Seseorang
me-mention nama akun facebook-ku
dalam komentar di sebuah posting-an
yang ada dalam salah satu grup. Aku mengernyit heran sebelum meng-klik untuk mencari tau ada urusan apa
orang-orang di grup “aneh” itu menyeret namaku. Hal itu membuat aku sadar kalau
aku belum sempat mengeluarkan diri dari grup tersebut setelah seseorang yang
tak kukenal pasti meng-invite-ku ke
sana tanpa izin—seperti umumnya sebuah grup.
Aku memang typikal orang yang malas
bergabung dengan banyak grup. Sebagai seorang penulis, berbagai grup
kepenulisan yang kini kuikuti pun sangat kuseleksi. Daripada hanya nyepam notification, lebih baik aku memilih
beberapa grup saja yang kurasa benar-benar bermanfaat untukku. Dan grup aneh
itu sama sekali tak termasuk ke dalam list
grup berkualitas apalagi bermanfaat bagiku.
Saat tanganku mulai men-scroll mouse, wajahku mengeras melihat
komentar-komentar yang muncul dari banyak anggota yang—demi Tuhan—sebagian
besarnya tak kukenal sama sekali. Komentar yang bermula dari seseorang yang
mengutip salah satu quote di novel
terbaruku, yang kemudian beranak pinak dan melenceng ke luar tema.
Aku
masih bisa hidup tanpa kamu, tapi yang kumau adalah hidup yang di dalamnya ada
kamu. –Deera Ita, Sebelah Hati-
Tulis seseorang dengan nama akun Aznia
Azkia Luppi, yang ternyata merupakan tanggapan dari posting-an admin grup tersebut yang kurang lebihnya menanyakan quote paling terfavorit dari buku yang
pernah dibaca.
Tak disangka, berselang beberapa
komentar setelahnya, seorang provokator yang mengaku pada anggota grup tersebut
merupakan teman SMA-ku selama tiga tahun berturut-turut, justru menyulut api
kebencian yang kemudian diperparah dengan guyuran bensin dari salah satu
anggota lain yang sama sekali tak pernah kukenal, baik di dunia maya apalagi di
dunia nyata.
Aznia
Azkia Luppi, si Deera Ita penulis buku itu, kan, dulunya satu SMA, loh, sama
aku. 3 tahun kami sekelas, tapi sekarang... gila, sombong banget!
Tulis akun dengan nama Fita Fiti Futu,
provokatif dan sangat melenceng dari pembahasan isi posting-an. Dan setelahnya, kontan namaku menjadi headline. Orang yang tak mengenalku,
kemudian banyak yang tiba-tiba mengaku mengenalku. Orang yang bahkan tak pernah
bertegur sapa di dunia maya pun, secara lancang bisa menyimpulkan kalau aku
memang orang sombong hanya dengan melihat update-an
statusku.
Oh,
si Deera Ita itu. Emang dari status-statusnya juga udah bisa keliatan, sih,
kalo dia itu orangnya sombong.
Tulisan superbodoh dari seseorang yang
tak kukenal dan tak ingin kukenal. Akun bernama Anengnong Nizta yang bahkan
ku-konfirmasi permintaan pertemanannya pun setelah dia memohon-mohon di inbox
facebook agar aku mau menjadikannya masuk ke dalam friend list.
SO
FUNNY! Ketika aku butuh waktu puluhan tahun untuk benar-benar mengenal
siapa dan seperti apa diriku, orang-orang itu dengan sok taunya merasa paling
mengetahuiku—seolah aku terlahir dari muntahannya!
Wajahku kian mengeras, dengan tangan
gemetar karena menahan marah, kuluapkan emosiku. Aku bukan orang baik seperti
mereka, yang bisa bersabar untuk mengabaikan pengusiknya dalam pembiaran yang
nyaman. Terus memberi kesempatan bagi mulut-mulut berbisa itu untuk
menyemburkan buih kebencian hingga mereka bosan. Tidak, itu sangat bukan aku. Saat
ada orang yang menoyor kepalaku, aku akan menepisnya. Mencengkram tangannya dan
memperingatkannya dengan keras kalau aku tidak suka dengan apa yang
dilakukannya padaku.
@Fiti
yang TERHORMAT. Saya tidak tau kamu ada masalah apa dengan saya. Saya tidak tau
kapan kamu menyapa saya dan saya diam saja—hingga akhirnya kamu menyebarkan
opini publik kalau saya ini sombong. Saya tidak tau. Yang saya tau, saya tidak
pernah dan tidak ingin memiliki urusan dengan orang seperti kamu—terlebih
setelah ini. Dan yang perlu kamu ingat, orang yang katamu SOMBONG ini, masih
sangat hapal mati kalau kita hanya sempat satu kelas selama 2 tahun di
SMA—kelas 1 dan 2, bukan 3 seperti yang kamu gemborkan.
Tulisku dengan caps lock pada kata “terhormat”, sebuah ironi yang sengaja
kulakukan. Aku marah, namun harus tetap menunjukkan cara elegant dalam
meluapkannya.
Well,
aku dan orang menyebalkan yang tiba-tiba muncul di hadapan publik dengan
mengaku sebagai teman SMA-ku itu, masih kuingat jelas hanya sempat satu atap
dalam 2 tahun masa ajaran sekolah. Bahkan aku masih sangat hapal bagaimana dulu
teman-teman sering mem-bully-nya.
Gadis pendek dan berperawakan tambun namun memiliki kadar kenarsisan
berlebih—hingga terkesan menyebalkan bagi para teman-teman cowok.
Aku pun masih ingat bagaimana dulu aku
cukup sering membelanya yang kerap diejek dengan sebutan “Gentong Amerika” oleh
salah seorang teman cowok yang kutau juga ada hati padaku, hingga tak jarang
hal itu mengundang tawa ejekan dari yang lain. Aku memarahi anak itu setelah
tak sengaja melihat si Fiti mengelus dadanya sambil berkata “Sabar” pada
dirinya sendiri.
Aku memang merasa tak begitu dekat
dengannya, tapi aku pun yakin kalau aku tak pernah merasa punya masalah dengan
dia. Kecuali kalau memang dia sendiri yang merasa bermasalah denganku. Yang
kutau—buah kata salah satu seniorku—setiap orang yang sudah dianggap “tinggi”,
memang akan selalu menemukan kerikil dari orang-orang yang dengan segala upaya
berusaha untuk menimbulkan cela. Tak berlebih jika kukatakan apa yang
dilakukannya bisa mematikan pasaranku sebagai penulis.
@Anengnong
Sang Pakar PENGAMAT. Sebelumnya, bisa tolong ingatkan saya kapan dan di mana
kita pernah saling mengenal? Karena jujur saja, sebelumnya saya merasa tidak
pernah mengenal Anda. Dan hal itu yang kemudian membuat saya bingung luar
biasa, atas dasar apa Anda bisa mengeluarkan statement kalau Anda bisa tau kepribadian saya hanya dengan melihat update-an status facebook? Yang padahal juga
isinya hanya seputar kegiatan saya atau quote-quote yang ada di buku-buku saya.
Sekian menit kutunggu, tak ada respon
apa pun dari dua orang yang bersangkutan. Entah mereka memang sedang tak online, atau mereka masih shock karena yang kukira sepertinya
mereka tak tau kalau aku pun menjadi salah satu anggota grup ANEH itu.
Bagi kalian, sekarang ini keberadaan saya
mungkin tak ubahnya seperti titik hitam kecil di hamparan kain berwarna putih.
Namun jangan lupakan satu hal, Tuhan Maha Membolak-balikkan Keadaan. Mana tau orang
yang sekarang menurut kalian tak ada pentingnya sama sekali ini, justru akan
menjadi orang yang sangat kalian butuhkan untuk dimintai pertolongan di masa
esok. Hukum alam itu berlaku.
Tutupku sebelum kemudian mengeluarkan
diri dari grup penebar ghibah dan desas-desus itu. Mencoba mengabaikan
celetukan-celetukan komentar tak penting dari para anggota lain.
Berjam-jam, berhari-hari,
berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga akhirnya berbilang tahun, tak
kudapatkan kepastian respon dari mereka berdua. Atau bahkan sekadar permintaan
maaf karena telah membiarkan orang lain bergunjing di “rumahnya” pun tak dilakukan
oleh si Admin yang kerap menyertakan gelar pendidikannya di akhir posting-an.
Yang kulakukan setelah keluar dari
grup itu adalah segera meng-hide akun
Fiti—sengaja aku tidak me-remove atau
mem-blokirnya, aku ingin membuat dia semakin gerah dengan posting-an berbagai keberhasilan yang akan kuraih dan
kupersembahkan khusus bagi orang yang sangat “perhatian” semacam dia. Sementara
untuk akun orang dengan nick name
Anengnong Nizta, langsung kublokir tanpa ampun. Muak rasanya membiarkan
penjilat menyesaki friend list-ku.
Sekali lagi kutegaskan, aku bukan
orang baik bagi orang yang gemar “mengusikku”.
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)