Salah satu karya tulis terbaik saya yang ikut dibukukan dalam antologi cerpen event terakhir Penerbit Harfeey, "Kado Terindah" bersama puluhan penulis lainnya. Selamat menikmati akhir pekan.
***
PULANG
By Boneka Lilin
Abah berdiri tak sampai satu jengkal di kananku. Saking dekatnya, bahu kami hingga bersinggungan. Setelah delapan tahun, ini menjadi kali pertama antara aku dan Abah tanpa jarak. Di hadapan kami terhampar danau yang ujungnya tak terjangkau penglihatanku. Kabut tipis di pagi hari memberi kontribusi besar untuk menyamarkannya.
“Manusia hidup dalam keadaan tiada,” Abah memulai petuahnya, petuah yang entah bagaimana aku merasa dikhususkan bagiku. “Namun manusia wajib mati dalam keadaan ada.” Kepalanya yang terlilit sorban putih dipalingkannya menghadapku. Dari sisi ini, aku baru menyadari kalau ternyata Abah juga mengenakan jubah putih, baju yang kubelikan untuk dipakainya pada Lebaran tahun lalu.
Aku masih bergeming, bahkan ketika Abah yang tersenyum mengelus kepalaku dari pangkal ke pangkal. “Abah menyayangi Ria. Paling sayang.” Ucapan terakhirnya sebelum kemudian berjalan lurus, menembus air danau yang tiba-tiba berubah menjadi jalan bertanah liat.
Sampai di sini, kesadaranku seperti baru terkumpul. Aku menangis, memanggil Abah dengan suara yang tak bergaung sama sekali. Namun Abah tak mengacuhkanku, terus melangkah hingga sosoknya tertelan kabut putih. Entah kenapa aku merasa sangat sakit hati.
“Astaghfirullah!” kudapati keterjagaan setelah kaki kananku menghentak udara.
Hanya mimpi. Dua kata itu yang pertama kali kusugesti untuk diterima otak. Ya, meski hanya mimpi, namun ternyata rasa sakitnya masih membekas di hati.
Jam analog pada android yang selalu kuletakkan di sampingku menampilkan angka 16.21. Sebuah momen tidur siang yang kebablasan, dan akhirnya berbuah mimpi menyebalkan. Aku merutuk sepanjang perjalanan menuju kamar mandi untuk berwudhu.
***
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam,” suara Abah yang menjawab. Hal yang cukup jarang, mengingat Abah adalah seorang yang terbilang zuhud. Namun dari yang kudengar, Mimi sengaja mengajari Abah bagaimana caranya menjawab telepon yang masuk ke ponsel, agar Abah tidak perlu merepotkan tetangga hanya sekadar untuk menekan tombol berwarna hijau jika kebetulan Mimi tak ada.
“Abah...”
Belum selesai aku bicara, terdengar teriakan Abah memanggil Mimi. “Tunggu sebentar, Mimi masih di kamar mandi.” Ucapnya sebelum kemudian kembali menjauhkan mulut dari horn dan berteriak memanggil Mimi untuk segera menjawab teleponku.
Aku tersenyum. Abah selalu begitu. Selalu merasa setiap anak-anaknya menelepon, itu berarti berkepentingan dengan Mimi. Selalu merasa dirinya bukan objek yang kerap dibutuhkan, bahkan sekalipun untuk sekadar mengobrol.
“Assalamu’alaikum,” sapaan ceria khas Mimi setelah sebelumnya terdengar bertanya pada Abah tentang siapa yang menelepon.
“Wa’alaikumsalam. Sehat, Mi?” pertanyaan langganan yang kerap kutanyakan jika menghubungi rumah. Empat tahun sudah aku merantau di Kota Gudeg, pulang hanya setahun sekali meski berulang Mimi memintaku untuk mudik. Namun sesuatu yang disebabkan oleh delapan tahun lalu, selalu memupus hasratku untuk pulang meski seberapa pun inginnya aku. Cara satu-satunya bagiku untuk tetap mengetahui kondisi Abah dan Mimi yang kini hanya tinggal berdua di rumah adalah dengan menelepon sedikitnya tiga kali dalam seminggu.
“Alhamdulillah, sehat. Ada apa, Ri?”
Aku berdeham sebelum menjawab, “Gak apa-apa,” masih bergelayut sebongkah ragu untuk mengutarakan maksud utamaku.
“Oh. Hm, Ria sehat? Udah makan?”
“Alhamdulillah. Udah, Mi.”
Untuk beberapa saat aku hanya mendengarkan celotehan Mimi jika di sana pun mereka baru selesai makan dengan labu siam dan pepes tahu. Kondisi fisik Mimi yang disarangi beberapa penyakit memang mengharuskannya untuk memilah makanan. Mau tak mau, Abah yang sehat secara jasmani pun harus mengikuti menu makan Mimi. Bukan sekali dua kali aku mengirimkan obat, baik ramuan herbal maupun obat modern, demi kesembuhan Mimi. Namun sejauh ini, hidupnya masih harus bergantung pada obat-obatan.
“Ehm. Abah... Abah sehat, Mi?” akhirnya, terucap juga tujuan utamaku menghubungi rumah. Satu pertanyaan yang nyaris saja kutelan untuk kembali ke dalam relung-relung perut saat mendengar suara Abah yang menjawab panggilan telepon.
Ada jeda sekian detik sampai suara Mimi yang lebih bersemangat dari sebelumnya, merespons pertanyaanku, “Alhamdulillah!” Entah, aku mendengarnya seperti sebuah kelegaan, bukan sebagai jawaban atas pertanyaan. “Alhamdulillah, Abah sehat. Selalu sehat. Alhamdulillah, berkat doa Ria.” Volume suaranya pun naik beberapa oktaf.
Bukannya aku tidak tau, Mimi meninggikan suaranya agar Abah bisa mendengar langsung jika aku menanyakan kabarnya. Agar Abah tidak selalu merasa Mimi berbohong saat menyampaikan salam sapa dariku. Agar Abah tau bahwa aku, anak ketiganya yang tak tau diri, yang selalu membuat benteng penghalang di antara kami kian hari kian tinggi dan menebal, ternyata masih memiliki kepedulian untuk bertanya kabarnya.
Delapan tahun, bukan waktu yang main-main lamanya untuk menciptakan jarak jauh dengan seseorang yang telah bertaruh apa pun untuk kelayakan hidupku. Delapan tahun usahaku untuk kian merentangkan jarak dengan Abah. Delapan tahun penuh kaku yang tercipta hanya karena sebuah kesalahpahaman.
Dari cerita Mimi, Abah sudah tahu kebenaran dari peristiwa delapan tahun lalu itu berkat kisahnya yang kutuliskan di dalam salah satu bukuku, buku yang sengaja kuterbitkan untuk menyuarakan pemberontakanku pada Abah yang dulu bahkan tak memberiku satu kali pun kesempatan untuk membela diri. Namun entah, rasanya masih terbilang sulit untuk berlaku biasa setelah melalui tahun-tahun yang tak biasa.
***
“Assalamu’alaikum...”
“Wa’alaikumsalam. Teteh?” aku menjauhkan android dari telingaku, melihat layar untuk memastikan jika panggilan ini datangnya dari nomor Mimi. Tapi kenapa justru suara Teteh yang notabene berdomisili di Bandung yang terdengar.
“Ria, pulang, ya—”
Terdengar suara kasak-kusuk sebelum Teteh berhasil menuntaskan bicaranya, rupanya Mimi mengambil alih ponsel.
“Ria... Abah...”
Abah?! Detik itu juga aku menyambar tas selempangku yang hanya muat diisi oleh dompet dan ponsel, mengunci rumah kontrakan yang baru setahun kutempati setelah usaha yang kulakoni di sela kuliah kian membuahkan hasil, lantas memacu sepeda motor yang kubeli satu bulan sebelum mengontrak rumah ini.
Tujuanku hanya satu; stasiun. Aku ingin pulang. Aku harus pulang. Secepatnya.
***
Tanah ini masih merah, menguarkan bau basah yang berpadu dengan wewangian bunga yang masih utuh menyelimuti permukaan bidangnya. Sebongkah batu bata menancap tepat di satu sisi, sekadar penanda jika ada jasad yang terbujur di baliknya. Tanah ini masih merah, meski sembilan jam sudah terlewati sejak timbunan terakhirnya menutupi raga seseorang yang kini amat sangat ingin kucium kakinya.
“Abah...” kuusap nisan sederhana tanpa nama itu, sesuai wasiat si pemilik yang tak ingin rumah terakhirnya di dunia terhias macam-macam.
Abah dimakamkan ba’da ashar tadi, sekitar empat jam setelah Ijrail menjemputnya. Lima jam sebelum aku tiba di rumah. Kuikhlaskan tak melihat jasad Abah yang bahkan kali terakhir menemuinya adalah pada Lebaran tahun lalu, agar Abah tak berlama-lama tersiksa di dunia dan bisa disegerakan untuk menunaikan kewajiban pertanggungjawabannya dengan Pencipta.
“Khusnul khotimah, insyaallah.” Berkali-kali Aa yang kini mendampingiku mengunjungi makam Abah mengingatkan dengan air muka sedih yang dipaksa berbinar ikhlas demi memuluskan jalan Abah menghadap Allah. Namun tak pelak, air matanya pun terus berlinang. Sama banyak dengan banjir yang sejak di kereta menjebol pertahanan mataku.
Beri-beri jantung, satu penyakit yang baru kutahu ada justru setelah menjadi jembatan Abah memutus kontrak hidupnya dengan dunia yang selama 63 tahun dilakoninya nyaris tanpa cela. Jika bukan dokter yang menjabarkan tanda-tandanya, tak akan ada satu pun yang percaya jika Abah yang di usia kepala enamnya itu masih mampu mengangkut sekarung padi, tak pernah bisa terlihat diam menganggur, dan luar biasa giat beribadah bisa meninggal karena penyakit yang aku yakin dirinya sendiri pun tak menyadari.
Jika Abah terjangkit beri-beri kering atau basah, paling tidak akan ada “pertanda” untuk mengantisipasi penyembuhannya. Namun, qadarullah, beri-beri jantung yang terpilih untuk menjemput Abah tanpa pesan. Selain pesan yang dituahkannya padaku dalam mimpi kemarin sore.
Dikisahkan Kakak Ipar—suami dari Teteh—karena baik Aa, Teteh, apalagi Mimi masih nampak terpukul, Abah meninggal beberapa detik setelah menuntaskan kewajibannya memimpin kaum lelaki menunaikan sholat Jumat. Menurut penuturan dari saksi mata yang duduk tepat pada shaf di belakang imam, tangan Abah yang semula tengah menengadah berdoa, tiba-tiba menekan ulu hatinya, hingga kemudian tubuhnya ambruk ke kanan setelah mengucapkan dengan nyaris berteriak nama “Allah”. Sesuatu yang membuat kami dan semuanya yakin jika Abah pergi dengan kebaikan yang menyertainya.
“Abah... ampun, Bah... Ria minta maaf, gak pernah kirim obat buat Abah. Ria gak tau, gak pernah mau tau...” aku tak memiliki kesanggupan untuk menuntaskan kalimatku, isakan menyakitkan yang menekan-nekan dadaku hingga terasa menghimpit menyulitkanku untuk memuntahkan semua isi hati.
Dengan sigap, Aa yang masih berusaha keras untuk meredam isakannya sendiri, merangkul pundakku dan membimbing untuk berdiri.
“Ayo pulang, udah hampir jam 11 malam.”
“Abah... Ria pulang, Bah. Pulang sebagai Juaria binti Sulaiman, anak Abah yang delapan tahun ‘menghilang’. Ria pulang, Bah. Pulang untuk mengantar Abah berpulang.
Kutuntaskan risalah meski hanya lewat kata hati, aku yakin Abah bisa mendengarnya di sana, di surga, insyaallah.
Meski tak sempat berjumpa raganya, aku bahagia karena Abah “memilihku” untuk dititipinya pesan terakhir. Pesan yang disampaikannya dengan berjubah putih pemberianku, jubah sama yang mengantarkannya menghadap Allah Azza Wa Jalla di masjid siang tadi. Satu hal yang membuatku menjadi tahu dan kian yakin, Abah tetap menyayangiku, paling menyayangiku.
Satu wasiat Abah yang akan menjadi pedoman hidupku kini. Aku terlahir dengan tiada keistimewaan apa pun yang kumiliki, namun aku mati harus dengan membawa banyak manfaat untuk bekal menghadap Illahi. Aku ingin pulang seperti Abah, berpulang dalam kebaikan.
#Fiksi