Minggu, 21 Juli 2013

Bermula dari Pembangkangan

Beberapa orang, atau bahkan sebagian besarnya, kerap mendulang ragu untuk kesuksesanku. Mana mungkin si “Putri Tidur” pemalas ini bisa merangsek keluar dari zona nyamannya dalam balutan selimut kumal, menuju bentangan aral melintang tingkah polah dunia luar dengan kondisi aman. Namun aku—berkat dukungan penuh yang juga nyaris menjadi dukungan tunggal dari ibuku—setidaknya cukup berhasil membuat engsel dagu mereka yang meragukan untuk nyaris mencelos dari tempat asalnya—karena menganga kaget. Tidak menyangka bahwa anak kecil yang kerap dipandang sebelah mata pun tidak ini, nyatanya tidak terlalu buruk melakoni hidup di tanah rantau.
 Aku menikmati setiap dentangan waktu yang menjadi latar suara alur kehidupanku. Aku menikmati setiap tikamannya sekalipun, meski terkadang aku serasa tercekik dibuatnya. Karena dari segala kepahitan hidup, akan selalu ada bercawan manis yang bisa kureguk setelah ampas terakhirnya berhasil kulumat nikmat.

Sabtu, 20 Juli 2013

Terdidik Angin

Kulucuti setiap penggalan kalimat yang menumbangkan asaku
Menggantinya dengan sesapan semangat dari gerik rumput liar
Aku ingin merdeka
Aku ingin serupa dia
Bagaiman dipasrahkannya hidup
Untuk bergelut seirama gemulai kesiur angin
Aku ingin bebas
Aku ingin lepas
Seperti berbatang rumput liar
Yang mampu hidup dari dan untuk dirinya sendiri
Mendiktekan makna pendidikan yang sebenarnya pada otak tumpulku
Angin adalah guru terbaik
Untuk melakoni hidup yang penuh dijejali oleh dinamika

Jumat, 19 Juli 2013

Tragedi Kepiting Goreng "Biasa" Seharga "Luar Biasa"

Hari Rabu kemarin, sehari sebelum Dudull pulang kampung, saya minta dianter beli baju Lebaran buat ortu, kakak, dan keponakan-keponkan saya. Yeah, insyaAllah Lebaran tahun ini semua sodara bisa mudik ke rumah Majalengka, otomatis semuanya kumpul dan mau gak mau saya harus rata kasih oleh-oleh ke semua ponakan yang jumlahnya bejibun; sembilan. :-|

Sore sekitar jam 4 lebih, Dudull jemput saya di kost pake motor matic-nya. Berhubung saya ada keperluan kirim email urgent dan modem juga lagi trouble, jadi saya minta dianter ke warnet dulu. Awalnya saya agak ragu buat nancepin flashdisk yang isinya data-data penting milik pribadi dan penerbitan di Harfeey itu, sebab tau sendiri lah gimana perangkat di warnet yang selalu dipake salome (satu lobang rame-rame -_-v). Tapi karena gak punya pilihan lain, saya pun nekad dan akhirnya berhasil ngirim email.

Keluar dari warnet udah jam 5-an, saya dan Dudull pun langsung tancap gas nyari buat buka puasa. Awalnya saya nyaranin nyari takjilan di pasar Ramadhan deket UGM yang infonya saya dapet dari sekilas nonton acara berita, tapi pas diliat-liat ke TKP malah gak ada. -_-" Karena toko baju yang jadi tujuan shopping saya musti ngelewatin Malioboro, Dudull malah ngajak saya makan di area sana, padahal dari kemaren saya udah wanti-wanti kalo jajanan, dlsb-nya, di area Malioboro itu harganya gak masuk akal--alias pake tarif turis. >_< Dudull tetep keukeuh karena kayaknya dia udah laper berat. Setelah muter-muter bentar akhirnya pilihan jatuh ke warung tenda yang jual nasi ayam. Kami pesen 2 porsi nasi, ayam goreng + lalap sambel, dan minuman es teh + jeruk hangat. Dan bener aja... kalo di warung tenda deket kampus/kost untuk makanan segitu gak lebih dari 25ribu, di sana malah hampir 50ribu! >_< Tapi untung Dudull yang bayarin, karena... jreng! (mulai masuk topik utama).'"

Buah Pembangkangan di Pagi Idul Adha

Air di mataku seolah telah membeku terlebih dulu, sebelum ia sempat menggenangi pipi tirusku yang tak lagi semulus kemarin. Segala teriak kesah yang ingin kugenderangkan, terbekap khidmat dan hanya kembali berpulang dan menggaung di dalam relung-relung perut. Aku tidak boleh menangis. Aku pantang mengeluh. Ini salahku. Sebuah kesalahan yang akan memberi kontribusi besar dalam keberlangsungan hidupku.

Butuh keberanian besar yang kupupuk sekian hari pasca insiden itu, hingga akhirnya aku berhasil menekadbulatkan hati untuk berani berhadapan langsung dengan satu benda yang paling kuhindari belakangan ini; cermin.

Aku mengatupkan erat kedua mataku yang kian sayu, membeliak-beliakkan bolanya dengan posisi kelopak yang belum terbuka sempurna. Bismillah... perlahan aku membuka mata, dan penyambutan dari sesosok wajah penuh luka cukup sukses menimbulkan jerit yang tercekat di tenggorokan. Sosok yang tak lagi rupawan itu, harus kuterima dengan lapang sebagai refleksi dari diriku kini, dan selamanya. Itu aku.

"Menunggu" Akhir dari Perjalanan "Ramadhan di Rantau"

Yeay! akhirnya (kemaren dulu) cover buku antologi terbaru Harfeey, "Menunggu" dan "Ramadhan di Rantau", rampung dan bisa dipublikasikan juga. :)) Sekarang udah antri di list percetakan, kabarnya, sih, selesai sekitar akhir bulan ini. Yang pastinya sebelum tanggal 2 Agustus, maksimal jadwal mudik saya yang sulit terganggu gugat. Oke, oke... mari disimak dulu penampakan untuk masing-masing covernya, ya. Oh, ya, buku-buku ini terdiri lebih dari satu jilid, Menunggu ada 4 jilid, sementara Ramadhan di Rantau versi baru terbagi ke dalam 2 jilid saja, sama seperti buku Ramadhan di Rantau versi tahun lalunya. ^-^v

Cover buku antologi Harfeey "Menunggu"




Cover buku antologi Harfeey "New Ramadhan di Rantau"


Pegimana, Pemirsah... cantik, kan, penampilan dua "anak" baru saya di Harfeey? Hehehe. :D

Selasa, 16 Juli 2013

Tidak Ingin Harfeey Jadi Penerbit Major

Sudah lama saya gak curhat di blog, walau sebenernya ada banyak sekali unek-unek yang mau saya ceritakan pada diri sendiri (heh? menyedihkan sekali... hehe). Tapi sekarang saya memaksakan diri untuk kembali membuang sampah pada tempat yang semestinya--Dunia Rumput Liar. Well, sekarang ini bisa dibilang (akan) menjadi hari-hari tersibuk bagi saya. Masa untuk cetak buku sudah di depan mata, dan saya harus mempersiapkan diri untuk berlelah-lelah (lagi dan selalu) pada dua minggu ke depan sebelum jadwal mudik yang saya canangkan pada 2 Agustus besok (udah gak kuat, pengen pulang banget, Mak :(...). Mungkin untuk masa di bulan ini rasa lelahnya bakal berkali lipat, selain karena lagi puasa juga karena saya gak yakin kalo Dudull bakal mau bantu saya (bentar lagi Lebaran, Bok). Apalagi sekarang, dengan mengkambinghitamkan BBM, deengan ssemena-menanya pihak percetakan menaikkan tarif cetak yang bikin ngurut dada sampe dengkul. But, itu pikirkan nanti aja, sekarang saatnya membahas salah satu passion "menyimpang" saya yang notabene-nya seorang Direktur Utama (siul-siul cantik)--merangkap babu serbaguna T_T-- di Penerbit Harfeey.

Rabu, 10 Juli 2013

Pijar Heroik; Just for My Mom


Jika bapak adalah typikal orang yang kerap mencari-cari kesalahanku, ibu justru sebaliknya. Dia selalu menyembunyikan kesalahanku, juga anak-anaknya yang lain, bahkan tak jarang menjatuhkan kesalahan itu pada dirinya sendiri. Hanya agar anak-anaknya, terutama aku si biang onar, tidak mendapat amukan bapak. Ibu rela berlumur lumpur, hanya demi melindungiku agar tetap terlihat bersih di mata yang lain.

Jika bapak adalah sosok yang disiplin dan keras, maka ibu adalah penyeimbang yang mampu mendekati dari hati. Ketenangan yang mendamaikan. Ibu melengkapi bapak yang sulit mengkomunikasikan diri secara verbal, bahkan tak jarang ibu kerap bertindak sebagai penyambung lidah antara bapak dengan ketujuh anaknya, terutama aku.

Duapuluh tahun sudah ragaku terpatrikan nyawa untuk turut meramaikan dunia dalam melarung hidup. Namun selama kurun waktu itu, percaya atau tidak, aku baru “saling mengenal” dengan ibuku beberapa tahun belakangan ini. Lalu dengan bapak? Mungkin... belum.

Kepada, Ayah...

Ayah tak pernah mau mengerti kenapa aku selalu menjadi pembangkang. Ayah tak pernah punya peduli kenapa aku sulit menjadi anak baik seperti anak-anak Ayah kebanyakan. Aku jauh dari kata anak ideal bagi Ayah. Benar begitu, bukan?

Ayah tau? Aku selalu merasa jatuh di hadapan Ayah. Segala hal yang aku lakukan tak pernah bisa menciptakan cerlang di sorot mata Ayah yang tajam. Apa aku tak pernah (lagi) membanggakan?

“Contoh adik kamu!”

Demi Tuhan, harga diriku terasa amat jatuh ketika itu. Kubayangkan betapa kerdil dan tanpa artinya aku, hingga pada adik pun aku disuruh mencontoh, bukan lagi memberi contoh. Juga ketika Ayah dengan tanpa perasaannya menyuruhku mendengarkan ceramah di TV tentang anak pembangkang, yang padahal ketika itu seluruh anggota keluarga sedang berkumpul. Aku hanya bisa diam sejenak, menelan perihku bulat-bulat sebelum akhirnya melenggang gegas menuju kamar dan mengumpat bersama deraian tangis di balik bantal.

Selasa, 02 Juli 2013

Tuhan...

Tuhan, aku ingin membuat sesuatu. Sesuatu yang lebih panjang dari napasku. Yang lebih lapang dari anganku. Yang lebih nyata dari sekadar ambisiku. Agar aku dikenang, aku diingat, aku dianggap. Agar mereka percaya, bahwa pada masa dulu... ada aku.

Tuhan, telah kupertegas untuk kali ke sekian, bahwa aku terbilang makhlukmu yang belum baik; yah, aku bukan orang baik. Tapi, Tuhan... aku ingin berbuat sesuatu yang bisa membuatku melekat dalam ingatan mereka, walau hanya sekali, tolong... Tuhan, jadikan aku orang baik. Jika terlalu sulit untuk selamanya, cukup sekali pun tak masalah. Yang penting akan bisa diingat selamanya, sebagai jejak cinta bahwa aku pernah ada, aku pernah hidup, pernah jadi orang baik.

Senin, 01 Juli 2013

Candi Sambisari; Pesona yang Tersembunyi

13510882631664979595
Candi Sambisari tampak depan

Candi Sambisari menjadi satu dari sekian candi yang menghiasi ranah istimewa tempat saya menciduk literan ilmu; Yogyakarta. Meski bangunannya tidak dapat dikategorikan besar, karena hanya memiliki satu bangunan candi utama yang kira-kira berukuran tidak lebih dari 10 x 10 meter, namun pesona candi yang terletak di dalam area perkampungan daerah Kalasan-Sleman ini tidak kalah saing dengan panorama yang saya dapat ketika mengunjungi candi-candi yang sudah memiliki nama seperti Prambanan dan Borobudur.

Dia Memberi 10, Saat Aku Berbagi 1


11 Januari 2013

Ketika mayoritas orang menunggu kaya dulu, baru kemudian tergerak untuk berbagi harta, aku justru terkesan kerap melakukan hal yang sebaliknya. Meski tidak lantas meninggalkan kewajibanku tentang zakat maal di kala ekonomi sedang dalam kondisi menanjak, aku “hobi” berbagi di saat-saat aku merasakan keuanganku tengah sekarat. Dan amazing, kuasa Allah membuktikan bahwa jangan menunggu kaya dulu baru beramal, tapi beramal dulu niscaya akan diberi kelimpahan rizky-Nya dari segala penjuru mata angin.

Bismillah. Bukan bermaksud riya’ atau mengingat-ingat tentang apa yang telah dilakukan oleh tangan kanan, beberapa peristiwa terkait kegiatan beramal yang kurangkum dalam sekelumit kecil catatan kisah nyata ini, hanya sebagai tolak ukur agar dapat meyakinkan pembaca bahwa tidak pernah ada sejarahnya orang menjadi miskin karena beramal, bahkan bila amal yang dilakukannya disertai permintaan untuk memperoleh sesuai dari Allah sekalipun, Dia pasti akan mengijabahnya.

Ketika menjejakkan kaki pada usia 20 tahun ini, aku mulai belajar untuk konsisten dengan prinsipku. Prinsip yang kuterapkan karena aku sadar betul, bahwa aku terlahir dan dibesarkan dari kalangan keluarga yang beranggapan bahwa kerja keras adalah bagian dari kehormatan. Meski belum bisa memberi, paling tidak kami tak akan meminta. Dapat mencukupi kebutuhan untuk diri sendiri dan tidak mengandalkan kucuran dana dari orangtua saja, sudah menjadi suatu prestasi bagiku di 20 tahun ini. Karena kepala dua, berarti gumaman dalam hatiku mulai beriak; “Selamat datang, tanggung jawab dan kerja keras.”

Meski tidak dipaksa, namun aku beserta saudaraku yang lain paham betul bahwa hidup kami adalah tanggung jawab kami sendiri, bukan tanggung jawab orangtua atau siapa pun. Berbekal dari itu, aku mulai mengkondisikan diri untuk dewasa lebih dini. Aku mulai menggeluti bisnis dan berusaha selalu jeli dalam menangkap peluang. Namun meski begitu, bukan berarti setiap bisnis yang kujalani sepi pesaing. Selalu ada “rival” di setiap bidang bisnis yang kulakoni.

Tetapi, Alhamdulillah, aku tidak pernah sekalipun merasa kehilangan jatah rizkyku meski pesaing berada di sekeliling dan kadang banyak juga yang bersikap dan bertindak untuk menjatuhkan. Bahkan cukup mengejutkan, aku yang notabene-nya kerap melakukan semua bidang bisnisku hanya seorang diri, tanpa bantuan dari orang lain karena aku meminimalisir pengeluaran, justru memperoleh hasil yang jauh lebih gemilang dari pebisnis lain yang berkelompok menggiati usaha sepertiku.

Tidak berlebihan rasanya jika aku mengatakan bahwa semua itu, selain karena tekad dan kerja keras, adalah buah dari shodaqoh yang sejak awal memiliki niat untuk bergumul di bidang bisnis kulakukan secara lebih intens dan cukup “gila-gilaan” sesuai kadar kemampuanku, tentunya.

Wirausaha pertama yang kurintis ialah dalam bidang penjualan buku secara online. Berawal dari ketidaksengajaan, akhirnya sebuah acara berhasil memainkan nalarku untuk mengembangkannya dalam wujud bisnis yang tentunya akan menggiurkan. Shodaqoh di sini aku wujudkan dalam bentuk penggratisan ongkos kirim paket buku yang kujual secara keroyokan tersebut, yakni 6 buku seharga Rp100.000,-, gratis ongkos kirim seluruh Indonesia. Puji syukur, sambutan pasarku yang rata-rata teman FB yang menjadi pasar utama dan satu-satunya bisnis pertamaku adalah para penulis, sangat antusias. Tidak tanggung-tanggung, dalam satu minggu melakoni bisnis, aku sudah bisa mengantongi laba bersih lebih dari Rp700.000,-. Nominal yang cukup besar bagi anak yang baru belajar berjalan sepertiku, terlebih dalam menjalaninya aku tidak mengeluarkan modal materi sedikit pun. Yah, karena aku hanya akan mengorder barang dari agen, setelah pembeli mentransferkan uangnya padaku.

Ketika peluang bisnis dari baju batik bola mulai merayuku untuk turut berperan aktif, aku pun memutar otak untuk melakukan strategi pemasaran yang beda dari yang lain. Meski sempat tertipu di awal sekitar Rp1.500.000,-, namun aku tak lantas pantang menyerah. Aku mencari agen yang menjual harga lebih murah, meski jaraknya cukup jauh kutempuh dengan hanya mengendarai sepeda onthel. Dalam bidang usaha ini, shodaqoh yang kulakukan selain mengikhlaskan kerugian adalah dengan cara tidak mengambil laba secara berlebihan. Aku mengambil laba secukupnya, meski dengan harga jual di atas Rp100.000,- perbaju saja pedagang lain sudah banjir pembeli, namun aku tetap bertahan dengan hanya mematok harga sesuai takaran. Di mana untung bersih yang kuambil hanya 10% dari seluruh jenis modal. Aku menjual baju batik bola seharga Rp65.000,-, dan lagi-lagi sambutan istimewa kudapatkan. Dari bisnis ini, aku mulai bisa berbagi hasil jerih payahku pada orang-orang terdekatku.

Ketika rasa jenuh dan lelah kerap melanda saat berjualan baju dan buku yang masih harus kupasok dari tempat yang cukup jauh dari rumah kost-ku, jiwa anak rantau yang sarat akan kemandirian dalam diriku mulai memainkan akal kembali untuk melihat peluang pasar. Penerbitan buku indie. Yah, satu jenis usaha yang cukup berani kuambil. Berbekal dari kemampuanku dalam bidang tulis menulis, mengedit naskah, mendesign layout, dan berpromosi, aku mulai merintis usaha yang hanya kucetuskan dalam waktu kurang dari satu jam, untuk kemudian langsung kuaplikasikan keesokan harinya. Beruntung, aku tidak perlu membayar jasa orang lain juga, yang tentunya akan lebih mahal, untuk jasa design cover, karena adikku yang hanya lulusan SMK saja cukup mahir dalam men-design cover buku-buku terbitanku.

Dari usaha penerbitan buku indie yang kunamai “Penerbit Harfeey”, yang merupakan singkatan dari nama kedua orangtuaku, bukan hanya secuil materi yang bisa kuraup dan kutebarkan, tapi, Alhamdulillah, berkali lipat jauh lebih menghasilkan dari usahaku yang kemarin. Mungkin selain karena kerjanya santai dan bisa kulakukan di mana pun dan dalam keadaan apa pun, juga karena usaha ini sangat berkaitan erat dengan kecintaanku akan hobi membaca dan menulis.

Meski sudah sejak Februari lalu, sejak aku tepat berusia 20 tahun, aku sudah tidak lagi menerima kiriman uang dari orangtuaku, namun dari bisnis penerbitan inilah aku tidak hanya sekedar bisa meringankan beban orangtua dengan lepas sebagai “benalu” bagi mereka, tapi aku juga bisa menyisihkan sekian lembar uang bergambar presiden pertama RI teruntuk orangtuaku di kampung setiap tiga sampai empat minggu sekali, tergantung dari besarnya rizky yang kuperoleh.

Alhamdulillah, nikmat rizky Allah selalu menyertaiku, paling tidak hingga kini, meski kian maraknya usaha penerbitan indie yang berlomba-lomba menarik minat konsumen dengan cara pemasarannya yang kadang banting harga, aku tetap mencoba konsisten dengan caraku. Cara yang kuterapkan adalah dengan menganggap antara produsen dan konsumen, dalam segi bidang usaha apa pun, sejatinya merupakan partner yang saling membutuhkan. Jadi tidak ada dalam kamusku istilah “pembeli adalah raja”, tapi pembeli dan penjual sama-sama saling menghargai satu sama lain, karena kami saling bertukar keuntungan alias simbiosis mutualisme. Dan berkat prinsip itu juga, saat para pemilik usaha penerbitan indie lain kerap terpusing-pusing karena buku-buku yang mereka terbitkan sepi pembeli, aku justru cukup jarang mengalaminya. Setiap buku antologi yang kuterbitkan berdasarkan dari event menulis yang kuadakan, selalu terjual di atas 50 eksemplar. Allah Yaa Rahman, Maha Rahiim.

Selain dari mengikhlaskan segala bentuk kerugian materi yang berasal dari musibah penipuan, tidak mengambil laba yang bukan hak, serta menerapkan sistem simbiosis mutualisme, aku juga gemar membagi-bagikan buku maupun pulsa dalam berbagai event kuis dadakan yang kerap kuadakan di facebook pribadiku. Jujur saja, setiap aku mengadakan kuis, seringnya adalah ketika dompetku benar-benar kehilangan penghuni. Dan lagi-lagi kuasa Tuhan selalu memainkan perannya, bisa dikatakan selalu, pasca aku berbagi lewat event kuis itu, rizky berupa materi akan datang beberapa waktu kemudian, bahkan tidak harus membuatku menunggu berhari-hari.

Sebagai contoh, ketika suatu hari aku merasa sangat butuh uang sementara tabunganku tidak mencukupi, aku mengadakan kuis bagi-bagi pulsa gratis untuk 3 orang pemenang beruntung. Allahu Akbar! Selepas aku update status tentang kuis itu, seseorang mengirimkan sms padaku untuk minta dicarikan blankon 100 buah, dan ia akan membayarnya sesuai harga pasar. Alhamdulillah. Lain waktu, aku mengadakan kuis dengan cara membagikan buku gratis, karena jujur saja saat itu aku sedang sangat butuh uang untuk mendaftar kursus penulisan skenario film yang jumlahnya tidak sedikit. Maha suci Allah, selepas aku update status kuis, kabar gembira langsung menyambutku di inbox facebook Penerbit Harfeey, di sana tertulis bahwa seseorang telah mentransfer uang hampir satu juta untuk pembelian sejumlah buku terbitanku.

Shodaqoh dengan hal-hal kecil tersebut memang kerap aku lakukan untuk “memancing” rizky saat kondisi keuanganku sedang tidak kondusif. Dan ketika kondisi keuanganku cukup pun, aku masih berupaya untuk mengistiqomahkan berbagi, namun dengan jumlah yang lebih besar dan biasanya kulakukan secara offline. Pernah dengan menghibahkan puluhan buku-bukuku pada perpustakaan kota dan daerah di Yogyakarta, pada pesantrenku di Cirebon, juga menyumbang sekian dana tunai pada mesjid dan panti asuhan. Serta kerap membelanjakan uangku pada pedagang yang sekiranya sepi pembeli, namun aku tau bahwa berniaga adalah satu-satunya pemasukan mereka agar bisa makan. Aku sangat menghargai para manusia renta yang masih memiliki harga diri untuk tidak mengandalkan ketuaannya untuk mengemis.

Keajaiban dari rumus beramal yang terbaru kualami adalah beberapa hari lalu, ketika salah seorang teman satu fakultasku membuat status di facebook tentang harapan akan adanya seseorang yang bersedia menyumbangkan materi demi seorang sahabatnya yang tengah tertimpa musibah. Awalnya iseng aku menanyakan ada apa, lalu temanku itu menceritakan kejadiannya lewat inbox facebook. Sahabatnya tengah memerlukan dana besar untuk operasi kanker, ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. Tanpa pikir panjang, meski sebenarnya keadaan pribadiku pun tengah sangat membutuhkan uang, aku langsung menyanggupi untuk memberi sedikit bantuan.

Temanku sempat tertegun dan berkali-kali mengucapkan terimakasih serta serangkaian doa kebaikan untukku, saat aku memberikan sumbanganku untuk membantu temannya itu ketika di kampus. Dan seperti yang kuduga, Allah terlalu baik untuk membiarkan aku berlama-lama dalam kondisi keuangan yang kurang stabil. Dia segera mengganti uang shodaqohku itu dengan hampir sepuluh kali lipatnya lewat perantara para penulis yang secara tiba-tiba berbondong ingin menerbitkan karyanya melalui jasa penerbitanku. Allah, Rahman, Rahiim. Alhamdulillahirabbil ‘Aalamiin....

“Maka nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang akan engkau dustakan?”

Dan selamanya, akan selalu kuupayakan untuk istiqomah menebar amal sesuai kadar kemampuanku. Bismillah. Aamiin.

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis