Kamis, 24 Oktober 2013

Acer Aspire E1-432; Tipis, Praktis, nan Ekonomis

Well, ada benernya juga; tipis itu gak harus mahal. Malah bisa jadi lebih murah, hehe. Kok, bisa? Lha, tempe goreng aja makin tipis harganya juga makin murah, kok. *Krik krik krik*
Sumber: simplyhomemades.blogspot.com

Ealah, udah lah, gak bakat jadi The Next Soimah. -_-v *Hiiiks*
Sumber: arfurakingdom.blogspot.com

Baiklah, saatnya serius. *Ekhem*
Sudah hampir setengah tahun ini saya tercatat sebagai SpAcer--sapaan akrab untuk para pengguna produk Acer. Acer Aspire One 725 sengaja saya beli setelah tabungan saya cukup, karena netbook sebelumnya kurang bisa diandalkan untuk mengimbangi kebutuhan saya. Ya, di samping untuk menulis naskah pribadi, bagi saya notebook memiliki peran penting untuk keberlangsungan hidup saya dan keluarga. Kesannya hiperbolis sekali mungkin, tapi begitulah adanya. Ibarat kata, saya masih bisa tetep slow meski lupa mandi seminggu penuh, tapi bisa sangat kalang kabut kalau satu hari saja terjauh dari perangkat sejenis notebook.
Bersama Acer di kampus
Dunia saya memang sulit jika harus dipisah dengan jarak satu spasi sekalipun dari yang namanya notebook Acer saya ini, karena sebagai Direktur Utama merangkap babu serbaguna di Harfeey--usaha penerbitan buku indie milik saya--nyaris 90%-nya membutuhkan bantuan dari my Acer sebagai salah satu modal utama dalam menjalankan bisnis ini. Bersama my Acer, saya mempromosikan produk-produk Harfeey via sosial media online, transaksi, mengedit naskah untuk dibukukan, desain layout, desain cover, dan lain sebagainya yang semuanya saya kerjakan sendiri. Jika separuh jiwanya Mas Anang itu Mbak KD, maka bagi saya, separuh jiwa saya adalah notebook Acer milik saya ini. Gak ada dia = gak ada duit. Hehe.
Sumber: mystar.com.my

Selain hal yang sudah saya sebutkan di atas, hal lain yang membuat saya berpaling pada produk Acer ialah karena masalah prestise juga. Well, seberapa kerasnya pun mencoba untuk menyangkal, tetap ada rasa kurang percaya diri saat saya sebagai seorang youngpreneur di Penerbit Harfeey yang juga masih berpredikat sebagai mahasiswi aktif ini, jika harus berwara-wiri di seputaran kampus dengan menenteng komputer lipat dari brand yang kurang bonafide. Entah kenapa, saat melenggang bersama Acer dalam pelukan, saya merasa lebih nyaman dan siap untuk menjadi pusat perhatian. :D Secara, ya, Acer sudah menjadi brand internasional yang tak perlu diragukan lagi kualitasnya, terlebih saya pun membeli produk Acer atas rekomendasi dari teman-teman kampus saya.

Namun ada satu hal yang menurut saya masih menjadi kekuarangan yang cukup terasa dari Acer Aspire One 725 saya ini, yakni body-nya yang kurang bisa mengikuti kerampingan body saya, hehehe ^-^v. Sehingga cukup mempersulit setiap saya membawanya ke kampus--karena saya selalu memanfaatkan waktu senggang sebentar sekalipun untuk menggarap tugas penerbitan. Body-nya yang tak begitu ramping ini sering sulit jika harus dipaksakan untuk dijejalkan ke dalam tas cangklong saya yang tak terlalu lebar, maka dari itu saya lebih memilih cari aman dengan memeluknya ke mana-mana ketimbang harus melesekkan dan memaksanya berjejalan dengan berbagai buku-buku dan perangkat tempur kuliah lainnya. Meski saya tau hal itu tak bisa terkatakan praktis, hingga kadang saya kerap merasa malas membawanya ke kampus dan malah berdampak pada makin ngaretnya penyelesaian dari pekerjaan-pekerjaan saya.

Logo KEB
Hingga akhirnya saya mendapat bisikan-bisikan halus dari emak-emak blogger, kalau ternyata tanpa sepengetahuan saya *SIAPA GUE?!"* Acer telah melahirkan produk baru yang pastinya jauh lebih cihuy dari Acer milik saya. Dan yang terpenting... body-nya tipis seperti body saya yang saya idam-idamkan. :)) Adalah Acer Aspire E1-432, si notebook super tipis, praktis, namun tetap ekonomis dan penuh pengertian dengan kantong mahasiswa rantau macam saya. :D


Ini dia penampakan dari netbook tipis, praktis, dan ekonomis itu
Acer Aspire E1-432 ini mengklaim diri sebagai notebook yang ringkas dan ringan, sangat cocok untuk type-type mahasiswa, penulis, juga merangkap pemilik usaha penerbitan buku indie yang super sibuk dan butuh kerja cepat seperti saya. Banyaknya tugas kuliah yang mau tak mau mengharuskan saya untuk selalu menenteng notebook ke mana-mana, belum lagi tugas di Harfeey yang deadline-nya juga sulit diajak adu suit, dan belum-belum lagi kewajiban tugas tak tertulis saya sebagai seorang penulis (penulis buku, blog, dan status facebook :P) yang juga harus tetap saya prioritaskan. Untuk bisa mengerjakannya dalam kurun waktu yang tak jauh, saya harus punya perangkat komputer yang bisa diajak berpelukan saking kompaknya. Dan hadirlah si ramping Acer Aspire E1-432.
Mood menulis kadang bisa datang di waktu dan tempat yang gak tepat, semua penulis pasti mengamininya. Kadang pas lagi nunggu dosen, lagi nunggu antrian di bank, atau malah lagi rempong window shopping di Mall. Kebayang gimana ribetnya kalau orang "ramping" macam saya musti selalu menggondol notebook "tak ringan" ke mana-mana, di samping saya juga harus bawa perangkat kuliah dan pribadi setiap harinya. Dan sekali lagi saya tegaskan, Acer Aspire E1-432 hadir untuk menjadi solusinya. Dimensinya yang 30% lebih tipis ini juga didukung dengan daya tahan batreinya yang juga tinggi. Kian lengkaplah kehadiran Acer Aspire E1-432 sebagai Sang Dewa Penolong bagi penulis rempong yang ingin tetap produktif seperti saya. :))

Tidak hanya itu keunggulan dari Acer Aspire E1-432 yang patut untuk dikumandangkan, 

Tulisan ini diikutsertakan dalam event “30 Hari Blog Challenge, Bikin Notebook 30% Lebih Tipis” yang diselenggarakan oleh Kumpulan Emak Blogger (KEB) dan Acer Indonesia.

Selasa, 22 Oktober 2013

Terdidik Oleh Bukan Ibu yang Baik



Saat kecil, tak terhitung berapa kali jumlahnya aku berandai-andai memiliki Ibu seperti ibu-ibu teman-temanku. Yang selalu memanjakan, tidak pernah marah, jarang menyuruh, dan mengabulkan setiap permintaan. Kadang-kadang aku pun berpikir, jangan-jangan sebenarnya aku bukan anak kandung ibuku. :O

Hal tersebut kurasa wajar sempat terlintas di otak kecilku, karena metode pengasuhan--oh, maaf, mungkin penggemblengan yang lebih tepatnya--Ibu cukup keras dan minim toleransi. Sejak masih berusia sekitar 5 tahun, aku harus mencari sarapan sendiri. Jika enggan mencari, maka jangan harap bisa sarapan pagi. Ibu hanya memberi uang untuk kami--aku, kakak, dan adikku--membeli sarapan masing-masing, dan menerapkan larangan keras untuk menitip atau menerima titipan membeli sarapan satu sama lain.

Beranjak sedikit besar batang usiaku yang mulai memasuki usia sekolah dasar. Ketika teman-temanku bisa puas berjajan ria dengan uang saku Rp1.000,-, dengan teganya Ibu hanya memberiku uang saku Rp300,- dan masih sempat-sempatnya memintaku untuk menabung! Ibu membuatkan celengan dari bambu, kemudian Ibu menyuruhku untuk menggambar dan mewarnai celengan bambu itu dengan menggunakan cat kayu warna biru sisa mengecat pintu dan jendela. Hal itu dilakukan karena aku merengek minta dibelikan celengan bagus seperti milik teman-temanku, celengan bergambar boneka dan ada kuncinya. Kata Ibu, celenganku lebih aman karena sudah terkunci otomatis. Padahal aku tau itu karena Ibu pelit kalau harus membelikanku celengan baru.

Karena tak pernah bisa menyisakan uang jajan untuk mengisi celengan, aku pun mengeluh pada Ibu, memintanya untuk menaikkan uang sakuku menjadi--paling tidak--Rp500,- agar aku masih memiliki uang lebih untuk kulesakkan ke dalam bambu berwarna itu. Namun bukan ibuku jika mau berbaik hati meloloskan mauku. Lagi-lagi, dengan teganya Ibu malah mempekerjakanku. Bayangkan! Anak kecil yang masih berusia sekitar 7 tahun, tapi sudah dipekerjakan oleh orang dewasa yang mirisnya adalah ibunya sendiri! Jika saja saat itu aku sudah sedikit pintar seperti sekarang, mungkin aku akan melaporkan Ibu pada Kak Seto dengan tuduhan eksploitasi anak di bawah umur. Ibu mempekerjakanku layaknya pembantu; mencuci bekas makanku, mencuci sepatu dan tas sekolahku, membereskan kamarku, dan seabrek pekerjaan lain yang kalau teman-temanku pastinya yang mengerjakan adalah ibunya. Dari setiap pekerjaan yang bisa kuselesaikan, Ibu akan menggajiku dengan uang Rp300,- yang wajib dimasukkan langsung ke dalam celengan, aku tak bisa mengkorupsinya karena Ibu akan terus memerhatikanku sampai bunyi "klecrik" tanda koin beradu di dalam bambu terdengar.

Takkan cukup satu buku jika kukisahkan bagaimana kekejaman Ibu dalam menggemblengku sewaktu kecil. Namun berkat didikan seorang Ibu yang tak baik itu, harus kuakui adalah alasan terbesar kenapa aku bisa sampai seperti sekarang ini, menjadi seorang founder merangkap Direktur Utama di sebuah penerbitan buku indie milikku sendiri; Harfeey, sebuah nama yang dengan segala hormat kuambil dari singkatan nama kedua orangtuaku. Berharap perusahaan yang kubangun tepat saat usiaku menjejak pada angka 20 itu dapat tertular semangat kerja keras dan disiplin dalam meraih keinginan atas hasil jerih payah sendiri seperti mereka.

Jika Ibu memanjakanku dengan selalu menyediakan sarapan sejak dulu, atau membiarkan aku dan kedua saudaraku untuk silih bertukar shift dalam membeli sarapan, mungkin kini aku akan tumbuh menjadi anak mehe-mehe yang mudah terbawa arus. Sulit menentukan sikap dan hanya nyaman sebagai followers. Didikan Ibu meyakinkanku bahwa aku terlahir sebagai anak istimewa yang harus menggapai mimpi dari usaha kerasku sendiri, apa yang kudapat akan sangat bergantung dengan apa yang kuperbuat. Hingga akhirnya hal itu yang kemudian mendorongku untuk lebih memilih menjadi seorang entrepreneur muda, ketimbang bekerja di balik perintah teluntuk orang lain. Berapa pun gaji yang mereka tawarkan, aku lebih memilih untuk menjadi kepala teri, ketimbang ekor gajah. Karena Ibu membimbingku untuk percaya, aku bisa hidup di atas pijakan kakiku sendiri dan meyakini bahwa telunjukku tetap menjadi titah tertinggi dalam menentukan arah hidup bagi diriku.

Jika Ibu dengan instant-nya membelikanku celengan lucu bergambar boneka, maka aku takkan tumbuh menjadi seorang anak kreatif yang bisa dengan cukup jeli melihat peluang bisnis seperti sekarang ini. Yang ada, kemungkinan aku akan menjadi anak instant yang hanya mengandalkan uang untuk menggapai apa yang kuimpikan. Ibu mengajarkanku tentang kreatifitas, tentang sesuatu yang hanya bisa dihasilkan dari buah kerjaku sendiri; kepuasan. Dan didikan Ibu telah menggiringku menjadi seorang pebisnis muda yang kreatif dan kerap bisa memanfaatkan peluang dengan baik. Aku menghindarkan diriku dari mental seorang followers, dan untuk beberapa hal aku cukup bisa menjadi seorang trendsetter di bidang bisnisku.

Jika Ibu tak bersikap jahat dengan menjadikanku selayaknya babu hanya untuk mendapatkan uang demi bisa mengisi celenganku, mungkin aku takkan pernah tau bagaimana wujud nyata dari kerja keras. Di mana seseorang harus berusaha untuk hidup, bukan hidup untuk berusaha. Ibu menghantarku menjadi pribadi pekerja keras, aku harus menetekan keringatku sendiri jika ingin mendapatkan apa yang menjadi keinginan. Dan buah dari lelah tak pernah mengecewakan.

Itulah ibuku, seseorang yang tak layak mendapat predikat ibu yang baik, karena Ibu sama sekali tak memperlakukan aku kecil dengan baik. Namun Ibu adalah seorang ibu yang benar, karena dia menunjukkan jalan yang tak salah untukku bisa kuat menapakkan kaki-kaki mungilku di panggung bernama kehidupan. Ibu tidak memberiku ikan sebagai bekal, tapi pancing sebagai alat untuk mencari bekal.

Dan atas segala didikan keras nan tegasnya, kuabadikan sosok dia ke dalam sebuah buku kisah inspiratif yang cover-nya kuambil secara diam-diam saat Ibu yang tak lagi muda, namun tetap semangat bekerja keras untuk hidup meski Ibu telah cukup berhasil menjadikanku seorang "anak kecil" berpenghasilan rata-rata 5-8 juta rupiah hanya dengan bekerja di balik balutan selimut kumal, di depan sebuah layar 10 inc. Inilah ibuku, bukan termasuk kategori Ibu yang baik, namun seorang Ibu yang luar biasa benar dengan segala prindip pola pendidikan yang diterapkan terhadap anak-anaknya. Kami tumbuh menjadi anak yang siap untuk hidup, berkat kekejaman perempuan ini...

Sang Pijar Heroik


Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba penulisan blog "Peran Ibu untuk Si Pemimpin Kecil" bersama Nutrisi Bangsa.
© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis