online). Karena kalo kamu lolos, kamu bisa dapet kesempatan jadi 1 dari 1.000 mahasiswa yang dikasih beasiswa tunai masing-masing Rp5 juta dari Depag. Kan lumayan banget tuh bisa dipake buat modal usaha.

4. Gak usah pusing dan gengsi buat mulai usaha. Di kota pelajar ini apa sih yang gak bisa jadi duit? Hihi. Kalo ngerasa pinter (atau minimal bisa) masak, kamu bisa jualan makanan di kost dan kampus. Bisa juga bisnis jualan kaos hasil design sendiri, dapet ngulak, dlsb. Asal kamu punya kemauan untuk maju (sukses), minimal 3 juta/perbulan bisa jadi untung bersihmu. Selain buat menuhin kebutuhan pribadi, kamu juga bisa dikit-dikit ngirim uang buat ortu di kampung.

5. Walau gak salah, tapi saya gak saranin kamu buat nyari beasiswa, karena kalo saya sendiri sih gak minat berusaha keras buat dapet nilai tinggi, saya lebih suka berusaha keras buat dapet duit tinggi. Hahaha. Jangan juga ngambil side job jadi penjaga toko, aduh... lama kayanya! :P Sekali lagi, kalo menurut saya ya tetep lebih enak itu jadi mahasiswa entrepreneur ketimbang ngandelin beasiswa yang cuma stag di kata "lumayan". Temen2 lain ada yang malah penghasilannya ratusan juta/bulan cuma berawal dari jualan kecil-kecilan. Matrealistis = matre tapi realistis. Gunakan kecerdasanmu semaksimal mungkin. Inget, kamu lebih istimewa dari yang kamu kira.

Apa lagi, ya? sementara itu dulu. Saya tunggu di Jogja!
Salam,
Zamie Lily (bukan abang-abang, mas-mas, om-om, ataupun bapak-bapak, saya cewek tulen :v) 

Jumat, 17 Januari 2014

Bicara Tentang "Resolusi"

Tidak sedikit orang yang masih menyepelekan kekuatan "mimpi", karena memang ada banyak juga orang yang hanya bermimpi tanpa pernah mau bangun, bangkit untuk mewujudkan mimpinya agar menjadi nyata.


Saya pribadi adalah typikal orang yang--sebut saja--bertahan hidup dari mengandalkan mimpi-mimpi saya yang bisa jadi terlihat mustahil + omong kosong di mata orang lain.

Beberapa tahun terakhir ini saya cukup rajin membuat resolusi di setiap akhir/awal tahun, gunanya adalah sebagai salah satu tantangan dari tujuan hidup yang harus saya capai di tahun baru. Dan--alhamdulillah--sejauh ini, resolusi-resolusi yang saya tuliskan di facebook (status/catatan) selalu bisa saya realisasikan.

Tahun 2011 menjelang 2012 (Kuliah semester 1 menjelang 2)
- Saya membuat resolusi saat mengikuti pertemuan penulis FLP Jogja, bahwa di 2012 saya harus sudah punya minimal 1 buku solo. Kemudian terwujud dengan terbitnya "Rumput Liar"
- Saya membuat resolusi di note facebook untuk bisa punya usaha sendiri. Kemudian terwujud dengan adanya Toko BoLin Online yang menjual buku-buku diskon paketan, batik, dan baju-baju wanita dengan laba bersih 700ribu/MINGGU.
- Di status facebook saya menulis resolusi ingin memiliki penerbitan buku. Kemudian terwujud dengan berdirinya usaha CV Penerbit Harfeey yang kemudian karena ingin fokus, membuat saya harus menggulung sementara tikar usaha Toko BoLin Online.

Tahun 2012 menjelang 2013 (kuliah semester 3 menjelang 4)
- Saya membuat resolusi di status facebook ingin mendapat penghasilan minimal X.xxx.xxx perbulan agar bisa membantu keuangan ortu dan sodara-sodara saya, yang juga merupakan 2,5 kali lipat dari penghasilan saya di tahun sebelumnya bersama Penerbit Harfeey. Saat menuliskannya, saya masih merasa bahwa nominal itu terlalu "wah" untuk bisa direalisasikan, tapi fakta Allah berkehendak lain. Impossible is nothing. Puji Tuhan, nominal itu benar-benar menjadi nominal terkecil dari penghasilan saya perbulannya di tahun 2013.

Tahun 2013 menjelang 2014 (kuliah semester 5 menjelang 6) atau sekarang
- Saya membuat resolusi ingin memiliki Perpustakaan Umum di kampung halaman saya di Majalengka, alhamdulillah sekarang sedang dalam proses perealisasian (sudah 80%).
- Saya ingin menerbitkan novel dan diterbitkan di salah 1 dari 3 penerbit major incaran saya (alhamdulillah, naskahnya sudah selesai sejak Agustus tahun lalu, tapi masih butuh banyak revisi).
- Saya ingin memiliki kendaraan roda dua, insyaallah sebentar lagi terealisasi berkat hobi saya selama ini yang gemar menabung. Hehehe.

So, jangan takut untuk melantangkan suara mimpimu, karena siapa yang tau ada Malaikat yang mengamini, atau paling tidak orang yang membaca resolusi di status FB-mu pun semuanya ikut mengamini. Semangat!

Selasa, 19 November 2013

Buku Baru Bulan Oktober; Solo & Antologi

Nananina~ yaya, emang telat banget baru di-posting sekarang info tentang buku terbit bulan kemaren. Mau gimana lagi, feel nge-blog-nya baru nyamber sekarang-sekarang ini. :D


Oke, langsung aja.... Saya mau ngasih unjuk alias pamerin buku-buku cihuy nan aduhai yang alhamdulillah berhasil saya dan Penerbit Harfeey garap di bulan Oktober kemarin. Cover-nya unyu-unyu semua. :*

Oktober lalu, Harfeey menerbitkan totalnya 16 judul buku. Dengan spesifikasi 7 buku merupakan hasil dari saringan naskah pada event menulis yang saya adakan, dan sisanya adalah buku solo kiriman dari penulis untuk diterbitkan di Harfeey.

Berikut saya infokan list judul & link info lengkap tentang masing-masing bukunya:

  1. My Enemy
  2. And Family Pie
  3. Dongeng Cinderella #1
  4. Dongeng Cinderella #2
  5. My Love #1
  6. My Love #2
  7. Airmata di Lawang Sewu 
  8. English Vocabulary Test & English Quizzes 
  9. My Friend #1
  10. My Friend #2
  11. Kelabu di Kalbuku
  12. Batalyon Abstrak
  13. Koffee Manis
  14. My Facebook
  15. Red Blood Shot Eyes
  16. Snow Love in Seoul
Buat yang mau order, silakan langsung klik di judulnya aja, ya. Thank you. :)

Senin, 18 November 2013

Tanya & Jawab Seputar Cara Menerbitkan Buku di Penerbit Harfeey (Tarif 2014)


Assalamu'alaikum wr, wb....
Salam sejahtera....

Catatan berisi tanya (T) dan jawab (J) yang umum ditanyakan ini, bertujuan untuk memudahkan para Penulis yang berminat menerbitkan bukunya di Harfeey, dan merasa kesulitan mencerna informasi yang tertera di sini. Silakan dipahami sebelum benar-benar mengirimkan naskahnya.

(T) Harfeey termasuk pada penerbit indie atau penerbit major?
(J) Penerbit Harfeey merupakan salah satu penerbit indie (bukan percetakan) yang memosisikan diri untuk mewujudkan impian seluruh penulis (tanpa terkecuali), agar dapat mengabadikan naskahnya dalam bentuk sebuah buku yang berkualitas. Untuk memahami perbedaan antara penerbit indie dan major, silakan googling terlebih dahulu.

(T) Bagaimana cara menerbitkan buku di Harfeey? 
(J) Ketik naskah dalam format Microsoft Words dengan ketentuan:
1.    Jenis kertas A4
2.    Font Times New Roman size 12 PT
3.    Spasi 1,5
4.    Margin normal
5.    Justify
6.    Jumlah halaman TIDAK DIBATASI
7.    Kirim dalam 1 file beserta biodata, kata pengantar (ucapan terima kasih), dan daftar isi buku dalam bentuk lampiran ke email: penerbitharfeey@yahoo.com. Dengan subjek: KIRIM NASKAH. Naskah akan kami proses untuk diterbitkan dalam jangka waktu 2-4 minggu (belum termasuk waktu proses cetak), setelah tarif penerbitan ditransferkan.

(T) Kok bayar???
(J) Jelas, karena Harfeey penerbit indie.

(T) Berapa tarif menerbitkan buku di Harfeey?
(J) Tarif penerbitan sebesar Rp400.000,- (bukan tarif CETAK buku) (berlaku sejak Januari 2014). Tarif ditransferkan ke rekening Penerbit. Lalu naskah akan diproses setelah tarif penerbitan tersebut dilunasi.

(T) Apa saja fasilitas yang akan didapatkan dengan membayar Rp400.000,- tersebut?
(J) Penulis akan mendapatkan fasilitas penerbitan lengkap sbb:
1.    Design cover 1 kali revisi (dalam satu waktu)
2.    Editing naskah tanpa mengubah isi
3.    Layout naskah
4.    Sinopsis
5.    ISBN
6.    Cetak berkala dengan sistem POD (print on demand). Cover glosy, isi kertas HVS/bookpaper, size A5
7.    1 eksemplar buku bukti terbit yang dikirim gratis ke alamat penulis di Indonesia
8.    2 eksemplar buku yang dikirim ke Perpusnas untuk syarat pengajuan ISBN

(T) Hah, cuma buat 1 buku bayarnya harus 400 ribu??? Mahal banget!
(J) Halo, ini tarif penerbitan, ya. Bukan tarif cetak buku. Kalo kamu pake jasa di luar (tentunya yang kualiat gak asal) tarif 400 ribu itu untuk editornya saja gak dapet. Editor freelance pun gak akan ada yang mau dikasih tarif seribu rupiah perhalaman, minimal dari pemulanya aja pasang tarif paling murah itu 2.500,-an perhalaman. Silakan hitung berapa jumlah halaman naskahmu (size A4, margin normal, 1,5 spasi) lalu dikalikan tarif tersebut. Untuk desain layout, paling murah 200 ribu. Desain cover yang kualitas desainnya seperti cover-cover Harfeey, paling murah kami kasih harga 250 ribu. ISBN pun harus punya akta notaris yang bikinnya gak gratis, plus musti kirim 2 eksemplar buku berikut ongkirnya ke Perpustnas. Sedangkan untuk sinopsis, promosi lewat sosial media online, bolak-balik ngurus percetakan, orderan, bungkusin orderan, kirim orderan ke ekspedisi, dan lainnya kami hargai GRATIS, termasuk 1 eksemplar plus ongkir buku terbit yang dikirim ke alamat penulis.

(T) Berapa besaran royalti yang diperoleh penulis dari hasil penjualan buku di Harfeey?
(J) Royalti >15% (lebih dari 15%) dari setiap buku yang terjual (bukan yang dicetak) yang akan ditransfer langsung jika ada yang order bukunya (sekalipun baru satu buku yang terjual), ke rekening BRI milik penulis. Jika penulis tidak bisa menyediakan rekening BRI, maka royalti akan dikirim dalam bentuk pulsa.

(T) Apakah ada dana tambahan lain yang harus dibayarkan di luar tarif penerbitan tersebut?
(J) Tidak ada. Kecuali jika Penulis ingin menjual sendiri bukunya secara langsung di rumah (offline). Penulis bisa mengorder sekian jumlah buku dan membayarnya sesuai harga jual setelah dikurangi jumlah royalti 15%. Jika Penulis hanya berminat mempromosikannya via online, biaya cetak buku ditanggung oleh Penerbit. Buku dicetak berkala, selama masih ada yang order maka selama itu juga buku terus dicetak ulang dengan dana dari Penerbit (tapi hanya cetak bilangan satuan atau sesuai perkiraan, tidak langsung puluhan/ratusan).

(T) Apakah naskah yang masuk pasti diterima dan diterbitkan oleh Harfeey?
(J) Ya, selama naskah tersebut karya asli Penulis, bukan saduran dan/atau hasil plagiasi, tidak memicu konflik SARA dan pornografi. 

(T) Genre apa saja yang diterima untuk diterbitkan oleh Harfeey?
(J) Genre naskah bebas. Boleh fiksi maupun nonfiksi. Karya solo maupun antologi. Baik itu berupa novel, kisah inspiratif, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, how to, buku panduan, dll.

(T) Di mana dan bagaimana buku-buku terbitan Harfeey dijual?
(J) Promosi buku melalui sosial media online. Jika Penulis ingin mempromosikan bukunya lewat event lomba, Penerbit memberikan donasi voucher penerbitan gratis senilai Rp50.000,- untuk masing-masing kontributor terpilih. Promosi dari pihak Penerbit hanya bersifat membantu, sementara untuk promosi gencar menjadi tanggung jawab masing-masing Penulis.

(T) Kenapa tidak dijual di toko-toko buku nasional? Bukankah penjualannya akan lebih mencakup pasar yang luas?
(J) Untuk penjelasan lengkap dan terperincinya, silakan baca di sini.

(T) Bagaimana cara saya mempromosikan buku yang diterbitkan Harfeey?
(J) Silakan Penulis promosikan melalui media online atau offline pada sanak keluarga, sahabat, dll. Jika ada yang berminat untuk order, bisa menghubungi Penerbit via sms dengan menginfokan judul buku, jumlah order, dan alamat. Penerbit akan menginfokan total harga yang harus ditransfer, setelah ditransfer, buku akan langsung dikirimkan ke alamat pengorder langsung dari alamat Penerbit (dengan kata lain, pake sistem konsinyasi yang mana di sini dana cetak pun ditanggung oleh Penerbit, bukan Penulis).

(T) Berapa jumlah buku yang akan dicetak jika menerbitkan di Harfeey?
(J) Jumlah cetak fleksibel, tergantung dari respon pasar. Selama buku masih ada peminat, selama itu juga buku terus dicetak ulang.

(T) Apakah bisa mendesain cover, layout, dan edit sendiri? Lalu berapa tarif penerbitannya kalau semua itu sudah dikerjakan sendiri?
(J) Maaf, Harfeey hanya menerima tarif penerbitan lengkap. Ini menjadi salah satu ketentuan mutlak dari Harfeey.

Semoga catatan T & J ini bisa lebih membantu Teman-teman semua untuk memahaminya, sehingga meniadakan atau paling tidak meminimalisir noise di kemudian hari jika Penulis sudah terlanjur menerbitkan bukunya lewat jalur indie di Penerbit Harfeey. Sebagai info juga, setiap penerbit (sekalipun  indie) memiliki syarat dan ketentuan yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya. Bagi Teman-teman yang sudah paham dan setuju dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan Harfeey, sangat dipersilakan untuk segera bergabung bersama keluarga besar Penerbit Harfeey. Silakan hubungi CP Harfeey untuk tindak lanjut atas keseriusannya via sms (maaf, tidak menerima telepon) ke 081904162092 atas nama Zamie Lily (perempuan).

Sekian dan terima kasih banyak atas perhatiannya. :)
Wassalamu'alaikum wr, wb....



© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis