Dentangan
itu masih serupa dengan kali pertama aku menikmati dengarnya. Tetap mendayu,
menyesap luka yang merembes di sekelilingnya untuk turut melarung kisi-kisi
duka bersama liukan melodi. Aku menikmati, meski dalam kediamanku yang kerap
merajai.
Lelaki
berjambang itu, yang memiliki potongan rambut paruh burung pelatuk, tanpa
disadarinya telah menjadi teman setiaku dalam melewati masa-masa sulit di
perasingan. Suatu tempat antah berantah, yang aku dilempar ke dalamnya. Demi
keberlangsungan hajat hidupku yang hanya tinggal separuh-separuh putaran waktu.
Aku
menyibakkan rambut pirangku yang masai. Setelah merapihkan letak topi yang
menutupi benjolan tak lazim di puncak kepala, aku kembali membenamkan diri
bersama dentangan itu. Melesakkan setiap makna yang dialunkannya, hingga palung
hati terdalam. Terkadang aku harus berpura-pura mencari karang atau mengejar
rumput lari di sepanjang pesisir pantai, agar bisa memiliki alasan lebih lama
berada di dekatnya, si lelaki kulit hitam pemetik senar gitar.
Entah
kenapa, aku merasa ada suatu perasaan aneh yang menggagahi hatiku, setiap
berada di jarak tak kurang dari lima meter dari lelaki yang namanya saja tak
kudeteksi itu. Bahkan seraut rupanya pun terlampau sulit untuk kubingkai dalam
mimpi di malam-malamku yang mengelabu. Dia begitu asing, namun terasa dekat dan
mendamaikan. Aku seolah telah mengenalnya seumur hidup.
Aku
masih tetap memaku diri untuk berdiri di tepian pantai ini, terkesan tak
mengacuhkan dentangan malaikat itu dengan terus memunggunginya. Sesekali aku
berusaha beralibi, mencari kesibukan dengan mempermainkan anak-anak pasir yang
terhampar di bawah kakiku, hanya agar lelaki itu tak curiga, bahwa aku tengah
menikmati pesonanya.
Satu
detik berikutnya, alunan itu tiba-tiba tertelan deru angin dan menghilang.
Bersamaan dengan suara bariton berat yang menyapaku dari belakang.
“Eleanor?”
Aku
memutar kepalaku 120 derajat. Mataku membeliak kaget. Dari mana dia tau namaku?
Aku menghadapnya, senyuman canggung yang lebih mirip seringai langsung
menjamuku dari rautnya.
“Kau
siapa?” Tanyaku defensif dan mulai membangun benteng pertahanan. Kalau-kalau
lelaki yang beberapa menit lalu sempat kukagumi ini berniat asusila.
“Bagaimana
kesehatanmu? Apa kau merasa sakit di sini?”
Segera
kutepis tangan besarnya yang hendak menjamah topi yang melindungi kepalaku.
Sorot mataku memandang nyalang, menuntut penjelasan panjang atas tindakan
berlebihannya sebagai orang yang tidak kukenal.
“Maaf,
maafkan aku. Kau pasti sangat menderita, Elle. Maafkan aku yang belasan tahun
melepas tanggungjawab atas nyawamu, Nak.”
Lelaki
kulit hitam di depanku itu mulai terisak. Menyanyat sisi sensitifku untuk turut
menumpahkan buncah airmata. Namun kepingan-kepingan otakku masih tercecer,
bagai puzzle yang sedang kuusahakan keras untuk menyusunnya. Aku terlalu sulit
mencerna kata demi kata yang meretas getas dari bibir legamnya. Siapa dia?
Siapa aku baginya?
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)