Sabtu, 31 Mei 2014

Anak Kost VS Tanggal Tua

Meringis miris aku membaca berbagai curahan hati kawan-kawanku yang mengirim naskah pengalamannya dalam bertarung dengan si monster akhir bulan—tanggal tua. Betapa kemelaratan juga bisa terdefinisikan dalam berbagai versi. Hal-hal yang menurutku lumrah dan biasa saja, ternyata bisa menimbulkan keluh-kesah bagi sebagian di antaranya. Dan bukan tidak mungkin, pengalaman seru-haru yang kutulis ini juga tak mencapai seujung kuku sekalipun bagi derita sebagian yang lainnya.

Aku memang sudah tidak pernah lagi merasakan masa-masa perih itu. Kalaupun kini aku pernah kelaparan, itu bukan karena aku tak punya rupiah untuk ditukar dengan panganan, lebih karena sifat malasku yang tak terkalahkan meski cacing di perut sudah mengadakan demo besar-besaran. Namun bagaimanapun waktu berliku, berlalu, masa itu akan tetap melekat erat dalam kotak di dalam otak yang sudah kukunci dengan baik agar terekam jelas selamanya. Saat di mana realita menginjak telak di ulu hatiku. Aku tersadar.

Aku sadar bahwa pada Februari 2012 lalu itu, pantulanku dalam cermin tak lagi merefleksikan sosok gadis kecil berkuncir kuda dengan poni menyamping, juga bukan remaja berjilbab dengan seragam putih abu-abu. Aku adalah gadis yang sedang berproses menjadi perempuan, aku adalah wanita. Terlihat aneh memang, tapi hal tersebut memang sengaja kuanalogikan, bahwa “wanita” adalah masa transisi dari seorang “gadis” yang ingin menjadi “perempuan”. Bahwa ketika aku telah menahbiskan diri untuk menjadi seorang wanita, maka sebaik-baik manusia yang bisa dijadikan sandaran untuk menjadi orang yang bisa diandalkan adalah diriku sendiri.

Pada Februari itu, pikiranku mulai menguak lebar untuk menebus semua dosa masa lalu pada diriku sendiri; aku benci telah membuat diriku pernah ada dalam posisi kelaparan! Namun kembali kupertegas, kebencian itu tak lantas membuatku ingin melesakkannya jauh ke dasar memori. Justru aku memilih untuk tetap membiarkannya ada di permukaan pikirku, menohoknya dengan balasan-balasan setimpal bahwa kini aku berhasil mengalahkannya; SANG MONSTER AKHIR BULAN!

Pernah membayangkan ada seorang anak yang notabene bukan berasal dari keluarga ekonomi bawah (alhamdulillah, meski belum kaya tapi keluargaku cukup terbilang masih beruntung dari segi finansial. Masih bisa makan sepuas hati—di rumah—meski hanya dengan lauk sekelas tempe dan teri), harus bertahan hidup di perantauan hanya dengan bekal sesapan kecap selama tiga hari berturut-turut? (ya, hanya tiga hari. Karena pada hari ke empat, aku mendapati jatuhan pepaya di pekarangan kost yang akhirnya kumakan meski sebagiannya sudah koyak dan menjadi konsumsi serangga). Bukan lagi terbayangkan buatku, karena justru aku yang mengalaminya sendiri.

Masih terekam jelas bagaimana ketika si Monster kep*r*t itu memecundangiku, membuat air di mataku menitik satu-satu saat dengan kepayahan berusaha menyugesti alam bawah sadar, bahwa lelehan kecap yang susah payah kukorek dari sisa botolnya bisa dijadikan andalan untuk meredam emosi para cacing, untuk tidak berbalik mengonsumsi lambungku hanya karena tak kusediakan jatah makan.

Bukan salah Ibu-Bapak jika aku harus bertarung dengan tanggal tua, yang akhirnya—pernah—berhasil mengalahkan dan menempatkanku pada posisi miris seperti yang kukisahkan, pernah membuatku minum dari air keran selama berhari-hari karena tak memiliki satu sen pun untuk kubelikan air mineral. Semua salahku sendiri yang terlalu boros, menggampangkan uang hanya karena aku merasa bahwa kini aku menjadi satu-satunya tanggungan orangtua, melupakan adikku yang meski sudah bekerja dan kala itu menunda kuliahnya namun juga masih jauh dari kata mapan, meminggirkan biaya yang harus ditanggung orangtuaku untuk Uwak (kakak dari bapakku) yang tak beranak-suami dan kala itu diberi cobaan dengan kanker lidah (yang akhirnya menjadi jembatan beliau menuju surga—aamiin), dan melupakan lambung-lambung dalam balutan tubuh ringkih kedua orangtuaku yang berusia di atas 50 tahun, namun masih harus bekerja keras memenuhi segala macam tuntutan ketidaktahuan diri dari anak yang sudah sepantasnya mulai berproses menjadi “perempuan”, namun terlalu lena di posisi “gadis”. Aku lupa bahwa dunia tak selamanya bisa memaklumi kemasabodoan dan kemalasan yang kumiliki.

Dan kini kukatakan, bahwa segala kekalahan yang pernah kudulang saat bertarung dengan si Monster akhir bulan yang terakhir kali kurasakan lebih dari dua tahun lalu itu, adalah murni salahku.

Aku memiliki satu kebiasaan buruk, mengikuti hasrat hati saat kondisinya sedang porak-poranda. Alih-alih mengadu pada Tuhan untuk mendapat ketentraman, aku justru menggunakan isi dalam dompetku yang pada masa itu volumenya tak pernah tebal, untuk kujadikan senjata penyenang sesaat. Aku ingat, sebelum akhirnya tersadarkan diri setelah terkalahkan itu, aku baru saja mencampakkan seseorang yang kemudian kusebut “Sapi” karena dia mencampakkanku. Kekesalan yang membuatku memboros besar-besaran, menikmati me time di mall dan membeli apa pun yang kuhasrati—walau hanya sesaat.

Mungkin orang akan meneriaki bodoh karena aku tak memanfaatkan relasi persaudaraan atau pertemanan untuk meminjam uang. Haha, hei... aku adalah orang yang paling bingung bagaimana caranya jika harus diminta meminjam uang. Semenjak aku di pesantren dulu, tak sekalipun aku pernah mengandalkan uang selain kiriman dari orangtuaku. Sementara di lain sisi, orangtuaku bukan typikal pemanja yang royal pemakluman. Jika aku tak bisa me-manage keuanganku dengan baik, maka aku harus menanggung segala resikonya hingga tiba masa jatah kiriman di periode selanjutnya. Dan untuk insiden sesapan kecap itu, aku memang sengaja tidak menceritakannya, bahkan hingga detik diketiknya tulisan ini, karena aku tak punya alibi apa pun untuk kujadikan alasan atas lenyapnya jatah uang jajanku dalam waktu yang singkat, padat, dan tak jelas itu.

Setelah bertahan dengan sesapan kecap dan tegukan air keran, bertepatan dengan liburan semester kuliah. Ibuku mengirimkan uang untuk bekalku mudik ke kampung halaman. Dari sanalah mata, hati, dan pikiranku terbuka; inilah saatnya aku harus mulai berproses menjadi seorang perempuan. Menjadikan tumit kakiku sendiri sebagai pijakan kuat untuk melangkah. Aku melihat bagaimana kepayahannya dua sosok renta itu mengurusi Uwak dengan biaya waktu, tenaga, dan uang yang tak sedikit. Aku mulai dirasuki malu jika harus terus menjadi benalu, padahal tepat di Februari dua tahun lalu itu usiaku menjejak pada bilangan kepala dua. Lebih merasa pecundang lagi saat ibuku yang terpusing-pusing mencari uang untuk bekalku kembali ke perantauan, akhirnya membatalkan pinjaman dari Bibi setelah adikku—orang yang harusnya kuberikan contoh baik—mengirim sebagian uang gajinya untuk modal hidup si pecundang semacamku.

Namun tak akan ada aku yang sekarang, yang bisa menjadi andalan dari segi finansial bagi orangtua dan saudara, yang bisa bukan hanya membiayai kebutuhan hidup dan kuliahku selama di rantau, namun untuk adikku juga. Tak ada aku yang sekarang, yang kurasa telah cukup berhasil mengalahkan kepongahan si Tanggal Tua, jika tak pernah ada Tanggal Tua yang mengalahkan dan berhasil menjatuhkanku hingga titik nadir.

Kala itu, sesampainya di Jogja, aku langsung berusaha keras untuk bangkit bekerja cerdas. Menyadari keterbatasan egoku yang merasa cukup sulit untuk menerima perintah dari telunjuk selain milikku, maka opsi menjadi pegawai part time pun tak menarik minatku sama sekali. Satu-satunya harapan; aku harus berwirausaha.

Allah Mahabaik melancarkan niatanku. Sepulang kuliah saat memutuskan untuk mengambil jalan memutar menuju kostan, aku melihat peluang bisnis pertamaku. Bisnis yang langsung sukses dan berhasil menuai keuntungan bersih (di luar modal tenaga) sebesar 700 ribu perminggu. Nominal yang terbilang sangat besar bagiku kala itu. Sebuah penghasilan yang berhasil membuat ibuku mengucurkan puluhan kata syukur di balik horn ponsel saat kukisahkan kisahku, mengubah keluhan ibu dan lenguhan napas lelah bapakku menjadi kata-kata semangat agar aku bisa terus berhasil dengan jalanku.

Well, saat itu aku bisnis menjual buku-buku di bazar lewat facebook. Bazar yang diadakan selama 2 pekan di gedung yang bersebelahan dengan kampusku itu menjadi awal keberanianku dalam berbisnis dengan modal NOL rupiah, yang kuandalkan benar-benar hanya otak dan ototku dalam bertarung mengalahkan si Tanggal Tua. Kucatat semua buku yang ada di stand termurah, untuk kemudian kupasarkan di facebook pribadiku dengan sistem paketan dan gratis ongkos kirim. Margin keuntungan yang kuperoleh lumayan besar, karena aku sangat meminimalisir modal uang. Kubeli buku di bazar itu hanya jika sudah ada customer-ku yang benar-benar fix mau membeli dengan bukti menransfer dananya. Kubawa berkantung-kantung besar buku-buku itu dari tempat bazar ke kamar kostku yang jaraknya hampir satu kilo hanya dengan berjalan kaki.

Dari bisnis pertama itu, ide bisnis lain hilir mudik saling menghampiri. Mulai dari berjualan batik bola yang perolehan keuntungannya sama memukau juga, meski aku pernah dibuat menangis sendirian di bangku pinggir jalan Malioboro saat “ditipu” oleh suplyer pertamaku, meski aku pernah dibuatnya beberapa kali berjalan kaki dari kostku di daerah UIN ke Maliboro atau sebaliknya, yang jaraknya puluhan kilo meter hanya demi menghemat ongkos busway yang jika kulihat sekarang sangat tak seberapa.

Tapi harus kuakui, jika saat itu segala penghasilanku hanya bisa memenuhi kebutuhan pribadiku saja, belum bisa dengan leluasa kucicipkan juga untuk orangtua dan sodara. Dan ide bisnis baru pun melintasi pikiranku pada 27 Mei dua tahun lalu; aku ingin membuka usaha jasa penerbitan buku indie. Ide bisnis yang langsung kurintis perealisasiannya di keesokan harinya dengan nama Harfeey yang kupilih sebagai brand, sebuah nama yang merupakan singkatan dari nama ibu-bapakku.

Bersama Harfeey, aku berhasil membeli mimpi-mimpiku, aku bisa mewujudkan mimpi-mimpi orangtua dan sodaraku, bahkan aku mampu menyambut tanggal tua dengan tawa yang mengejeknya; aku bukan lagi sasaran tepat untuk kau siksa!


Takkan cukup hanya dengan beberapa halaman untuk mengisahkan kejatuhanku dalam usaha untuk memenangkan pertarungan, hingga akhirnya bisa berdiri meski belum terlalu kokoh. Namun satu hal yang ingin kuberitahu, bahwa aku bisa berada di sini bukan dengan cara yang instan. Ada banyak bekas luka yang menjadi bukti proses pendewasaan yang berhasil kuraih dengan gadaian cucuran peluh dan air mata.

Senin, 19 Mei 2014

Beli Motor, Mau Cash Malah Disuruh Kredit

Sebenernya saya belum begitu berminat buat beli motor, tapi ibu saya terus-terusan desak saya buat punya si kuda besi. Ya katanya sih biar keliatan ada wujudnya kerja keras saya selama ini. Entahlah, namanya juga ibu-ibu. Lagian kebetulan juga saya punya tabungan yang "bingung mau diapain". Hahaha, sok kayak banget kesannya. :D Lagian laginya, awal puasa besok saya mulai KKN dilanjut magang setelahnya, dan kayaknya bakalan butuh kendaraan pribadi. Jadilah pada awal April kemaren itu saya mulai proses beli motor.

Soal dealer yang lebih ramah sama calon konsumen yang bawa duit 500 ribu ketimbang yang bawa 15 juta sebenernya saya udah sering denger, salah satunya dari ibu saya sendiri yang berdasar pengalaman tetangga. Makdartu awalnya ibu saya juga ngotot nyaranin saya buat kredit aja, biar lebih "dihormati" sama dealernya. Aneh emang ya, kayaknya cuma diperhutangan jual beli beginian doang orang yang ngutang yang justru lebih di-service. :D Tapi saya coba kasih pengertian ke ibu saya soal perbandingan harga antara beli cash dan kredit, kredit keliatannya "meringankan" padahal mah bedanya sama cash bisa berkali lipat. Lebih-lebih saya typikal orang yang paling males berhubungan sama hutang-piutang, lebih-lebih lagi saya juga punya duit, ngapain pula disuruh punya beban hutang. Malu lah sama ilalang yang bergoyang.

Dan jreng-jreng! akhirnya kemaren itu saya ngalamin sendiri keanehan service dari dealer ini. Huh-hah. jadi ceritanya, saya DP buat beli motor Honda Scoopy FI Stylish warna coklat-item pas awal April, sekitar tanggal 5, lewat perantara kakak saya dan suaminya karena saya lagi kuliah sambil sambilan di Jogja. Entah kenapa itu orang dua malah milih dealernya yang jauh dari rumah, di daerah Majalengka kota deket Toserba Surya. Padahal sebelumnya adek saya udah survey ke dealer yang masih di kecamatan yang sama itu motor ready stok, cuma gak ada warna yang saya mau aja dan warna itu bisa ready dalam 2 minggu karena mereka bilang kebetulan itu warnanya gampang didapat.

Singkat cerita, pihak dealer menjanjikan kalo motor bisa ready dalam jangka waktu 2 minggu. Saya tunggu-tunggu karena rencananya saya bakalan langsung mudik kalo motor udah siap kirim, sekalian diadain acara syukurannya gitu. 2 minggu masih gak ada kabar, akhirnya suruh nunggu seminggu lagi pas ditanyain. 3 minggu gak ada kabar dan disuruh nunggu seminggu lagi (total sebulan). Di sini katanya kakak saya sering ditawarin buat beli secara kredit aja, nawarinnya agak maksa gitu. Saya tegas bilang gak mau lah, orang mampu kok suruh ngutang. #Pret :v Singkat cerita lagi, sampe akhirnya tanggal 16 kemaren saya pulang kampung dan itu berarti DP saya buat beli motor itu udah ngindent selama 1,5 bulan. Saya pulang lantaran gak ada kejelasan kapan motornya ready stok. Karena semula yang saya dan ortu saya kira motor gak ready cuma yang warna saya mau aja, akhirnya saya pulang buat pilih warna lain apa pun yang ready stok asalkan merk itu.

Dan jreng-jreng lagi! ternyata selama ini bukan gak ada warna yang saya mau, tapi emang gak ada motor merk dan seri itu! kemaren kakak saya dan suaminya sih bilang mereka pernah dikasih liat pilihan warna lainnya, ya dasar emang orangnya (oke, sorry agak kasar tapi emang ini fakta) kurang cerdas dan berpengetahuan, masa bilangnya warna-warna lainnya bagus-bagus dari seri motor yang saya mau itu. Ada kuning, pink, biru, blablabla. Lha, dikira saya boduoh??? Scoopy FI Stylish kan cuma ada 4 pilihan warna dan yang pasti gak ada warna-warna ngejreng kayak gitu! >_<

Waktu tanggal 17 saya dateng ke dealer itu untuk pertama kalinya, bareng kakak saya, suaminya, anaknya, dan ojek (sepupu saya). Pertama dateng kesan saya udah gak enak banget nih sama sales yang nerima saya. Lha wong lagi ngomong sama rombongan saya kok tiba-tiba aja buang muka dan ngelayanin customer lain yang baru dateng dan mau KREDIT! Ngomong ke saya juganya dia tuh kayak males-malesan banget, gak ada gairah, malah saya disuruh liat-liat motor lain di gudangnya. Saya tanya itu Scoopy FI apa bukan, katanya bukan! Lha, buat apaan! Saya rela nunggu lama itu kan demi Scoopy-nya, kalo ujung-ujungnya merk lain sih ngapain ngindent selama itu! Belum lagi tuh orang maksa-maksa saya buat ganti beli ke merk Beat aja, gemblung! Mentang-mentang beat udah gak laku dan stoknya banyak jadi yang cash disodorin barang sisa.

Rabu, 07 Mei 2014

PENULIS? "Ketika kamu diragukan"

Saya sampe terinspirasi bikin kaos dengan desain ini, berawal dari pengalaman pribadi....

Saya sudah menggiati dunia tulis-menulis sejak lama, sejak saya kelas 4 SD bertahun-tahun lalu. Gak ada yang mendorong atau mengajari saya menulis, semuanya saya pelajari otodidak setelah saya "jatuh cinta" pada kalimat-kalimat puitis yang ditulis Teteh saya di buku hariannya (saya nemu di bekas lemari pakaian kakak saya, jadi saya baca XD). Sejak itu, saya menyisihkan uang jajan untuk rutin membeli buku diary dan menuliskan pengalaman saya sehari-hari. Selain itu, kelas 5 SD saya bisa punya buku kumpulan puisi yang ditulis tangan di buku tulis biasa. Berlanjut hingga SMP dan SMA, saya menghasilkan 1 novel serial remaja islami waktu duduk di bangku kelas 7, dan sangat banyak cerpen. Tapi kesemuanya sekarang entah di mana, dipinjam temen-dioper ke temen lain-dan... hilang.

Jadi, jujur saja, saya merasa gak nyaman kalo ada yang menyebut saya "penulis pemula" hanya karena umur saya yang belum senior. Karena faktanya saya sudah sangat lama bersinggungan dengan dunia itu. Disebut penulis senior pun saya gak mau, karena pasti akan ada "beban" tersendiri. Dan dalam dunia saya, gak ada istilah penulis senior-penulis pemula. Yang ada hanya penulis yang tulisannya bagus, dan penulis yang tulisannya belum bagus ("belum" ya, bukan "tidak").

Nah, apakah saya pernah diremehkan dengan "label" penulis yang saya sandang? Jawabannya... S E R I N G! O:) Tapi... itu DULU.

Dulu saya menulis cuma karena ingin menuruti hasrat, tulisan-tulisan pun cuma jadi konsumsi kawan main dan sekolah saja. Banyak yang mencibir waktu saya bilang mau jadi penulis, mau nyari makan dari menulis. Terutama dari teman-teman baru di kampus. Banyak sekali yang meremehkan. Menjadikan "profesi" saya ini sebagai objek lelucon. Penulis status facebook, lah. Penulis yang suka menuhin beranda orang dengan update-an 5 menit sekalinya, lah. Penulis yang hobi nulis status panjang-panjang, lah. Dan sebagainya, dan banyak lagi. 

Apa waktu diperlakukan begitu saya diam saja? Gak, dong. Bukan saya banget kalo gitu mah. 3:) Saya balas dengan senyum nonsimetris sambil menusukkan (hiperbolisnya keluar) tatapan mata yang seolah berkata, "Lu bakal 'nganga' pas liat nanti gimana gue bisa survive hidup di rantau dengan modal jemari."

Dan sekarang, apa masih ada yang berani menertawakan MIMPI saya (dan kamu, dan kita semua) sebagai penulis? Alhamdulillah, nothing. Mendapat uang di dunia perbukuan tidak hanya dengan mendirikan penerbitan (seperti saya). Jika memang kemampuan kalian terbatas pada hanya menulis, maka tekunilah. Royalti penulis itu lumayan, loh. Bisa sampe jutaan rupiah di penerbit indie (kalo promonya rajin), dan puluhan juta di penerbit major (tentunya yang high class. Oh ya, jangan kirim naskah dengan sistem royalti jual putus, apalagi kalo nominalnya 5 juta pun nggak nyampe. DP dari penerbit major aja rata-rata 2 juta, kok. Itu di luar royalti yang akan ditransfer persekian bulan sekalinya. Ini saran dari penulis produktif--Indah Hanaco--ke saya. Jadi sabar aja, bantu juga penerbit buat marketing bukumu)

Jadikan cibiran, ungkapan meremehkan, sebagai lecutan untuk kita semakin tunggang langgang menggapai mimpi. Jangan buat mereka senang dengan "mengabulkan" anggapan-anggapan mirisnya tentang kita. S E M A N G A T

Sabtu, 03 Mei 2014

Pake Tanda Baca, Biar Gak Gagal Paham

Tadi siang setelah selesai kuliah, saya lagi kumpul sama temen-temen bahas tugas kelompok. Tiba-tiba ada sms masuk dari nomor gak dikenal, isinya simple tapi bikin heboh.

"Ada lowongan pekerjaan did*** (salah satu nama penerbit major di Jogja)"
Yang bikin bingung, ini orang ngasih tau apa nanya? Bingung karena gak ada tanda baca tanya atau titik di belakangnya. Sampe saya tanya-tanya ke temen-temen, apa mungkin ini orang dalem penerbitan itu lagi nawarin kerjaan ke saya. Tapi masa gaya bahasanya kayak gitu banget. Penasaran, akhirnya saya tanya (karena setelahnya saya simpulkan kalo mungkin orang ini lagi ngasih tau info).
"Di bagian apa?" tanya saya.
"Apapunlah" jawabnya, seperti biasa tanpa ada tanda baca setelahnya.
Udahlah saya pikir, cuma buang-buang waktu aja ngeladenin yang gak jelas gini. Saya delete sms-nya dan lanjut diskusiin tugas sama temen-temen. Gak lama, nomor itu sms lagi.
"Editing bisa. Apapun bisa" lagi-lagi tanpa tanda baca dan masih gak jelas apa maksudnya.

Sms itu makin bikin bingung, ini orang lagi nawarin info lowongan kerja apa lagi nyari kerja? Kalo lagi nawarin kerjaan jadi editing, dia tau nomor saya dan tau sedikit banyak saya paham editing itu dari mana/siapa? Kenapa juga gak pake "kulo nuwun/permisi". Apalagi kalo mau ngelamar kerjaan, masa attitude-nya gitu banget. Dan, hei... mau jadi editor? EYD & tanda baca di sms-nya aja kayak gitu banget, siapa juga yang percaya kalo dia paham editing naskah (makjleb, yah. Tapi ini realistis). -_-

Akhirnya saya abaikan aja sms-sms dari nomor itu. Gak jelas dan cuma buang waktu saya yang lagi garap tugas kelompok. Tapi ternyata, gak lama kemudian nomor itu sms lagi.
"Gimana ada ngga?" akhirnya ada tanda tanyanya, yang itu menandakan kalo dia lagi nanyain lowongan kerjaan. Dan blablabla, dia jelasin kalo dia suka perbukuan dan mau kerja di penerbitan. Haduh, salah sambung! Pas saya bilang salah sambung karena emang saya gak ada sangkut pautnya dengan penerbit yang dimaksud, responnya cuma "Ya" errr~. -_-

Jujur aja, ya. Ada banyak banget juga yang kirim sms atau inbox dan menawarkan diri buat jadi editor di Harfeey. Tapi selain karena Harfeey emang gak (atau belum) memerlukan tenaga tambahan, saya liat juga dari cara ketikan orang tersebut. Dan jujur aja, kesemuanya gak ada yang meyakinkan kalo dia paham dunia editing naskah; tanda baca, EYD, dll.

Saran saya, kalo kamu mau ngelamar kerjaan. Tunjukkan kalo kamu memang berkemampuan di bidang tersebut. Misal mau ngelamar jadi editor, ya tunjukkan dengan cara ketikan yang baik dan benar. Mulai dari tanda baca, EYD, dan jangan pake ketikan alay. Contoh: apapun, yang benernya kan apa pun. Dipenerbit, yang benernya di penerbit. Imbuhan "nya" juga jangan diganti pake "x" dan sejenisnya. Ingat, di sini posisi kamu lagi meyakinkan orang untuk make jasamu karena kamu berkemampuan di bidang itu (dan jangan lupakan "permisi"). Sekian.

Kurang tanda baca bisa jadi salah persepsi. Banyak juga yang masih gak paham cara penggunaan tanda baca. Pernyataan malah pake tanda tanya, jadinya malah pertanyaan tapi dengan kalimat rancu, gak jelas. Misal ada orang yang nge-post cerpen, terus muncul koment "Bagus...?" sering tuh nemu yang begitu. Mungkin maksud si yang ngasih koment sih mau bilang kalo cerpennya bagus, tapi berhubung di belakangnya malah pake tanda tanya, buat orang yang sensitif tanda baca (kayak saya), malah ngebacanya ya pake intonasi ngejek, "Hah, masa yang begini doang dibilang/ngerasa bagus?" Gitu lah, banyak distorsi kalo abai sama tanda baca pas komunikasi lewat dunia tulisan, karena beda dengan lisan yang kita bisa dengar langsung intonasinya dan lihat langsung mimik wajahnya.
© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis