Bukan sekali dua kali aku merasakan bagaimana sakitnya jatuh.
Entah itu hanya karena sekadar terantuk bebatuan hidup yang menghambat
proses perjalananku, atau bahkan terlempar dari atas tebing yang telah
susah payah kudaki sebelumnya.
Rasa kecewa dan putus
asa kerap mendominasi hati, namun seseorang selalu mampu memberiku
setruman semangat, meski dengan tanpa sepatah kata sekalipun. Aku tau,
dia selalu mendukungku, meyakini bahwa aku istimewa dan layak untuk
dibanggakan. Aku tau, aku harus membuktikan pada semua orang, bahwa
keyakinannya itu benar.
Dia selalu ada. Tak pernah
berpaling menjauhiku meski hanya setipis ari. Namaku tetap terlantun
pada doa-doa dalam sujud panjangnya, walau aku kerap menoreh luka yang
memerihkan. Dari sorotmatanya yang kian mengabu termakan waktu, dalam
intonasi suara lembutnya yang bernada tegas, aku tau bahwa harapan besar
akan kesuksesan disandangkannya di pundakku.
Dia
menjadi satu-satunya orang, yang tetap meyakini bahwa aku mampu untuk
sukses, bahkan di saat yang lain berbalik mencibir dan meragukan. Dia
yang juga kujadikan satu-satunya alasan untuk terus memacu lari, guna
menggapai cerlang kebintanganku di hamparan langit lepas.
“Semoga usaha yang sekarang bisa sukses, ya, Ly.”
Tuturnya diikuti hembusan napas berat. Aku tau, ini bukan sekadar harapan biasa. Aku tau, aku berkewajiban besar untuk menjadikannya nyata.
Tuturnya diikuti hembusan napas berat. Aku tau, ini bukan sekadar harapan biasa. Aku tau, aku berkewajiban besar untuk menjadikannya nyata.
Yah, aku kerap terjatuh. Banyak luka lebam hingga membiru di sepanjang
perjalanan hidupku dalam meniti karir. Berulang kali aku nyaris timpang
dan kehilangan kendali saat musibah demi musibah kian menggenapi masa
“pencarian”-ku. Ingin rasa untuk membanting setir dan berbalik arah,
kembali dalam dekap hangat peraduannya. Mengisahkan bahwa dunia luar
begitu liar, dan cukup menakutkan bagi gadis kecil sepertiku.
Tapi aku yakin, dia takkan mau merengkuhku kembali dalam peluknya.
Bukan karena tak miliki rasa kasih dan iba, namun justru karena dia
benar-benar ingin menunjukkan seperti apa itu dewasa. Mengajarkanku
bahwa dunia luar, yang cepat atau lambat akan kularung, adalah satu
tempat yang mengharuskanku untuk benar-benar menjadikan tumit kakiku
sendiri sebagai penyangga dalam berpijak, menapaki kerasnya jalan cerita
dalam hidup.
Dalam setiap luka-lukaku, ada gemericik
doa dan asanya yang selalu menyertai. Memupuk harapan besar pada jiwaku,
agar mau berbesar hati dalam menikmati setiap putaran rotase kehidupan
yang tidak selalu melambungkan, bahkan bisa menggilasku sewaktu-waktu.
Aku berterimakasih, untuk tiga mataair yang dia persembahkan demi
keberlayakanku dalam mengenyam hidup; darah,peluh, dan airmata. Meski
sekeras apa pun aku berupaya, takkan pernah mampu membayar jasanya
barang separuh kecil sekalipun. Biarkan titah Tuhan yang berkehendak,
semoga berkenan mempersilakannya untuk masuk ke dalam Jannah lewat pintu manapun yang dia suka.
Dia kerap melepasku untuk bertarung dengan dunia, namun tak melepaskan
tanggung jawabnya untuk tetap mengawasikudari jauh. Berjaga jika mungkin
aku terjatuh dan membutuhkan uluran tangan, untukmenopang sejenak agar
bisa kembali bangkit. Dia selalu ada, bahkan di saat aku tak meminta
bantuannya.
Tangannya masih kurasakan dengan getas
menggenggam lenganku. Meski berribu kilometer membentangkan jarak
pemisah di antara kami. Dia selalu siap untuk menjadi apa pun demi aku,
gadis kecilnya yang mulai menjejakkan kaki-kaki mungil di altar
kehidupan yang benar-benar menghidupkan.
Dia yang
selalu menimbulkankeyakinan dalam hatiku, bahwa aku harus benar-benar
keluar menerobos lingkaran setan yang dulu selalu memperdayaku dalam
kemanjaan. Dia yang membangkitkan kesadaran dalam hatiku, bahwa, meski
dia sangat ingin, tangannya takkan selalu ada untuk menggenggamku.
Memberi penjagaan layaknya genggaman kedua setelah tangan Tuhan.
Demi dia, Ibundaku, aku mulai belajar untuk menyesuaikan diri dengan
hukum alam. Bahwa tidak selamanya dunia bisa menerimaku sebagai gadis
kecil yang manja.
Ibu, terimakasih untuk kenyamanan di
dalam rahimmu. Terimakasih untuk kesegaran ASI-mu. Terimakasih untuk
perjuangan demi keberlayakan hidupku. Terimakasih untuk 3 mata air yang
kerap terkucurkarenaku; darah, peluh, dan airmata. Terimakasih telah
ikhlas menerima takdir bahwa aku tercipta lewat perantaramu.
Inilah secuil kisahku tentang ia. Seorang wanita istimewa yang kerap
merendahkan diri, demi meninggikan anak-anaknya, agar dapat hidup
berkelayakan. Meski raganya terkikis habis setiap detik, ia tetap abai,
asal si jantung hati bisa menikmati hangat pijar darinya. Bahkan meski
pijar itu memakan tubuhnya hingga mematikan, Bunda tetap bertahan hingga
titik terang penghabisan.
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)