Ayah tak pernah mau mengerti
kenapa aku selalu menjadi pembangkang. Ayah tak pernah punya peduli kenapa aku
sulit menjadi anak baik seperti anak-anak Ayah kebanyakan. Aku jauh dari kata
anak ideal bagi Ayah. Benar begitu, bukan?
Ayah tau? Aku selalu merasa jatuh di hadapan Ayah. Segala
hal yang aku lakukan tak pernah bisa menciptakan cerlang di sorot mata Ayah
yang tajam. Apa aku tak pernah (lagi) membanggakan?
“Contoh adik kamu!”
Demi Tuhan, harga diriku terasa amat jatuh ketika itu.
Kubayangkan betapa kerdil dan tanpa artinya aku, hingga pada adik pun aku
disuruh mencontoh, bukan lagi memberi contoh. Juga ketika Ayah dengan tanpa
perasaannya menyuruhku mendengarkan ceramah di TV tentang anak pembangkang,
yang padahal ketika itu seluruh anggota keluarga sedang berkumpul. Aku hanya
bisa diam sejenak, menelan perihku bulat-bulat sebelum akhirnya melenggang
gegas menuju kamar dan mengumpat bersama deraian tangis di balik bantal.
Ayah, tolong beritahu aku, sejak kapan dan karena apa
kita mulai memiliki jarak? Sebuah jarak yang akhirnya perlahan membentuk
bentengnya sendiri, untuk saling membatasi. Hal itu yang menyebabkan aku tak
pernah bisa merasa nyaman berada berdua saja dengan Ayah dalam satu ruangan,
dan begitu juga yang Ayah rasakan, bukan?
“Coba kamu kalo deket Bapakmu langsung gelendotan di
bahunya,” begitu saran konyol teman di pondokku dulu sesaat sebelum waktu
tidur. Dia yang notabene-nya sangat
dekat dengan sang Ayah, merasa heran begitu tau aku dan Ayah bagai dua kutub
magnet yang saling tolak-menolak.
Ayah pasti tau, aku tidak akan pernah dengan lancang
berani melakukan hal itu. Karena kita berbeda, karena kita “jauh”.
Ayah,
begitu sedikit kisah manis yang terlalui dengan menjadikan kita berdua sebagai
pemeran utama. Sebagian besar hidupku dilewati dengan hanya mengenalmu sebagai
sosok yang keras, tegas, dan tak terbantahkan. Namun bukan berarti tak pernah
ada.
Masih tercetak jelas pada otak di balik tempurung
kepalaku yang lebih sering bodoh, ketika itu usiaku sekitar lima tahun. Dengan
mengenakan sarung lengkap dengan baju kok, peci, dan sorban, Ayah yang baru
pulang dari musholla selepas sholat ashar, menghampiri aku kecil yang nampak
sibuk dengan buku di pangkuanku.
Ayah berdiri di samping kursi tamu yang kududuki, lalu
bertanya apa yang sedang aku lakukan. Aku menjawab dengan ekspresi serius dan
tetap sibuk membolak-balikkan halaman buku penjaskes milik kakak-kakakku demi
mencari gambar manusia. Ya, saat itu aku sangat hobi mewarnai baju-baju pada
gambar orang yang ada di buku pelajaran kakak-kakakku. Ayah merengkuh kepalaku
dengan gemas, lalu mencium pipiku dengan sayang.
Ayah tau? Itu kecupan pertama dan terakhir yang ku ingat.
Dan aku masih hafal mati, perlakuan sayang Ayah itu berhasil memunculkan
semburat merah nan hangat di kedua pipiku. Aku memang merasa seperti kehilangan
Ayah sejak kecil, peranku sebagai anak seolah hanya sekadar layak untuk
ditempatkan pada posisi figuran. Aku melewati masa kanak-kanak di balik
bayang-bayang kebahagiaan adik yang lahir satu tahun lebih setelahku. Aku
kehilangan banyak hal karena Ayah dan yang lain terlalu sibuk untuk
menyenangkan dia, lalu dengan mudahnya “memaksaku” untuk bisa berdiri tegap
dengan segudang pemakluman sebagai seorang kakak yang nyatanya kuemban terlalu
dini.
Aku tak pernah tau kenapa kita seperti memiliki sekat
yang begitu tebal, aku sulit untuk menjamah Ayah dan itu berlaku untuk
sebaliknya. Seolah ada energi negatif yang memerintah kita untuk saling
tolak-menolak.
Aku tak pernah meragukan kedahsyatan Ayah dalam beribadah,
atau kegigihan Ayah untuk memenangi pertarungan hidup demi bulir-bulir nasi
yang sering kali kutelan enggan. Namun sepertinya Ayah lupa, segala contoh dan
nasehat yang Ayah berikan tak akan pernah bisa diterima dengan baik jika Ayah
tidak menyampaikannya dengan cara yang baik.
Aku bukan anak baik, dan aku tidak akan pernah bisa
terbentuk menjadi baik dengan bentakkan dan tekanan. Aku lelah jika Ayah mulai
selalu menyudutkan. Ayah selalu berhasil membuatku merasa menjadi seorang anak
yang gagal. Mungkin Ayah tidak tau, bahwa di luar sana sangat banyak orangtua
yang mendambakan anak sepertiku. Begitu kupikir ketika melihat Ayah yang tak
pernah bereaksi akan berbagai prestasi yang berhasil kucetak.
Setelah 15 tahun lalu, saat untuk pertama kalinya aku
menerima raport dan Ayah menyambut teriakan kecilku yang memamerkan angka tiga
pada kolom peringkat kelas dengan senyuman bangga. Karena memang itu merupakan
suatu kebanggaan, aku yang tak mengenyam pendidikan TK bisa menyingkirkan
puluhan sainganku yang nyaris seluruhnya merasakan pendidikan formal pra SD.
Ketika itu, Ayah yang memang pekerja keras dan tak pernah
bisa terlihat diam, tengah mencangkul di halaman belakang rumah untuk ditanami
umbi-umbian. Ayah memuji-mujiku sambil melihat kolaborasi nilai cantik yang
menghiasi laporan tingkat kecerdasanku dalam menyerap pembelajaran. Aku merasa
ketika itu Ayah sangat bangga padaku, benar begitu? Namun pada tahun berikutnya
dan setelahnya lagi, semua kembali sunyi.
Aku tak lagi menjadi gadis kecil Ayah yang masih layak
untuk dibanggakan. Ya, karena pada tahun setelahnya, adikku mulai masuk sekolah
dan lagi-lagi kembali menggeser posisiku. Meski adik hanya mendapat rangking di
atas lima, sementara aku sudah berhasil membobol peringkat dua di SD dan bahkan
peringkat pertama di MD, namun hal itu menjadi biasa-biasa saja pada akhirnya.
Apa Ayah masih mau peduli jika ku katakan saat itu aku
kecewa? Saat Ayah dengan tanpa merasa bersalahnya menjanjikan untuk memberi
adik hadiah jika rankingnya bagus, dan kemudian tepat di hadapanku Ayah
memberinya uang Rp5.000,-, nominal yang tak bisa dibilang kecil bagi anak
seusiaku kala itu. Kenapa Ayah tidak bisa berlaku adil? Terlebih ranking yang
kudapat masih jauh lebih baik di atas adikku, namun nyatanya aku tak cukup pantas
untuk memperoleh ganjaran yang menggiurkan itu.
Bahkan ketika aku berhasil menjadi juara pertama lomba
sinopsis antar SD sekabupaten, Ayah tetap bergeming. Sementara dari cerita
temanku, dia yang juga menjuarai lomba siswi teladan diberi kecupan sayang dan
ucapan selamat dari Ayahnya. Aku kembali menelan ludah, jelas Ayah tak mungkin
melakukan itu.
Atau ketika SMP saat aku berhasil lulus Ujian Nasional
bidang studi Bahasa Indonesia dengan nilai sempurna, 10. Tak ada reaksi apa pun
dari Ayah.
Dan puncaknya, ketika sebagian besar orangtua lain rela
merogoh kocek dalam-dalam lewat “jalur belakang” hanya agar putra-putrinya bisa
mendapatkan fasilitas pendidikan yang eksklusif bertaraf internasional itu,
Ayah justru memaksaku untuk mencampakkan berlian itu.
“Emangnya cuma dia aja yang mau sekolah!”
Begitu, kan, kata Ayah? Aku tau prestasiku yang terpilih
sebagai peringkat ketiga dengan hasil test kecerdasan superior hingga akhirnya
bersama 50 siswa terpilih lainnya bisa mengenyam pendidikan dengan fasilitas
yang lebih lux, berhasil mengalahkan 5.000-an peserta lain dari seluruh negeri,
nyatanya kalah dengan materi. Kecerdasanku tak cukup menjadi alasan Ayah untuk
mau menggelontorkan SPP dua kali lipat dibanding kelas reguler, tempat
anak-anak “biasa”, yang akhirnya ku tempati juga karena Ayah.
Tak bisa lagi terbilang jari berapa kali kita kerap
berselisih paham. Satu hari di sore yang kelam, Ibu pernah mendampratku yang
katanya memalingkan wajah saat bertemu Ayah di jalan. Ketika aku mencoba
membela diri, suara Ayah menyahut dari dalam mushola rumah dengan cukup keras.
Ayah mematahkan segala alasan yang ingin kulontarkan. Dan akhirnya aku lelah,
kembali aku dipaksa menjadi seorang pemberontak yang tak pernah diizinkan untuk
membela diri. Kembali aku dipaksa untuk menelan persepsi kebenaranku secara
bulat-bulat.
Namun sekarang, aku ingin Ayah tau –walau aku yakin kecil
kemungkinan Ayah untuk membaca tulisan ini-, ketika itu aku yang masih
berseragam putih biru, tengah dalam perjalanan pulang bersama teman-temanku
kemudian bertemu Ayah. Yang Ayah artikan palingan wajahku yang juga berusaha
mengalihkan perhatian teman-temanku itu dikarenakan aku malu pada mereka karena
aku memiliki Ayah sepertimu, yang kemudian Ayah tempatkan aku pada posisi
seolah Malin Kundang masa kini. Itu salah, Ayah. Itu tidak benar.
Beberapa menit sebelum Ayah melintas dengan sepeda tua,
seorang Ayah dari temanku melintas dengan motornya dan aku mengompori
teman-teman untuk meledeknya dengan maksud bercanda jika dia adalah anak Papi
yang dijemput Ayahnya. Dan ketika tak lama kemudian Ayah melintas juga, jelas
aku malu. Tapi bukan malu seperti yang Ayah tafsirkan, bukan seperti itu. Aku
malu karena baru saja mengolok-olok temanku, dan kini Ayah juga muncul dengan
kesan seolah ingin menjemputku juga. Maka dari itu aku mengalihkan perhatian
teman-temanku dengan cara menunjuk sesuatu agar mereka tak melihat Ayah dan tak
mengolok-olokku. Mana ku tau jika akhirnya itu memiliki artian lain di
pandangan Ayah yang memang sangat jarang positif terhadapku.
Namun kuanggap semua itu hanyalah masa lalu. Aku tak
pernah benar-benar membenci Ayah meski hingga sebelum usia 20 tahunku yang lalu
tetap merasa diperlakukan beda. Kini aku berusaha keras untuk bisa menjadi anak
Ayah yang dapat diandalkan, meski belum bisa membanggakan. Aku akan masuk dalam
barisan pekerja keras, sama seperti sodaraku yang lain, yang jika ingin
mendapatkan sesuatu maka aku harus menggapainya dari usahaku sendiri. Aku
selalu menanamkan pada diri akan prinsip tersirat dari didikan Ayah, “Kerja
keras adalah bagian dari kehormatan.”
Kini tak lagi kudapatkan dengusan lelah napas Ayah yang
menjadi backsound dari suara Ibu yang
sama kepayahannya di ujung horn
ponsel, setiap kali aku menelepon dari rantau. Tak lagi kulihat raut wajah
masam Ayah tiap kali langkah-langkah kaki kecilku menjejakkan diri untuk
pulang. Aku sedikit yakin kini aku tak lagi menjadi benalu yang memberatkan
beban di pundak Ayah yang tak lagi sekukuh dulu. Aku bahagia, kini Ayah dan Ibu
bisa sedikit mengandalkanku setiap ada kebutuhan dari segi finansial.
Kini gadis kecil pembangkangmu telah tumbuh menjadi
wanita dewasa. Segala yang telah dan akan kupersembahkan pada Ayah dan Ibu
sebenarnya bukanlah pemberian dalam artian sebenarnya, namun anggaplah itu
sebagai sebuah cicilan hutang yang bahkan hingga seumur hidup pun tak akan
pernah mampu untuk kulunasi.
Terimakasih, Ayah, Ibu, untuk perjuangan demi keberlayakan
hidupku. Terimakasih untuk 3 mata air yang kerap terkucur karenaku; darah,
peluh, dan airmata. Terimakasih telah ikhlas menerima takdir bahwa aku tercipta
lewat perantaramu.
Ya Allah Mbak, terharu aku mbacanya :(
BalasHapus:)) Orat-oretan curhat "anak kecil", hehe. Makasih udah mampir, ya.
BalasHapusYayaya, sungguh terharu :'(
BalasHapusWalaupun aku deket banget sama Ayah, tapi terbayang lah gimana kalo aku ada di posisi seperti itu.
Satu kalimaat; Gak enak!
BalasHapusHihi, saya dan ayah saya sepertinya cuma sama-sama bingung.
Oh maaaan, aku berkali-kali nahan napas. Menyentuh, sungguh! :')
BalasHapusPas nulis, aku malah sambil beruraian airmata dan ingus. Hiks.
BalasHapusMaasyaa Allaah, jempol. Terharu bacanya Dek
BalasHapus:)) Makasih....
BalasHapus