Lagi. Seseorang telah memasuki kamarku! Telapak kakinya
yang besar-besar terlihat menjejak di hampir seluruh lantai pada ruang
pribadiku.
Ini menjadi kali ketiga kamar hunianku dibobol seseorang,
tanpa meninggalkan cacat apa pun pada engsel pintu. Awalnya aku berspekulasi
ini hanyalah ulah konyol sebagai sambutan “selamat datang” dari para penghuni
asrama, namun semua menjadi terasa tak biasa saat kusinggung perihal ini pada
mereka satu persatu.
elinsholihat.blogspot.com |
“Pikir pake logika, dong! Mana ada anak asrama yang punya
telapak kaki segede gaban gitu.” Lucy mengibaskan tangannya dengan jengah,
seraya pergi meninggalkan kamarku.
Untuk beberapa detik pertama, aku turut mengamini. Tapi
pada putaran waktu berikutnya, aku kembali memainkan spekulasi-spekulasi dalam
nalarku sendiri.
‘Pasti ada
seseorang yang sedang mengerjaiku.’ Gumamku sambil menyampirkan lap basah yang
kupakai untuk membersihkan noda jejak misterius itu.
Merasa gagal menyeret satu persatu teman asramaku untuk
mengakui perbuatan yang mungkin dilakukan oleh salah seorang dari mereka, aku
menekadbulatkan diri untuk menyelidiki misteri ini secara diam-diam. Aku benci
jika ada orang yang melakukan lelucon menyangkut area pribadiku.
*
Mulutku menganga lebar. Airmata menderas di pipi yang
membingkai wajah pucatku. Tenggorokan bagai mencekat setiap untaian kata yang
ingin kuteriakan, jerit suara hanya mampu bergaung di dalam relung-relung
perutku.
‘Tuhan, aku takut.’
Aduku dalam hati, seraya merutuki segala ketololanku yang telah berani-beraninya
menjalankan aksi pengintaian pada malam Selasa Kliwon.
Sekuat tenaga aku berusaha mengkerdilkan badanku, agar
tetap aman dari jangkauan pandang makhluk berbulu lebat yang kini tengah
menggagahi meja belajarku. Betis kakinya yang cebol namun besar nampak
menjuntai di depan wajahku yang teronggok pucat di kolong tempat tidur.
Lamat-lamat kurapalkan sederet doa yang sekiranya masih
terlintas dalam ingatanku. Memohon belas kasih Tuhan agar sudi memberiku
kesempatan untuk masih bisa menikmati pancaran matahari esok pagi.
Entah kenapa aku sampai tak menyadari kedatangan makhluk
ini di setiap malam-malam lelapku. Yang padahal kini kusaksikan sendiri, bagaimana
ributnya mulut mengerikan itu mengunyah sesuatu.
Krauk... krauk...
Glek... glek... glek...
Aaahhh...
Ya Tuhan, dia minum dari tekoku! Dengan cangkir Hello
Kitty kesayanganku! Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah pada Aury, adik
kecilku. Dia sampai menangis karena menginginkan cangkir berwarna pink
keputih-putihanku, namun dengan tanpa perasaannya aku membawa cangkir itu ke
asrama agar tidak terkontaminasi oleh bekas mulut selain mulutku.
Airmataku kembali mengalir, kali ini semakin menderas.
Aku ingat Bunda, Yanda, dan Aury. Aku takut berada di sini sendirian. Aku ingin
pulang dan bergumul dalam dekap peluk mereka.
Pelan-pelan, kutengadahkan wajah yang semula kutangkup di
antara kedua tanganku yang menyilang. Dalam posisi tengkurap ini, aku mencoba
menajamkan pendengaranku. Suara kunyahan itu telah lenyap. Aku seperti
terdampar dalam dimensi lengang yang di dalamnya hanya ada aku dan... deru
napas memburu dari sesosok makhluk yang kini tepat berada di depan wajahku. Mulutnya
menyeringai, seperti berusaha tersenyum. Sisa-sisa makanan yang tengah dikunyah
berloncatan keluar dari sela-sela giginya yang jarang.
“Mau?” tawarnya, menyodorkan satu kaleng berisi singkong
balado. Aku ingat, keripik itu dibawakan Bunda sebelum aku berangkat ke asrama.
Kabut di mataku makin pekat dan menghalangi pandangan,
saat makhuk besar itu berusaha menyuapkan singkong balado ke mulutku yang
mengatup. Setelahnya, aku tidak ingat apa-apa lagi.
0 Tanggapan:
Posting Komentar
Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)