Kembali kureguk campuran
kafein dengan air dari galon yang sama sekali tidak panas. Sesekali kuusap
peluh yang besarnya tak sehiperbolis biji-biji jagung. Kipas angin di sudut
kamar kost yang baru kubeli empat hari lalu telah mempekerjakan
baling-balingnya dengan baik, tapi entah kenapa kadar air tubuhku lebih
mendominasi untuk membuangnya lewat buliran keringat. Padahal udara malam tak
terbilang panas.
Ini malam ke sekian dari 3 minggu yang penuh peluh
dan keluh. Minggu-minggu yang memaksaku untuk memotong jam tidur lebih banyak
lagi, lebih sibuk dari biasanya. Lebih lelah dari biasanya. Lebih emosional
dari biasanya. Tuhan, beri aku kadar kesabaran lebih.
Mata dan jari-jariku masih sibuk berkeliaran nyalang
di depan netbook. Berpindah dari microsoft words untuk menulis, mengedit, dan
me-layout naskah ulang karena pekerjaanku sebelumnya hilang tertelan si error. Lalu bergulir ke paint untuk
men-design cover. Begitu seterusnya, hingga mataku berair dan perut mual luar
biasa saking bosannya.
Ini minggu terberat—seperti umumnya minggu-minggu
dahulu di mana deadline jadwal cetak
buku penerbit indie milikku sudah mencekik. Di antara keliaran pikir menghadapi
segumpal pekerjaan, kelebatan bayang yang membuatku harus berlelah seperti ini
turut berlompatan.
Kusesap kopiku lagi dan lagi, kopi pahit tanpa gula
yang kucampur dengan air tawar. Sengaja aku meramunya begitu, aku tak ingin ada
terselip kenikmatan di area deritaku. Itu tidak konsisten dengan keadaan.
Keadaan di mana duka tengah erat mendekapku. Keadaan di mana situasi mengharuskanku
menelan pahit ini mentah-mentah. Aku benar-benar merasa sendirian.
Kapan bukunya
selesai cetak? Kapan buku pesanan saya dikirim? Mana revisian cover buku saya?
Pokoknya buku saya harus sudah nyampe rumah sebelum tanggal 20!
@#$%^&*?<!....
Kepalaku berdengung-dengung, konsentrasiku yang
sudah terpecah ke berbagai tugas di balik netbook kian buyar, menebar, melebar.
Tugas kuliah? Aku tak pernah memikirkannya. Kuteguk kopiku dengan lebih
beringas, hingga gelas tupperware yang kupakai sebagai tempatnya pun kucekik
kuat dengan kedua tangan.
Kini tubuhku menjauh dari layar netbook, bergeser
pada satu ruang di sudut kamar gelap. Kamar yang hampir satu tahun terakhir ini
tak pernah kupasangi lampu. Kusandarkan dagu di kedua lututku yang tertekuk,
dengan tangan yang masih setia mencekik gelas yang kini berada tepat di bawah
wajahku. Titik-titik air berjatuhan ke dalam gelas, bercampur dengan pekat
kopiku. Bahuku mulai berguncang. Aku menangis.
Tuhan, aku
lelah....
Harfeey adalah nama yang kupilih untuk usaha
penerbitan buku indie milikku. Bidang usaha yang hampir dua tahun ini kugeluti
sejak masih kuliah di semester 3. Nama yang sengaja kuambil dari singkatan nama
orangtuaku, dengan harapan bisa sukses dan mendulang berkah melimpah.
Sepertinya harapan dari pemberian nama itu memang
terkabul. Seiring perkembangannya, usahaku melesat pesat. Menimbulkan iri di
sudut negatif maupun positif bagi yang lain. Beberapa media online mulai
mengulas profilku di bidang kewirausahaan muda. Beberapa tawaran untuk menjadi
pembicara seminar di komunitas, sekolah, bahkan perguruan tinggi pun
menghampiri, tapi selalu kutolak tanpa tebang pilih. Aku belum berminat untuk
menjadi terkenal. Seperti dagelan, tapi ini serius.
Tidak hanya itu, tawaran untuk membuka imprint
penerbitan pun berseliweran, tawaran distribusi buku secara nasional turut
berjejalan, hingga tawaran jasa editor dan design cover tak henti pula
berdatangan. Dari kesemuanya tak ada yang kugubris. Aku masih belum bisa untuk
merekrut orang lain. Selama ini aku meng-handle semua proses penerbitan seorang
sendiri. Semuanya. Hanya kadang saja design cover dibantu oleh adikku, tapi
tidak untuk masa cetak bulan ini. Aku benar-benar dibuat kesal dengan semuanya.
Perhitunganku salah. Aku lupa jika
tahun ini Februari hanya menjejak hingga angka 28. Aku teledor. Dan terparah
adalah aku berjalan menghadapinya sendiri. Terlanjur sesumbar bahwa aku bisa
meng-handle semuanya hingga jadwal
cetak kuperkirakan akhir bulan.
Dari belasan design cover, hampir
seluruhnya aku yang buat sendiri karena adikku yang menyebalkan yang kumintai
bantuan tak bisa diandalkan. Dua hari aku dibuatnya benar-benar tidak tidur
sama sekali. Berkutat dengan 3 minggu yang penuh derita mendesign cover,
seleksi naskah, editing, layout, dan blablabla. Ditemani lenguhan kecewa
orang-orang yang merasa paling dirugikan di dunia karena buku PO-nya tak
kunjung diterima. Lelah.
Uang yang jika ditarik rata-rata
perbulannya yang kukirim pada adikku hampir satu juta untuk biaya hidup dan
kuliah di Jakarta, tiba-tiba saja mulai kuperhitungkan untuk enggan memberinya
lagi. Kesal luar biasa saat mereka berbalik mendekatiku hanya di saat-saat
butuh saja. Padahal aku sudah memberinya satu unit netbook juga agar lebih
memudahkannya untuk membantuku membuat sebagian design cover, yang pastinya
sulit kugarap sendiri mengingat tugas editing dan layout isi pun butuh waktu
lama. Menggaji freelance? Hah,
kantongku belum cukup untuk jadi juragan. Selain karena faktor aku tak begitu
mudah puas dengan hasil orang lain.
Air di mataku kian deras, rasa kesal
dan marahku kian meluar biasa. Kian kuintenskan pula tiap regukan pada si pekat
pahit. Sama pahitnya dengan nasibku. Sama pekatnya dengan deritaku.
Ceracau tagihan pengiriman paket PO
dari customer, sikap menyebalkan
adikku yang sama sekali tak bisa diandalkan, hilangnya tulisan dan
design-design cover-ku karena netbook yang berhari-hari tak kumatikan tiba-tiba
error. Berkoalisi menjadi satu paket
lengkap yang sukses mengoyak-koyak isi lambungku. Lantas kumuntahkan isinya
yang penuh kopi, ke dalam cangkir yang masih berisi kopi.
Tangisku yang semula hanya berwujud linangan
airmata, kini mulai diiringi isakan memilukan. Sedih dan jengkel, kolaborasi
rasa yang tak jarang membuatku putus asa. Seperti melihat malaikat maut yang
sudah mengintai dari segala sudut kamar kosku yang mungil.
Tuhan, aku tak
berlebihan, kali ini benar-benar lelah....
Oh, Boneka Lilin yang manis.. entah cerpen itu riil atau fantasi bagi-darimu, semoga semua air mata itu membuatnya senyummu lebih manis pada saatnya nanti.
BalasHapusSalam damai dari Bandung, :)
Hehe, mungkin kolaborasinya. Salam juga, ya.
Hapus:'/ Akhirnya gimana? Mudah2n endingnya baik ya... :(
BalasHapusEnding-nya, omzet bulan kemaren bisa saya pake buat beli scoopy seri terbaru secara kontan. Wkwkwk. :P Kok pada nebak kisah nyata, ya? qiqiqi
HapusKetebak, soalnya dalem banget... :D
HapusItu udah jadi typikal dari tulisan2 saya kok, Qaqa. *Ngeles* xixi
Hapus