Air
di mataku seolah telah membeku terlebih dulu, sebelum ia sempat menggenangi
pipi tirusku yang tak lagi semulus kemarin. Segala teriak kesah yang ingin
kugenderangkan, terbekap khidmat dan hanya kembali berpulang dan menggaung di
dalam relung-relung perut. Aku tidak boleh menangis. Aku pantang mengeluh. Ini
salahku. Sebuah kesalahan yang akan memberi kontribusi besar dalam
keberlangsungan hidupku.
Butuh
keberanian besar yang kupupuk sekian hari pasca insiden itu, hingga akhirnya
aku berhasil menekadbulatkan hati untuk berani berhadapan langsung dengan satu
benda yang paling kuhindari belakangan ini; cermin.
Aku
mengatupkan erat kedua mataku yang kian sayu, membeliak-beliakkan bolanya
dengan posisi kelopak yang belum terbuka sempurna. Bismillah... perlahan aku membuka mata, dan penyambutan dari
sesosok wajah penuh luka cukup sukses menimbulkan jerit yang tercekat di
tenggorokan. Sosok yang tak lagi rupawan itu, harus kuterima dengan lapang
sebagai refleksi dari diriku kini, dan selamanya. Itu aku.
Tak
ada teriakan histeris, saat kudapati paras yang beberapa hari kemarin masih
sangat kupuja itu kini telah berganti rupa. Hanya guliran bulir-bulir air asin
yang menjadi bukti nyata bagaimana hatiku lebih merasa terluka dari borok fisik
itu sendiri. Pandangan mataku seketika memburam, sama buramnya dengan pandangan
akan keberlayakan hidup dalam melakoni masa-masa awal keremajaanku mendatang.
Tuhan, kenapa harus
aku? Berkali-kali kugaungkan satu tanya itu di bilik hatiku
yang kian terasa sempit, bahkan untuk sekadar menghela napas pun begitu
kepayahan.
Sebuah
tragedi yang sebelumnya kerap kupikir hanya terjadi pada tayangan-tayangan
terkonsep di balik layar virtual itu, atau bahkan bila memang sejatinya terjadi
di alam nyata, maka orang lainlah yang akan Tuhan desain untuk melakoni peranan
tersebut, namun semua prasangkaku harus kutelan mentah dan bulat. Tuhan telah
memilihku untuk menjadi pemeran utama dalam episode hidup yang akan berdampak
pada metamorfosis besar-besaran dalam diriku sendiri. Akulah orang yang
terpilih.
Pagi
itu, menjadi pagi terakhir yang menghantarkan bias senyum remajaku saat
menyaksikan pantulan diri di dalam cermin pada kaca bufet di kamar. Sesosok
gadis belia usia awal belasan tahun, berkuncir kuda dengan poni kecil yang
menyamping, nampak manis tanpa polesan make
up sedikitpun. Dia adalah aku. Yah... aku beberapa menit sebelum insiden
itu.
Aku
memiliki beberapa persen kadar kenarsisan diri, yang akhirnya mendorongku untuk
meyakini dan mengakui bahwa aku terlahir tidak hanya dengan dibekali Tuhan oleh
sebongkah otak cerdas, namun juga dilengkapi dengan seperangkat tampilan fisik
yang tak bisa dibilang mengecewakan. Aku cantik. Bahkan menurut pengakuan dari
banyak orang juga. Yah... setidaknya sebelum insiden itu.
Aku
mendapati banyak hal menakjubkan untuk menunjang berbagai kisi-kisi yang akan
turut bersamaku melarung bahtera transisi dari kekanakkan menjadi remaja. Aku
bahagia dengan segala bekal yang Tuhan berikan padaku.
Dengan
langkah gegas lantas aku bertolak dari rumah mengendarai sepeda mini yang baru
dua bulan dibeli ibu. Mengonthelnya dengan riang menuju salah satu toko majalah
di pasar yang letaknya dekat kantor kecamatan. Aku yang kala itu maniak TTS,
tak bisa membendung hasratku untuk segera bermain otak dengan kolom kotak-kotak
tersebut.
Genjranggg!!!
Kesadaranku
belum terkumpul penuh ketika dengan refleks aku menopang diri untuk segera
bangkit setelah berguling-guling di beton jalan raya depan puskesmas kecamatan.
Bahkan sebelah tanganku langsung bereaksi memungut buku TTS yang terpelanting
dari keranjang sepedaku. Setelahnya, aku langsung menghampiri kerumunan orang
yang tengah mengamankan kereta anginku itu. Mengabaikan rasa sakit yang mulai
terasa di cuping hidung, aku bermaksud untuk segera menyambar sepeda Ibu yang
kulihat rusak lampu berko depannya itu dan segera pulang. Rasa malu menjadi
pusat perhatian sudah bercokol di ubun-ubunku.
Namun
rasa itu harus kuredam, ketika kerumunan orang-orang tersebut melarangku untuk
segera pulang. Aku masih memaksa sambil menutupi sebagian wajahku dengan tangan
yang juga kian menampakkan tanda-tanda memerihkan.
“Aku
nggak ‘papa. Aku mau pulang, ketemu Ibu.” Kataku memaksa.
Seorang
perempuan berdaster tua menyadarkanku tentang asal muasal rasa perih yang kian
merasukiku setiap detiknya. Bola mataku nyaris melompat begitu mendapati kulit
mulusku kini penuh darah dan luka. Namun aku terlalu kaget untuk sekadar
melibatkan airmata di dalamnya.
Puzzle-puzzle
ingatan mulai kupaksa sekuat tenaga untuk tersusun dengan runut. Aku ingat,
tadi aku pergi untuk membeli TTS. Ketika menyeberang jalan untuk pulang,
tiba-tiba datang sepeda motor dari arah yang sama, yang konon setelahnya aku
tau dikendarai oleh sepasang muda-mudi di bawah pengaruh alkohol, dan tanpa
menyisakan jeda untuk terkejut langsung menghantam paha kiriku yang saat itu
tengah dalam posisi berbelok hendak menyeberangi jalan raya. Mereka berdua
punya andil besar mengubah jalan hidupku.
Aku terus mencoba untuk tidak
menyalahkan nasib atau siapa pun, termasuk si penabrak yang sempat buron dan
akhirnya tetap saja tidak bertanggungjawab, atas segala luka yang membekas
tidak hanya pada jasad, tapi juga hatiku. Aku menyalahkan diriku sendiri
sebagai biang keladi di balik semua insiden memilukan ini. Kejadian yang selama
dua tahun pertama berhasil mengubah aku yang ceria menjadi gadis pemurung dan
menjaga jarak dari pergaulan.
Di pagi yang masih berembun itu,
pada 10 Januari 2006, untuk ke sekian kalinya ibu menarik selimutku dan memaksa
agar aku segera membersihkan diri untuk kemudian bergegas membaurkan diri
bersama para jemaah, yang sudah bersiap menanti waktu shalat Ied di mushola
yang jaraknya tak lebih dari sepuluh langkah dari pintu rumahku.
Namun aku membangkang dengan
pura-pura menulikan sistem indera pendengarku. Masih terus menuruti nafsu
perbudakan syetan untuk bergumul di balik hangatnya tempat tidurku. Ibu pun
menyerah dengan marah.
Aku ingat, sebelum kejadian nahas
itu akhirnya menerjangku, ada banyak pertanda yang digamblangkan Tuhan dengan
jelas.
Sebelum
pergi, aku sempat duduk sebentar di kursi ruang keluarga. Ketika melihat sebuah
almanak yang terbuat dari kertas karton tergeletak di meja, tanpa perasaan apa
pun kulilitkan pada tangan kiriku. Hatiku menggumam, mungkin begini kakunya
tangan orang yang harus memakai gips karena patah tulang. Hingga tak dinyana,
beberapa waktu kemudian justru paha kananku yang terkena hantaman besi bermotor
itulah yang Tuhan tunjuk untuk merasakan sakitnya.
Ketika mengeluarkan sepeda dari
rumah, sempat terbersit pikiran bagaimana jika nanti keranjang sepedaku rusak
dan harus diganti seperti milik temanku yang justru menjadi tidak matching dengan bentuk sepedanya. Hingga
akhirnya Tuhan mengamini dan menjadikan keranjang sepeda baru itu ringsek tak
beraturan.
Di pertigaan gang kecil, aku sempat
hampir bertabrakan dengan bapak tua yang juga mengendarai sepeda tepat di
pengkolan. Beruntung aku bisa berkelit, namun aku tak memiliki keberuntungan
ganda untuk kembali berkelit saat motor dengan kecepatan tinggi itu
membenturkan diri pada tubuh kecilku.
Aku tau, tak ada hal sekecil apa pun
yang Tuhan gariskan untuk ternilai percuma, termasuk dengan duka yang menoreh
hatiku di pagi Idul Adha itu. Duka atas buah pembangkangan fatalku pada
perintah Ibu.
Seiring perubahan fisikku yang tak
lagi cantik, aku bertekad untuk menebus semua kesalahan dan kian mempercantik
tampilan pribadiku.
Aku yang dulunya kerap tanpa
perasaan menghina kekurangan fisik teman sekelasku—meski niatnya bergurau, kini
mulai bisa lebih mengembalikan lagi posisi itu pada diriku terlebih dahulu,
hingga tak memunculkan sedikitpun keinginan untuk sekadar membuat lelucon dari
kekurangan orang lain.
Aku yang dulunya typikal gadis supel
namun terlampau pemilih dalam berteman dan hanya menerima rekruitmen kawan yang
satu kasta denganku, anak OSIS, pramuka, dan paskibra yang kala itu cukup
populer di sekolah. Namun kini justru merentang tangan untuk bergumul bersama
sosok-sosok marginal, yang setelahnya aku tau malah lebih loyal dari
teman-teman satu kastaku dulu.
Ada banyak hal yang berhasil mengubah
tatanan hatiku pada undakan ranah yang jauh lebih baik. Aku mengenal Tuhan
justru setelah Dia menyentilku di usia muda.
*Muhasabah diri, mengenang kelalaian di masa lalu
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)