Kali
pertama memiliki, berbentuk gemulai lekuk biola. Mengalunkan gita-gita suara
sama, namun ternikmat menyamankan di indera pendengar dan perasaku ; hati. Aku
memainkannya dalam satu kondisi yang kusesuaikan dengan suasana hati. Terkadang
menyepi dalam balutan ruang kamar yang redup, hanya berteman lampu pijar dan
alunannya yang mendamaikan. Lain keadaan, aku meliukkan tubuh, berputar
selawanan arah jarum pada penunjuk waktu, sembari menggenggamnya erat.
Tak
jarang ia berhenti sendiri. Meregang nyawa dan kadang meminta pensiun dini
untuk menemani sepi-happy hariku. Aku
tak lantas melemparnya bersama setumpukkan barang bekas di pojokan gudang, ia
tetap kuletakkan nyaman pada tempat di mana ia kerap menyamankanku selama ini.
Aku
tak mau terpusing-pusing untuk mencari celah agar ia dapat hidup kembali,
dengan praktis, aku lebih memilih untuk menggandeng penggantinya yang lain,
guna menepis kegalauan masa puberku. Kali ini si manis lentik piano yang
berhasil menggagahi dan mengakuisisi atas kenyamanan hatiku dengan alunannya.
Setiap dentangan yang ia dendangkan, sama persis, tanpa cela, seperti biolaku
terlampau. Kembali, aku menikmati sensasi mendamaikan itu dalam wujud ia yang
lain.
Dua
alat musik itu, yang tentunya hanya mampu terjamah oleh tangan-tangan panjang
menengah ke atas, buktinya mampu meregukkan bercawan madu pada kisah remajaku.
Meski wujud asli mereka, masih menjadi misteri bagi gadis mungil seusiaku
ketika itu.
Aku
mengakrabi dia berdua, dalam miniatur berupa kotak musik cantik yang kubeli
seharga Rp4.000,-, sisa menyisihkan mati-matian uang jajan yang jumlah aslinya
saja sudah memprihatinkan. Namun begitu, alunan setia yang kerap menyertai
melodi dendam dan banggaku tersebut, serupa mampu melunasi setiap hutang yang
sulit terbayarkan. Dia berdua; mendamaikan.
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)