Rabu, 24 Desember 2014

PROMO CUCI GUDANG!!! Semua Buku Rp23.000,-



Kali ini promo buku Penerbit Harfeey hadir lagi untuk menghabiskan stok buku yang ada di Majalengka. Jadi, yang bisa diorder HANYA buku-buku yang ada dalam list ini, tidak bisa dengan sekalian order buku lain (stok yang ada di Jogja). :))

Langsung saja, berikut list beserta link identitas buku promo Rp23.000,-/buku (belum ongkir). PS, STOK TERBATAS!


Format order: CG_judul buku_jumlah order_alamat kirim sms ke 0877-7300-0454 (Ari)











































































*Untuk buku-buku solo yang termasuk ke dalam promo, royalti dihitung 15% dari harga promo/buku yang terjual*

Senin, 22 Desember 2014

Hah? Kartu ATM Bisa Debit???

#‎CeritaKatro‬
Sekian taun punya ATM card, baru tau kalo bisa di-debit di kasir. Katrooo~ Belum lama ini pernah gentayangan ke Amplaz sendirian, masuk Carefour buat beli air mineral, udah antri tinggal satu orang baru nyadar di dompet gak ada penghuninya, langsung mundur tak teratur naro balik minuman dan buru2 nyari mesin ATM. Sekarang... dikit-dikit belanja bayarnya digesek. Kirain mah yang bisa cuma kartu kredit, walau banyak sales yang nawarin tapi saya gak bisa/biasa ngutang. x_x

Omzet Penerbit Harfeey

Selalu bingung tiap ada yang mau ngulas tentang profil Penerbit Harfeey dan nanya omzet perbulannya, soalnya saya gak pernah bikin pembukuan hehe. Biasanya uang setelah dipake biaya cetak, kirim paket untuk buku-buku PO, royalti penulis (untuk buku solo, kalo buku antologi event royaltinya langsung dipotong sebagai harga kontributor), nah... itulah omzetnya (masih laba kotor). Tapi ya alhamdulillah, sejauh ini masih bisa dipake buat makan 3 kali sehari dengan menu sekelas burjo (tapi masak sendiri ye). | Emangnya berapa digit? | Ya... 12 digit lah, wkwkw. ‪#‎Ngarang‬ ‪#‎Aamiin‬ ‪#‎Soon‬
 
2015 saya mau jadi alumni kampus, buka usaha keagenan ekspedisi pengiriman barang, punya kendaraan yang bisa nampung lebih dari 3 orang. ‪#‎Dream‬ ‪#‎Hope‬ ‪#‎Insyaallah‬
 
*Sore2 ngayal sambil nge-layout & nge-desain cover, di luar ujan*

Ingin Jadi Orang Lain

Kadang2 sering merasa ingin menjadi orang lain yang hidupnya keliatan nyaris sempurna. Sampe pada beberapa kesempatan kena imbasnya juga, ketika tak sedikit kawan yang berkata, "Enaknya jadi kamu. Bahagianya liat kemudahan di hidupmu." Ternyata selama ini saya pun menafikan tentang kemungkinan sudah berapa jurang yang membuat jatuh dan harus didaki oleh orang-orang yang hidupnya sering membuat saya "iri". Kadang2 kesulitan memang tidak selalu layak diceritakan, namun menerima anggapan bahwa hidup kita selalu baik-baik saja pun cukup tidak mengenakkan.

*Menuju shubuh, masih berusaha kerja dengan cerdas & keras*

Khayalan Tentang Resolusi

Jadi begini, nanti tuh saya mau buka agen ekspedisi barang tepat di depan Kopma UIN, di situ medannya prospek banget. Nah, di area Kopmanya juga mau nyewa tempat buat selapak gerobak kecil, jualannya adek saya sama si Kribo, rencana di otak saya sih ngusulin jualan ketoprak sama baklor, soalnya di sekitar sana belum ada. Yang bikin beda, nanti di tempat ekspedisi saya kasih rak yang berisi beberapa buku, jadi yang nunggu antrian kirim paket bisa sambil baca-baca (sekalian promosi Penerbit Harfeey xD). Sementara di lapak gerobak ditempelin cerpen yang sumbernya dari buku-buku antologi event Harfeey, diganti setiap harinya. Berniaga sambil sedekah ilmu, semoga berkah.

*Oke, sekian dulu khayalan untuk hari ini, kalo beruntung bisa jadi kenyataan*

Belajar Tidak Membedakan Meski Jelas Berbeda

Suatu kali dalam perjalanan kereta dari Cirebon menuju Jogja, saya berkesempatan punya teman duduk gadis difabel yang kurang lebih seumuran. Awal mengajak bicara, dia sedikit terlihat aneh. Dia menoleh tapi langsung buang muka lagi melihat jendela, begitu seterusnya hingga kurang lebih 3 kali saya ajak dia ngobrol. Sampe akhirnya dia "ngeh" kalo ocehan saya ditujukan buatnya, dia langsung minta maaf dan menginfokan kalo dia tunarungu (merangkap tunawicara) via ketikan di ponselnya. 

Saya bersikap senormal mungkin, menganggap hal itu bukan masalah besar dan langsung mengambil tablet untuk balas berkomunikasi. Bukan apa-apa, saya khawatir dia merasa terganggu kalau saya meminta maaf, menunjukkan keprihatinan saya lewat air muka yang berkesan menganggap hidupnya jauh lebih menyedihkan dari hidup saya, dan imbasnya malah bukan tidak mungkin akan membuat dia merasa dibuatkan garis tebal untuk menandakan bahwa dia "berbeda".

Dampak BBM Naik!

Muak tiap ada yang koment "BBM naik 2 rebu doang udah kelimpungan, tapi motor bisa kebeli, blablabla bisa kebeli, syalala-syelele~" Pe-ak! BBM-nya emang CUMA naik 2 ribu, tapi gara2 itu kebutuhan pokok lain ikut naek dengan gila2an. Kecil2annya deh, kemaren gue dapet sms dari agen travel Jogja-Cirebon yang sebelum BBM naik ongkosnya 120 rebu, tapi apa lo pikir setelah BBM naik ongkosnya CUMA naik jadi 122 rebu??? Ngok, 150 rebu, Om/Tante. 

Oke, kalo cuma dari segi itu gue masih terbilang mampu. Sekali lagi itu cuma sample. Nah, apa lu yang-sok-mampu bisa MAMPU buat mastiin semua harga naiknya bakalan CUMA 2 rebu juga (ngikutin kenaikan harga BBM)?! 

‪#‎Frontal‬ *Ape lo, mau nyuruh gue pindah negara?*

Tentang Orangtua yang Makin Tua

Sejak adik saya sakit dan dirawat di kampung halaman, hampir 4 kali seminggu ibu telepon dan nanya apa saya sendirian di rumah (kontrakan). Sebanyak pertanyaannya juga saya jawab iya, soalnya sama siapa lagi, adik saya kan di rumah. Kemudian ibu akan bilang "Yaa Allah..." dilanjut nasihatnya agar saya hati-hati, bisa jaga diri. Begitu seterusnya berulang, kadang-kadang ada rasa jengkel kenapa terus nanya hal-hal yang jawabannya sudah jelas. Tapi sisi "angel" dalam diri mengingatkan, semakin sepuh orangtua akan semakin menjadi seperti "anak-anak". Mungkin rasa sepi dan bingung yang membuatnya sering menelepon hanya untuk bertanya hal-hal yang sudah ditanyakan, hal-hal yang sudah jelas jawabannya.

God, gimana ya. Saya gak mau menetap di kampung halaman, tapi saya juga gak mau hilang kesempatan berbakti pada orangtua. Semoga ibu-bapak saya gak berpikiran sama seperti orangtua dalam sebuah artikel kisah nyata yang pernah saya baca; seorang ayah yang sedang sakit dan mulai linglung (pikun), sampe gak bisa percaya kalo yang saat itu sedang menjaganya di RS adalah anaknya yang selama ini jarang pulang karena bekerja di rantau. Menurut si ayah, meski diberi sekarung uang pun mustahil anaknya itu mau datang (dan meninggalkan pekerjaannya) untuk mengunjunginya. Si penulis artikel pun tau betul alasan si anak merantau dan jarang pulang, karena sikonnya kurang memungkinkan. Selama ini dia bekerja untuk mencukupi kebutuhan orangtua dan sodara-sodaranya, sementara sodaranya yang lain (yang dekat rumahnya dengan ortu) berbakti lewat tenaga.

Sering saya pulang cuma 3 hari. 1 hari datang, 1 hari untuk istirahat, 1 hari kemudian balik lagi ke rantau. Orangtua lalu nanya, ada apa saya pulang (atau sering juga ditanya hal yang sama waktu saya telepon), dan saya bukan typikal anak yang bisa "so sweet" (walau saya perempuan) bilang kangen atau mau menengok mereka seperti sodara-sodara yang lain, saya cuma bilang gak ada apa-apa. Dan biasanya ibu saya akan "marah" kalo saya cuma pulang sebentar, karena kasihan saya capek di jalan. Sementara kalo saya agak lama di rumah (minimal seminggu), ibu akan senang luar biasa. Padahal di rumah pun saya gak pernah ngapa-ngapain. Tetep mainan sama laptop dan kadang becandaan sama keponakan.

Sudah sejak beberapa bulan ini bapak saya mau "akrab" sama ponsel. Padahal dulunya bapak gak pernah mau peduli apakah ponsel akan berdering terus ketika ibu saya gak ada di rumah, bisa dibilang bapak saya sangat zuhud (bahkan seumur hidup saya tidak pernah lihat bapak saya dengan "iseng" nonton TV). Sampe akhirnya beberapa bulan lalu saya cukup kaget waktu telepon ke rumah denger suara bapak yang jawab. Saking kagetnya, dengan spontan saya nanya di mana ibu. Kebetulan waktu itu ibu saya lagi pengajian di luar. Dan pada kesempatan-kesempatan berikutnya, ketika ibu saya gak ada di rumah dan bapak yang ngangkat telepon, bapak saya akan langsung nanya apa saya nyari ibu. Selintas saya lagi-lagi inget akan sebuah kisah nyata dalam artikel yang pernah saya baca, tentang keluhan tersirat seorang ayah yang setiap kali berkesempatan mengangkat telepon dari anak-anaknya, mereka selalu menanyakan ibu dan secara tidak langsung meminta ponsel untuk dialihkan. Akhirnya saya sadar untuk belajar bersikap dan berucap lebih hati-hati pada orangtua yang umumnya kian sepuh kian sensitif. Mungkin dulu seorang ayah akan bersikap biasa saja melihat anak-anaknya merasa lebih nyaman di dekat ibu, tapi ketika hari tua menjelang, kesendirian datang, rasa sepi menerjang (apa ini?), ayah pun ingin disapa, dianggap ada, dan dipentingkan eksistensinya. Setelahnya, setiap kali saya telepon ke rumah dan kebetulan bapak yang jawab lantas langsung bertanya apa saya mencari ibu, saya akan jawab gak, dilanjut dengan menanyakan kabar bapak, sedang apa, dan kalo ada maksud khusus akan saya ceritakan langsung padanya (yang kemudian juga pasti bapak ceritakan pada ibu).

Di antara 7 sodara lainnya (yang masih hidup), saya adalah anak yang paling menyusahkan sejak kecil karena saya "berbeda" (saya terlahir sebagai anak dengan kerja otak kanan yang sangat dominan). Kasihan orangtua yang membesarkan saya dengan keberbedaan yang sebagai orang awam gak mereka pahami sama sekali apa sebab dan bagaimana mengatasinya. Maka selepas usia 20 (walau sangat telat), saya berusaha keras untuk membayar serpihan-serpihan lelah di hati dan pundak kedua orangtua. Saya akan menyicilnya seumur hidup, walau sangat tahu diri mustahil untuk bisa melunasi.

*Dini hari terbangun, liat beranda FB banyak yang update status tentang Hari Ibu*

Sabtu, 18 Oktober 2014

Titik Jenuh

Udah lama gak update status tentang sharing di FB ini, ya. Kemaren riweuh sama orderan dan cetak buku aja. Kebetulan sekarang bisa dibilang lagi hari tenang sampe masa selesai cetak nanti, saya mau sedikit sharing tentang rasa jenuh.

Setiap orang pasti sering atau minimal pernah merasakan yang namanya jenuh, dalam dan/atau untuk hal apa pun. Termasuk saya pada Penerbit Harfeey. Beberapa kali saya pernah mendiamkan semua sms/misscall yang masuk padahal itu bukan hari Minggu (hari yang saya tegaskan sebagai satu dari tujuh hari di mana saya jangan mengurusi apa pun tentang Harfeey, walau pada prakteknya saya sering kendor pertahanan juga kalo melihat tumpukan kerjaan). Beberapa kali juga saya mengganti ringtone sms untuk mengakali kejenuhan saya akan banyaknya sms; mulai dari orderan buku, tanya-tanya penerbitan, konfirmasi pembayaran, komplain, dlsb. Karena mustahil kalo saya melarang mereka untuk sms, itu sudah menjadi resiko saya yang berniaga nontatap-muka. Tapi saya juga tidak mau mengabaikan kondisi hati dan pikiran hanya demi pundi-pundi mata uang.

Harfeey yang menurut barometer anak bawang seperti saya sudah menjadi bidang usaha yang terbilang sukses, tidak lantas menjadikan saya selalu merasa nyaman dengan semua tentangnya. Alhamdulillah, dari semenjak berdiri hingga saat ini, saya tidak pernah merasa ada masalah dengan pemasukan di Harfeey. Besar-kecilnya tetap tidak pernah saya besar-besarkan untuk diambil pusing, terlebih saya typikal orang yang tidak begitu royal soal pengeluaran. Namun tetap saja, rasa jenuh selalu datang tiap kali serangan kerjaan menumpuk itu tiba. Untuk soal desain cover, saya memang masih bisa dibantu adik saya walau sebagian besarnya juga saya kerjakan sendiri dengan alasan idealisme. Soal packing dan pengiriman paket pun masih bisa dibantu seorang teman, apalagi sekarang juga ada adik saya di Jogja. Tapi untuk urusan hal-hal teknis lainnya semacam proses penerbitan, promosi, respon sms/inbox, proses cetak, dlsb-nya saya lakukan sendiri. Untuk hal-hal seperti itu, yang hanya saya sendiri yang paham bagaimana jalannya, sangat sulit kalau harus meminta bantuan orang lain. Terlebih saya typikal orang yang cukup idealis.

Apa yang biasanya saya lakukan saat dilanda jenuh? Ada 3 hal; pertama, membeli banyak camilan dan menggasaknya di kost sambil nonton TV atau baca buku yang saya suka, dengan mengabaikan atau bahkan menonaktifkan HP dan tidak membuka akun Harfeey sama sekali. Kedua, berjalan-jalan ke tempat tenang yang memiliki view pemandangan alam, tapi minimal saya harus ditemani oleh seorang kawan. Karena akan sangat aneh rasanya kalo saya pergi dan merenung di tempat sepi sendirian, salah-salah saya disangka lagi depresi dan tinggal menghitung detik untuk bunuh diri. Dengan ditemani seseorang, walaupun nantinya kami saling diam, setidaknya saya tak begitu nampak "menyedihkan". Ketiga, pergi ke pusat keramaian seorang diri, dan biasanya saya lakukan dengan berjalan kaki. Percaya atau tidak, saya sering melakukan hal ini, berjalan kaki pulang-pergi dari kost saya di daerah Demangan Kidul (dekat XXI) menuju Mall Amplaz. Beberapa kali juga saya pernah pulang atau pergi ke atau dari kost menuju kawasan Malioboro dengan mengambil rute normal. Di tempat ramai itu, saya biasa memerhatikan orang-orang yang lalu lalang. Melihat "Mbak" yang menggendong balita di pinggang dengan tumpukan plastik belanjaan majikannya di tangan, saya berpikir apa yang kira-kira ada di benak saya jika saya di posisi dia, berpikir sebegitu sulitnya orang lain demi menjemput rejeki. Dan masih banyak lagi hal-hal yang mungkin terlihat sepele tapi bisa menjadi pelipur sejenak rasa jenuh saya, dan akhirnya bisa menghasilkan rasa fresh penuh syukur.

Salah satu motto saya juga, hidup sudah menyuguhkan banyak tantangan kesulitan yang harus kita selesaikan, jadi jangan mengurusi hal-hal tak penting yang berpotensi membuat susah, yang padahal sangat bisa kita enyahkan. Misalnya saat ada orang yang sms dengan caci-maki tanpa bisa lagi dijelaskan duduk permasalahnnya dengan cara santun, daripada saya terus ikut tersulut, saya akan lebih memilih untuk mengabaikannya. kebetulan HP jadul saya punya menu blokir nomor, itu sangat membantu agar jenuh/stress saya sedikit terjaga kestabilannya.

Di facebook pun begitu, kadang-kadang saya sering melihat orang yang sudah jelas antara satu dan lainnya saling tidak suka, tapi masih juga mempertahankan masing-masingnya untuk ada di friendlist. Bilangnya benci, tapi sangat rajin stalking. Itu kan aneh, cari penyakit namanya. Kalo saya, baik di FB Harfeey maupun FB pribadi, saat sudah merasa tidak nyaman dengan akun tersebut, saya akan langsung memblokirnya dari akun Harfeey, selesai perkara. Kecuali untuk FB pribadi, itu lebih ribet lagi. Saya cukup selektif mengonfirmasi atau bahkan mempertahankan friendlist. Jujur saja, saya tidak nyaman kalo ada orang yang punya kepentingan dengan Harfeey tapi ingin masuk list FB pribadi saya juga. Karena saya sadar betul, saya paling tidak bisa yang namanya pencitraan. Berpura-pura mencitrakan kalo saya seseorang yang harus selalu punya tindak-tanduk teratur seperti yang sering tercermin di status Harfeey, padahal faktanya saya sama seperti pengguna facebook lainnya; yang mayoritas suka membagikan sesuatu yang penting hanya menurut dirinya sendiri.

Di FB Harfeey, saya tidak mempermasalahkan jenis kelamin, nama alay, ketikan alay, dlsb-nya dalam mengonfirmasi pertemanan. Selama space masih ada, pasti saya konfirmasi (tapi kebetulan sekarang sudah full 5 ribu, dan hanya bisa untuk di-follow). Lain halnya dengan di FB pribadi. Hal-hal yang saya sebutkan tadi jelas jadi pertimbangan. Mungkin ada di antara teman-teman FB ini yang juga meng-add FB pribadi saya tapi tidak dikonfirmasi juga sampe sekarang, padahal friendlist saya masih 2 ribuan (jauh lebih banyak followers saya ketimbang friendlist). Atau sudah berbilang bulan/tahun sejak nge-add dan baru dikonfirmasi. Atau juga harus meminta secara personal untuk dikonfirmasi. Serius, sebenernya bukan karena saya sombong atau merasa sok begini-begitu makanya pilih-pilih teman, itu semua justru karena itu tadi, saya merasa semua yang saya post di FB pribadi itu hanya penting menurut diri saya sendiri. Jadi gak ada manfaatnya sama sekali buat orang lain yang berharap bisa menemukan sesuatu dari postingan orang-biasa-pada-umumnya. Hingga akhirnya hal-hal yang membuat saya jenuh mengemban label sebagai pemilik penerbitan buku indie pun, tak jarang saya dapatkan dari orang-orang yang atas dasar keinginannya sendiri meng-add akun pribadi saya yang tak penting.

Pada event awal Harfeey, saya memang pernah mensyaratkan untuk meng-add akun pribadi saya atas dasar kepraktisan penyebaran informasi. Tapi kemudian itu saya hilangkan di event-event selanjutnya, saya ganti dengan hanya me-like fanpage saya, setelah ada seseorang yang bahkan saya konfirmasi sebagai teman FB pun tidak (alias dia follow FB saya sendiri), yang mengait-ngaitkan antara postingan tak penting saya sebagai saya pribadi dengan label saya sebagai pemilik penerbit indie. Kadang-kadang memang hanya ada sedikit orang yang bisa membedakan mana urusan pribadi dan kerjaan. Jika memang memiliki Harfeey lantas harus mengubah saya menjadi orang lain yang mengekang diri saya sendiri, memaksa saya untuk mencitrakan diri sebagai orang yang sesuai dengan apa-kata-dan-mau-orang-lain, lebih baik saya jadi pengangguran yang merdeka saja.

Itulah sebab yang pada akhirnya saya sangat ketat menyeleksi friendlist. Orang yang jelas-jelas menampilkan ketidaksukaannya dengan post2 di FB saya akan saya remove kalau berteman dan blokir kalau dia hanya followers, karena saya malas mengganggu dia dengan post tidak penting saya tapi anehnya masih dia follow juga. Orang yang tidak saya kenal dan saya merasa tidak punya kepentingan apa-apa dengan dia pun biasanya saya remove. Akun dengan nama dan/atau ketikan alay juga saya remove, kecuali untuk orang yang dengan alasan tertentu tidak memungkinkan saya untuk me-remove-nya, biasanya saya hanya meng-hide akunnya. Entahlah, target saya memang hanya ingin punya di bawah 2 ribu friendlist saja, padahal dulu akun saya beberapa kali mengalami full friendlist (yang sebagian besar isinya adalah orang-orang yang tidak saya kenal, tidak kenal saya, dan tidak punya kepentingan dan ketertarikan untuk saling mengenal).

Saya sering berpikir, alangkah menyenangkannya jika saya bisa mengatur hidup saya seperti saya mengatur akun facebook saya. Saya bisa memilah-milih siapa saja yang boleh ada di kehidupan saya (friendlist), siapa yang bisa masuk tetapi dengan batasan izin dari saya (followers), dan siapa yang benar-benar ingin dienyahkan (blokir). Tapi saya tau itu mustahil dan bisa merusak keseruan hidup. Tapi, selagi kita masih punya kuasa untuk mengatur hal-hal yang penting atau tidak bagi diri kita di akun sosial media dan HP, kenapa tidak kita gunakan untuk mengurangi kadar jenuh dan stress?

Ya ampun, ini panjang bangeeet, ya. Hahaha. Gak 'papa, mau saya posting di blog juga soalnya, lama gak update. Akhirulqalam, sesibuk apa pun kita dalam menunaikan kewajiban terhadap pemenuhan akan hak-hak orang lain, jangan sampai kita mengorbankan hak-hak kita sendiri. Refreshing itu perlu, meghilangkan jenuh itu penting, karena jika tidak diatasi dengan baik, mustahil kita bisa memberikan hal yang maksimal bagi orang lain. Abaikan segala rupa yang tak ada manfaatnya untuk kita, tetap berjalan di jalur yang menurut kita baik dan tidak merugikan orang lain (kecuali pendengki). Saya dan kamu punya ukuran baju masing-masing, dan tidak bisa saling memaksakan untuk bertukar baju padahal jelas size kita berbeda.

Sabtu, 04 Oktober 2014

Tarif MURAH Mencetak Buku (Boleh Diadu) :P

Salam. Kami dari CV Harfeey ingin menawarkan kerjasama cetak buku POD pada penerbit. Yang membedakan cetak di kami dengan di tempat lain adalah, kami menerima cetak minimal 100 buku dengan judul campur. Dengan kata lain, dalam 100 buku itu boleh terdapat lebih dari 1 judul buku dengan jumlah halaman yang tidak terbatas. Misal, penerbit ingin mencetak judul A dengan jumlah halaman 150 sebanyak 10 buku, judul B 120 halaman sebanyak 50 buku, dst sampai minimal 100 buku. Asalkan ukuran bukunya sama, yakni A5. Untuk tarifnya pun cukup terjangkau dan hitungannya perhalaman. Jenis kertas cover ivory 260 gr, laminasi glossy/doff, kertas isi bookpaper 70 gr, binding lem panas.

Cetak 100 - 200 eksemplar
- Cover + finishing (binding & wraping): Rp6.000,-/eksemplar
- Isi: Rp60,-/halaman

Cetak 201 - 300 eksemplar
- Cover + finishing (binding & wraping): Rp5.800,-/eksemplar
- Isi: Rp58,-/halaman

Cetak 301 - 400 eksemplar
- Cover + finishing (binding & wraping): Rp5.500,-/eksemplar
- Isi: Rp55,-/halaman

Cetak 401 - 500 eksemplar
- Cover + finishing (binding & wraping): Rp5.000,-/eksemplar
- Isi: Rp50,-/halaman

Cetak >501 eksemplar
Bisa nego langsung! :)
Untuk menghemat ongkos kirim, kami juga bersedia membantu penerbit untuk mengirimkan pesanan buku-buku yang mungkin sebelumnya sudah di-pre order yang akan kami kirimkan dari Jogja ke masing-masing alamat para pengorder. Untuk jasa pengiriman ini kami kenakan tarif Rp50.000,- saja persekali periode pengiriman. Tarif tersebut sudah mencakup biaya pembungkus, lakban, jasa bungkus, dan jasa kirim. Namun jika sudah selesai kirim untuk pesanan pre order, kami tidak menerima jasa dropship. Dengan kata lain, sisa buku akan dikirim ke alamat penerbit dengan ongkos kirim ditanggung penerbit (boleh menggunakan ekspedisi apa pun yang sekiranya dianggap paling terjangkau).
Demikin penawaran dari kami. Jika berminat, silakan penerbit menghubungi via sms 087773000454 atau pin BB 7D0FCF1D (Ari Harfeey). Terima kasih dan kami tunggu responnya. Wassalam.

*PS: Kami juga menyediakan jasa pembuatan logo & desain cover keren + berkualitas dengan tarif 150 ribu/desain

DISTRO PENULIS; Cetak Kaos Satuan & Partai

HOLA! Kami dari Distro Penulis selain menyediakan kaos-kaos bertema kepenulisan dan kaos dengan desain keren lainnya, juga membuka jasa SABLON KAOS SATUAN. Bisa banget buat kamu yang mau punya kaos dengan desain non-mainstream kreasi sendiri, kaos couple, kaos komunitas, dll. Oke, monggo disimak list harga sablon yang juga sudah termasuk kaos dengan bahan cotton combat (ada diskon untuk pembelian partai besar):
Silakan diorder! :D Kami juga menyediakan jasa desain dengan tarif yang disesuaikan tergantung tingkat kesulitannya. Thank you. :)

Sabtu, 31 Mei 2014

Anak Kost VS Tanggal Tua

Meringis miris aku membaca berbagai curahan hati kawan-kawanku yang mengirim naskah pengalamannya dalam bertarung dengan si monster akhir bulan—tanggal tua. Betapa kemelaratan juga bisa terdefinisikan dalam berbagai versi. Hal-hal yang menurutku lumrah dan biasa saja, ternyata bisa menimbulkan keluh-kesah bagi sebagian di antaranya. Dan bukan tidak mungkin, pengalaman seru-haru yang kutulis ini juga tak mencapai seujung kuku sekalipun bagi derita sebagian yang lainnya.

Aku memang sudah tidak pernah lagi merasakan masa-masa perih itu. Kalaupun kini aku pernah kelaparan, itu bukan karena aku tak punya rupiah untuk ditukar dengan panganan, lebih karena sifat malasku yang tak terkalahkan meski cacing di perut sudah mengadakan demo besar-besaran. Namun bagaimanapun waktu berliku, berlalu, masa itu akan tetap melekat erat dalam kotak di dalam otak yang sudah kukunci dengan baik agar terekam jelas selamanya. Saat di mana realita menginjak telak di ulu hatiku. Aku tersadar.

Aku sadar bahwa pada Februari 2012 lalu itu, pantulanku dalam cermin tak lagi merefleksikan sosok gadis kecil berkuncir kuda dengan poni menyamping, juga bukan remaja berjilbab dengan seragam putih abu-abu. Aku adalah gadis yang sedang berproses menjadi perempuan, aku adalah wanita. Terlihat aneh memang, tapi hal tersebut memang sengaja kuanalogikan, bahwa “wanita” adalah masa transisi dari seorang “gadis” yang ingin menjadi “perempuan”. Bahwa ketika aku telah menahbiskan diri untuk menjadi seorang wanita, maka sebaik-baik manusia yang bisa dijadikan sandaran untuk menjadi orang yang bisa diandalkan adalah diriku sendiri.

Pada Februari itu, pikiranku mulai menguak lebar untuk menebus semua dosa masa lalu pada diriku sendiri; aku benci telah membuat diriku pernah ada dalam posisi kelaparan! Namun kembali kupertegas, kebencian itu tak lantas membuatku ingin melesakkannya jauh ke dasar memori. Justru aku memilih untuk tetap membiarkannya ada di permukaan pikirku, menohoknya dengan balasan-balasan setimpal bahwa kini aku berhasil mengalahkannya; SANG MONSTER AKHIR BULAN!

Pernah membayangkan ada seorang anak yang notabene bukan berasal dari keluarga ekonomi bawah (alhamdulillah, meski belum kaya tapi keluargaku cukup terbilang masih beruntung dari segi finansial. Masih bisa makan sepuas hati—di rumah—meski hanya dengan lauk sekelas tempe dan teri), harus bertahan hidup di perantauan hanya dengan bekal sesapan kecap selama tiga hari berturut-turut? (ya, hanya tiga hari. Karena pada hari ke empat, aku mendapati jatuhan pepaya di pekarangan kost yang akhirnya kumakan meski sebagiannya sudah koyak dan menjadi konsumsi serangga). Bukan lagi terbayangkan buatku, karena justru aku yang mengalaminya sendiri.

Masih terekam jelas bagaimana ketika si Monster kep*r*t itu memecundangiku, membuat air di mataku menitik satu-satu saat dengan kepayahan berusaha menyugesti alam bawah sadar, bahwa lelehan kecap yang susah payah kukorek dari sisa botolnya bisa dijadikan andalan untuk meredam emosi para cacing, untuk tidak berbalik mengonsumsi lambungku hanya karena tak kusediakan jatah makan.

Bukan salah Ibu-Bapak jika aku harus bertarung dengan tanggal tua, yang akhirnya—pernah—berhasil mengalahkan dan menempatkanku pada posisi miris seperti yang kukisahkan, pernah membuatku minum dari air keran selama berhari-hari karena tak memiliki satu sen pun untuk kubelikan air mineral. Semua salahku sendiri yang terlalu boros, menggampangkan uang hanya karena aku merasa bahwa kini aku menjadi satu-satunya tanggungan orangtua, melupakan adikku yang meski sudah bekerja dan kala itu menunda kuliahnya namun juga masih jauh dari kata mapan, meminggirkan biaya yang harus ditanggung orangtuaku untuk Uwak (kakak dari bapakku) yang tak beranak-suami dan kala itu diberi cobaan dengan kanker lidah (yang akhirnya menjadi jembatan beliau menuju surga—aamiin), dan melupakan lambung-lambung dalam balutan tubuh ringkih kedua orangtuaku yang berusia di atas 50 tahun, namun masih harus bekerja keras memenuhi segala macam tuntutan ketidaktahuan diri dari anak yang sudah sepantasnya mulai berproses menjadi “perempuan”, namun terlalu lena di posisi “gadis”. Aku lupa bahwa dunia tak selamanya bisa memaklumi kemasabodoan dan kemalasan yang kumiliki.

Dan kini kukatakan, bahwa segala kekalahan yang pernah kudulang saat bertarung dengan si Monster akhir bulan yang terakhir kali kurasakan lebih dari dua tahun lalu itu, adalah murni salahku.

Aku memiliki satu kebiasaan buruk, mengikuti hasrat hati saat kondisinya sedang porak-poranda. Alih-alih mengadu pada Tuhan untuk mendapat ketentraman, aku justru menggunakan isi dalam dompetku yang pada masa itu volumenya tak pernah tebal, untuk kujadikan senjata penyenang sesaat. Aku ingat, sebelum akhirnya tersadarkan diri setelah terkalahkan itu, aku baru saja mencampakkan seseorang yang kemudian kusebut “Sapi” karena dia mencampakkanku. Kekesalan yang membuatku memboros besar-besaran, menikmati me time di mall dan membeli apa pun yang kuhasrati—walau hanya sesaat.

Mungkin orang akan meneriaki bodoh karena aku tak memanfaatkan relasi persaudaraan atau pertemanan untuk meminjam uang. Haha, hei... aku adalah orang yang paling bingung bagaimana caranya jika harus diminta meminjam uang. Semenjak aku di pesantren dulu, tak sekalipun aku pernah mengandalkan uang selain kiriman dari orangtuaku. Sementara di lain sisi, orangtuaku bukan typikal pemanja yang royal pemakluman. Jika aku tak bisa me-manage keuanganku dengan baik, maka aku harus menanggung segala resikonya hingga tiba masa jatah kiriman di periode selanjutnya. Dan untuk insiden sesapan kecap itu, aku memang sengaja tidak menceritakannya, bahkan hingga detik diketiknya tulisan ini, karena aku tak punya alibi apa pun untuk kujadikan alasan atas lenyapnya jatah uang jajanku dalam waktu yang singkat, padat, dan tak jelas itu.

Setelah bertahan dengan sesapan kecap dan tegukan air keran, bertepatan dengan liburan semester kuliah. Ibuku mengirimkan uang untuk bekalku mudik ke kampung halaman. Dari sanalah mata, hati, dan pikiranku terbuka; inilah saatnya aku harus mulai berproses menjadi seorang perempuan. Menjadikan tumit kakiku sendiri sebagai pijakan kuat untuk melangkah. Aku melihat bagaimana kepayahannya dua sosok renta itu mengurusi Uwak dengan biaya waktu, tenaga, dan uang yang tak sedikit. Aku mulai dirasuki malu jika harus terus menjadi benalu, padahal tepat di Februari dua tahun lalu itu usiaku menjejak pada bilangan kepala dua. Lebih merasa pecundang lagi saat ibuku yang terpusing-pusing mencari uang untuk bekalku kembali ke perantauan, akhirnya membatalkan pinjaman dari Bibi setelah adikku—orang yang harusnya kuberikan contoh baik—mengirim sebagian uang gajinya untuk modal hidup si pecundang semacamku.

Namun tak akan ada aku yang sekarang, yang bisa menjadi andalan dari segi finansial bagi orangtua dan saudara, yang bisa bukan hanya membiayai kebutuhan hidup dan kuliahku selama di rantau, namun untuk adikku juga. Tak ada aku yang sekarang, yang kurasa telah cukup berhasil mengalahkan kepongahan si Tanggal Tua, jika tak pernah ada Tanggal Tua yang mengalahkan dan berhasil menjatuhkanku hingga titik nadir.

Kala itu, sesampainya di Jogja, aku langsung berusaha keras untuk bangkit bekerja cerdas. Menyadari keterbatasan egoku yang merasa cukup sulit untuk menerima perintah dari telunjuk selain milikku, maka opsi menjadi pegawai part time pun tak menarik minatku sama sekali. Satu-satunya harapan; aku harus berwirausaha.

Allah Mahabaik melancarkan niatanku. Sepulang kuliah saat memutuskan untuk mengambil jalan memutar menuju kostan, aku melihat peluang bisnis pertamaku. Bisnis yang langsung sukses dan berhasil menuai keuntungan bersih (di luar modal tenaga) sebesar 700 ribu perminggu. Nominal yang terbilang sangat besar bagiku kala itu. Sebuah penghasilan yang berhasil membuat ibuku mengucurkan puluhan kata syukur di balik horn ponsel saat kukisahkan kisahku, mengubah keluhan ibu dan lenguhan napas lelah bapakku menjadi kata-kata semangat agar aku bisa terus berhasil dengan jalanku.

Well, saat itu aku bisnis menjual buku-buku di bazar lewat facebook. Bazar yang diadakan selama 2 pekan di gedung yang bersebelahan dengan kampusku itu menjadi awal keberanianku dalam berbisnis dengan modal NOL rupiah, yang kuandalkan benar-benar hanya otak dan ototku dalam bertarung mengalahkan si Tanggal Tua. Kucatat semua buku yang ada di stand termurah, untuk kemudian kupasarkan di facebook pribadiku dengan sistem paketan dan gratis ongkos kirim. Margin keuntungan yang kuperoleh lumayan besar, karena aku sangat meminimalisir modal uang. Kubeli buku di bazar itu hanya jika sudah ada customer-ku yang benar-benar fix mau membeli dengan bukti menransfer dananya. Kubawa berkantung-kantung besar buku-buku itu dari tempat bazar ke kamar kostku yang jaraknya hampir satu kilo hanya dengan berjalan kaki.

Dari bisnis pertama itu, ide bisnis lain hilir mudik saling menghampiri. Mulai dari berjualan batik bola yang perolehan keuntungannya sama memukau juga, meski aku pernah dibuat menangis sendirian di bangku pinggir jalan Malioboro saat “ditipu” oleh suplyer pertamaku, meski aku pernah dibuatnya beberapa kali berjalan kaki dari kostku di daerah UIN ke Maliboro atau sebaliknya, yang jaraknya puluhan kilo meter hanya demi menghemat ongkos busway yang jika kulihat sekarang sangat tak seberapa.

Tapi harus kuakui, jika saat itu segala penghasilanku hanya bisa memenuhi kebutuhan pribadiku saja, belum bisa dengan leluasa kucicipkan juga untuk orangtua dan sodara. Dan ide bisnis baru pun melintasi pikiranku pada 27 Mei dua tahun lalu; aku ingin membuka usaha jasa penerbitan buku indie. Ide bisnis yang langsung kurintis perealisasiannya di keesokan harinya dengan nama Harfeey yang kupilih sebagai brand, sebuah nama yang merupakan singkatan dari nama ibu-bapakku.

Bersama Harfeey, aku berhasil membeli mimpi-mimpiku, aku bisa mewujudkan mimpi-mimpi orangtua dan sodaraku, bahkan aku mampu menyambut tanggal tua dengan tawa yang mengejeknya; aku bukan lagi sasaran tepat untuk kau siksa!


Takkan cukup hanya dengan beberapa halaman untuk mengisahkan kejatuhanku dalam usaha untuk memenangkan pertarungan, hingga akhirnya bisa berdiri meski belum terlalu kokoh. Namun satu hal yang ingin kuberitahu, bahwa aku bisa berada di sini bukan dengan cara yang instan. Ada banyak bekas luka yang menjadi bukti proses pendewasaan yang berhasil kuraih dengan gadaian cucuran peluh dan air mata.
© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis