Minggu, 30 Juni 2013

Berjumpa Passion Berkat Comblangan dari Teknologi

Ketika kita melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi passion/gairah, tentu hasil yang dicapai pun akan lebih maksimal. Dan butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk bisa mencari apa sebenarnya passion saya, serta bagaimana cara untuk mewujudkan passion yang kadang kerap dianggap sebagai bentuk keidealismean berlebih oleh beberapa pihak yang kontra.

Banyak hal yang saya coba untuk lakukan sebelum akhirnya benar-benar berjodoh dengan sesuatu yang kemudian saya yakini sebagai passion hidup saya, terutama dalam berbisnis. Ketika itu, saya benar-benar yakin bahwa saya adalah orang yang amat sangat payah jika harus bekerja di bawah perintah orang lain. Terbukti dengan berbagai "prestasi" kegagalan yang saya dulang berkat ketidakberhasilan saya untuk mengizinkan ada telunjuk selain milik saya yang memerintah. Yah, selepas SMA saya memutuskan untuk rehat 1 tahun dan menunda melanjutkan kuliah, meski saat itu saya telah mengantongi 1 beasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Cirebon.

Sabtu, 29 Juni 2013

Jangan Remehkan Sudut Pandang

Best of LOL
Barusan saya menemukan share gambar di samping dari salah satu fanpage luar negeri yang saya ikuti. Adrenaline saya pun tertantang untuk turut berkontribusi sebagai penjawab awal, terlebih di sana tertera kalimat yang cukup "menantang" menurut saya: Solve if you are GENIUS!"

Dengan berbekal pengalaman sekardus dalam menjawab soal-soal psikotest yang banyak memuat contoh soal ini --terlebih saat SMA hasil psikotest saya cukup memuaskan dengan menempatkan saya pada taraf orang-orang terpilih untuk ber-IQ superior dengan nilai 128-, lantas saya pun membagikan postingan dari fanpage tersebut sambil dengan PD-nya menuliskan jawaban di kolom tautannya; 12.

Semula saya sudah sangat yakin dengan jawaban saya tersebut, mengingat itu hanyalah soal dengan jawaban yang bisa diperoleh jika kita memahami huruf berima. Sebelum akhirnya ada seorang kawan yang membahas kenapa angka 4-nya tidak ada --sepertinya dia tidak sedang mempermasalahkan jawaban saya yang kurang tepat-. Seketika saya merasa heran. Angka 4? Dan setelah saya melirik pada baris angka di sebelah kiri, barulah saya tau bahwa saya telah jatuh ke dalam "JEBAKAN EINSTEIN!"

Jumat, 28 Juni 2013

Apa Hebatnya Dia?!

"Apa, sih, hebatnya dia?! Keren, nggak. Pinter, nggak. Baik, nggak. Ikh!"
 
Hebatnya dia dari kamu adalah... meski dia nggak keren, nggak pinter, nggak baik, tapi dia bisa menyita sekian persen waktu dari orang hebat kayak kamu untuk mau mengurusinya, sementara dia sendiri memikirkan kamu saja belum tentu pernah. Hehehe. :D

Rabu, 26 Juni 2013

Aku Jatuh untuk Bangun

23-11-2012

Ketika menjejakkan kaki tepat pada angka usia kepala dua, dengan tegas naluriku bergumam, “Selamat datang, tanggungjawab dan kerja keras”.

Aku tidak terlahir dari keluarga yang sangat berkekurangan, sehingga keadaan mendesakku untuk dewasa lebih dini dalam memikirkan perihal apa yang bisa kumakan besok. Namun aku terdidik oleh keluarga yang beranggapan bahwa kerja keras dan kemandirian adalah bagian dari kehormatan. Hidupku adalah tanggung jawabku sendiri, bukan tanggungjawab orangtua atau siapa pun.

Tekad itu semakin bulat, ketika pada bulan yang sama, aku yang merupakan mahasiswi rantau di Yogyakarta tengah menikmati masa liburan di rumah, menyaksikan langsung bagaimana terpusing-pusingnya ibuku (typikal orang kampung yang tidak pernah memiliki uang tunai karena mereka biasa menginvestasikan rizky berupa tanah atau sawah) harus mencari dana yang tidak bisa dikatakan sedikit untuk bekalku kembali ke perantauan dan membayar kost serta daftar ulang kuliah.

Aku menangis di kamar begitu menyadari bahwa di usia yang tak lagi terkatakan kanak-kanak ini, aku masih saja menjadi “benalu” bagi orangtuaku yang renta. Lebih sesak dan serasa ditampar lagi ketika akhirnya ibu membatalkan pinjaman dari tante karena adikku yang memang sudah bekerja mengirimkan sejumlah uang, cukup untuk ongkos dan bekal segala keperluanku menuju Jogja. Di mana harga diriku? Bahkan orang yang terlahir setelahku saja bisa lebih berguna bagi orangtua untuk meringankan beban mereka yang ditimbulkan olehku.

Selasa, 25 Juni 2013

Aku Bukan Orang Baik

Ketika ada orang yang membenciku, kupikir dia belum mengenalku lebih jauh. Mengenal aku sebagaimana “wujud asliku”, bukan sekadar mengenal dari sudut kiri atau satu sudut yang lainnya saja. Karena aku bukan orang baik, aku kerap hidup sesukaku, dengan cara dan dalam kedamaian “dunia” yang kuciptakan sendiri. Telunjukku akan tetap menjadi titah tertinggi dalam menentukan arah hidup bagi diriku. Telunjukku adalah pemeran utama, sekalipun hanya untuk memerintah diriku sendiri.

      Seorang teman penulis yang kali pertama bertemu raga denganku langsung menyadari “kelainanku”, “Bolin kalo di facebook kesannya ceriwis banget, tapi aslinya kalem gini, ya. Diem, gak banyak omong.” Aku hanya meringis, memamerkan senyum simetrisku. Aku pandai menipu, bukan? Tentu saja, karena aku bukan orang baik.

      Bagiku, hidup adalah sekolah yang tak pernah mengenal kata lulus. Dalam setiap perjalanannya, aku harus bisa fight dan konsisten dengan apa yang telah dan akan aku gapai. Aku telah memutuskan untuk menjadi dewasa, yah... sekalipun aku bukan orang baik. Namun justru karena bukan orang baik, lah, maka aku memiliki percikan rasa gengsi jika masih harus menggantungkan hidup di pundak orang lain, meski itu orangtuaku sendiri. Terkadang aku sedikit merasa beruntung telah mendapat mandat tak langsung dari Tuhan untuk mengemban tugas sebagai bukan orang baik, dengan “bekal” itu aku merasa lebih siap untuk hidup, menapakkan kaki-kaki kecilku pada pertarungan di dunia luar yang kuyakini betul begitu liar.

Senin, 24 Juni 2013

Pembeli Adalah (BUKAN) Raja!

Penjual itu bukan orang yang bisa dianggap budak bagi beberapa oknum pembeli yang merasa sok raja. Pembeli sopan, penjual pun sopan. Tidak ada istilah siapa butuh siapa, karena msing-masing saling menguntungkan. Penjual tidak menerima uang dari pembeli secara cuma-cuma, tapi barter dengan barang/jasa yang dibutuhkan pembeli. (Lihat: Siapa Butuh Siapa?)
Jadi jika ada yang berkata, "PEMBELI ADALAH RAJA!" pada saya dengan etika nol besar, saya pasti akan sangat marah. *Seandainya dia berkata begitu di depan saya langsung, saya tidak berani menjamin kalo saya bisa menahan diri untuk tidak menamparnya*

Kalo yang sudah paham saya dan cukup familiar sama beberapa pernyataan di tulisan-tulisan saya tentang ini, pastinya paham betul kalo saya bukan penganut istilah yang entah siapa pencetusnya tersebut.
Bagi saya, antara pembeli dan penjual itu sejajar, sama-sama saling membutuhkan. Tidak ada yang sok bertindak sebagai raja atau tunduk sebagai budak. Selama dia sopan dan menghargai, maka saya akan berlaku sama.

Dan saya merasa kalo saya bukan orang yang pelit-pelit banget atau bahkan sampe lepas dari tanggungjawab, saya rela ganti rugi (memberi bonus) bahkan untuk kesalahan-kesalahan yang bukan dilakukan oleh pihak saya (tapi percetakan). (Lihat: Curcol Apes Gegara Kelewat Royal) Tapi tolong, setidaknya pembeli juga bisa sopan, ya. Karena sekali lagi, kita ini (termasuk sebagai makhluk sosial) sama-sama saling membutuhkan. Jangan merasa ingin tinggi dengan menginjak orang lain.

Ada seorang pembeli paling ajaib yang pernah saya temui di hampir dua tahun masa pengalaman saya sebagai penjual online. Orangnya naudzubillah ngeyel, nyolot, gak sopan, sok raja, dan *sorry* menurut

Minggu, 23 Juni 2013

Saya Memang Matrealistis

"Sekarang aku ikutan blablabla..." ujar seorang teman.
"Oh, ya? Hm... dapet apa? Ada duitnya, gak? Hihihi."

Kesan yang tersurat memang saya ini "matrealistis" banget. Tapi mau gimana lagi, saya cuma malas kalo harus kembali ke masa-masa sulit seperti dulu. Di mana saya hanya bisa menangis kesal karena tidak bisa berbuat apa-apa melihat kesusahan ortu, sodara-sodara, dan bahkan orang-orang di sekeliling saya, dari segi materi, terlebih kalo kondisi susah itu tercipta karena sebab diri saya. Hal itulah yang kemudian memotifasi saya untuk menjadi seorang "matrealistis", menjaga jara sejauh mungkin dar segala sesuatu yang bisa menyita sebagian besar waktu saya, namun sekiranya tak menghasilkan feedback yang sepadan dengan apa yang saya lakukan.

Sabtu, 22 Juni 2013

Goodbye, Tiket Nobar Gratis "Refrain"

Tadi sore sekitar jam 3, gak sengaja saya liat di beranda ada iklan lewat kalo salah satu teman FB saya mengomentari status FP GagasMedia. Setelah saya liat, ternyata GM lagi ngadain kuis berhadiah 5 tiket nonton film Refrain bareng kru, para penulis, dan GagasAddict lainnya, untuk 5 komentator terbaik.

Biasanya saya gak pernah begitu tertarik ikut kuis, tapi pas tadi itu muncul keisengan karena pertanyaan kuis yang diajukan cukup "saya banget".
"Pilih CINTA atau PERSAHABATAN, dan apa ALASANNYA?"
Itulah isi pertanyaan kuis yang diajukan dan berhasil menyeret puluhan komentator. Saya perhatikan, mayoritas dari mereka menjawab lebih pilih persahabatan dibanding cinta, karena setelah saya teliti arti cinta menurut mereka hanyalah cinta pada pacar/kekasih/lawan jenis. Hihihi, saya jadi inget sama temen-temen SD dulu.

Yap, sejak SD saya udah sering "berurusan" sama pertanyaan persis kayak ini. Semua teman-teman saya dengan lagak Hero-nya menjawab lebih memilih persahabatan ketimbang cinta, tentunya disertai alasan yang gak kalah heroiknya, seolah-olah hanya orang nista dan gak tau dirilah yang rela menggadaikan persahabatan demi cinta. *Adedewh-_-"

Kamis, 20 Juni 2013

Curcol "Apes" Gegara Kelewat "Royal", Tapi Selalu Ada Hikmah Setelahnya

Huaaah....
Finally selesai juga semua tugas bungkus, kirim, dan sms-kan nomor-nomor resinya ke hampir 150-an pengorder! 2,5 dus besar yang 1 dusnya aja bisa nampung badanku kalo sambil meringkuk itu benar-benar menyita waktu, tenaga, dan pikiran. :'( Sedihnya bungkusin hampir 500 buku itu sendirian, sampe butuh waktu 1,5 hari buat ngerampunginnya. >_< Tapi syukurnya pas angkut-angkut buat dikirim ke ekspedisi dibantuin sama Mamas Dudull, lumayan juga itu bolak-balik kost-wahana-pos-kost-wahana-pos dan seterusnya, mana kardusnya segede-gede gaban gitu. T_T

Minggu, 16 Juni 2013

Lebayatun Alayah

Aku belum tau seberapa banyak Blogger lain yang pastinya pernah mengangkat tema ini. Tema yang kalo ditilik teliti akan cukup mengurut dada para dedengkot pencetus kaidah Ejaan yang Disempurnakan.
Kurang paham juga apa maksud dan kepuasan yang didapat oleh para kaum Leb4y ibnu 4L@y, eh… atau mungkin beberapa orang juga menganggapku tergolong dalam barikade mereka? *cegluk.
Yang pasti, keberadaannya cukup meresahkan. Bukan hanya bagi kelanjutan kisah EyD, tapi juga bagi para dokter spesialis mata dan syaraf, yang setiap harinya akan kebanjiran job menangani pasien dengan keluhan yang sama; mata juling, jereng, gara-gara berusaha keras memahami tulisan 4L@y!
Kalo dipikir, apa susahnya, sih, ngetik pake tulisan normal kayak yang aku tulis di artikel ini? Apa kaum alayers mungkin menemukan kepuasan batin tersendiri, saat ketikan tulisannya itu berhasil melipat-lipat kening pembaca? *Hadeuuuhhh.

Di situs jejaring sosial yang paling kugandrungi, facebook, kaum lebayatun alayah ternyata punya komunitas juga, loh! Mereka tergabung dalam grup-grup yang beranggotakan orang-orang yang memiliki visi dan misi sama; mengalaykan timeline. Pernah juga seseorang meng-invite-ku untuk join di salah satu grup jempolers, tukang nge-klik-klik LIKE itu, loh! Dan hampir keseluruhan dari jempolers ternyata alayers jugaaa. >_< Aku serasa tersesat di hutan belantara bersama ribuan manusia purba, yang berinteraksi dengan bahasa yang sama sekali nggak kumengerti. Malah, seringnya mereka berbalas komentar di setiap postingan itu dengan serentetan kalimat panjang yang keliatan banget hasil copy-paste! Belum lagi, nama-nama yang mereka pilih buat dijadikan nama akun facebook-nya. Entahlah, cukup sulit membedakan antara nama akun dan gerbong kereta lokomotif.

Siapa Butuh Siapa?

Di dunia ini, nggak ada yang namanya “Gue yang butuh elo” atau “Elo yang butuh gue”. Yang ada hanyalah, “Kita sama-sama saling membutuhkan”. Sejatinya, setiap orang bertindak sebagai “Boss” antara satu dengan yang lainnya. Kita ambil contoh kasus antara seorang pembantu rumah tangga (PRT) dengan majikannya.
Kalo mau ditelaah lebih jauh, sebenarnya si PRT tersebut juga bertindak sebagai boss bagi si majikan, karena dia memberikan jasanya berupa tenaga. Sementara di sisi lain, si majikan juga bertindak sebagai boss atas PRT itu, karena dia memberikan gaji berupa uang. Jika dikemudian hari, terjadi kesemena-menaan yang terkesan merugikan salah satu pihak, kita ambil contoh kasus yang sangat marak ; PRT yang diperlakukan tidak manusiawi oleh majikannya, maka si PRT tersebut berhak untuk protes. Lihat dalam kontrak kerja, dia dibayar untuk apa. Misalnya untuk membereskan rumah, memasak, menjaga anak, dll. Jika dia dibentak untuk sesuatu yang bukan salahnya, dia harus melawan karena dia tidak menerima gaji untuk dibentak.
“Serendah” apa pun posisi jabatan kita, jangan pernah takut untuk berontak jika merasa diperlakukan dengan tidak adil. Agar kita sebagai manusia, bisa terlihat memiliki harga diri tinggi dan disegani oleh manusia lainnya.
Ketika kamu memandang remeh orang lain, sehingga membuatnya merasa ilfeel, secara tidak langsung, kamu telah menutup pintu rizky-mu yang bukan tidak mungkin dimediasi olehnya. Karena semerasa hebat bagaimanapun kamu, tentunya akan tetap memiliki satu ruang manusiawi di palung hati yang kerap membutuhkan bantuan tangan orang lain, dan bukan tidak mungkin, justru tangan dari sosok yang paling kamu bencilah yang pertama kali mengulur.

Dewasa; Sekarang atau Nanti?

Ini bukan lagi zamannya orang merangkak untuk menggapai kesuksesan. Karena seiring rotasi hidup, segalanya mulai beringsut dari poros. Kesuksesan bukan lagi penjelmaan dari sesosok siput obesitas yang bisa kamu kejar, bahkan hanya dengan melenggang santai. Kini, kamu dituntut untuk berlari, memacu derap kaki. Karena, disadari atau sengaja dilupakan, dunia tidak akan pernah memberi satu detik pun konsekuensi untuk menunggu ketertinggalanmu.
Menggapai cerlang kesuksesan di usia yang relatif muda bukanlah perkara gampang, meski tidak juga dikatakan sulit. Saat mayoritas teman seusiamu masih berkutat dengan hal-hal yang bersifat menghamburkan materi, kamu justru dihadapkan pada satu keputusan yang mengharuskanmu untuk memunguti remah-remah receh, guna memenuhi kebutuhan yang disesuaikan dengan pola hidupmu. Satu hal yang perlu dipatrikan dalam hati; menjadi tua itu suatu kepastian, namun menjadi dewasa itu suatu keputusan. Kamu bisa menentukan, kapan waktu yang sekiranya kamu anggap cocok untuk menggapai cerlang kebintanganmu. Bisa saat di atas usia akhir 20-an, awal 40-an, atau mungkin saat kamu merasa bahwa napasmu tinggal satu-satu. Life is choice.
Tapi, jangan lupakan hal ini, siapa yang bisa menjamin bahwa kamu akan bisa menjejakkan kaki pada usia senja yang sesuai target pendewasaanmu itu? Bagaimana jadinya jika takdir enggan ikut berkoalisi dengan targetmu, dan memutuskan bahwa batang usiamu tercerabut pada pertengahan usia manusia pada umumnya, sementara ragamu belum terpatri pada benak dan dalam jejak apa pun untuk menyalurkan kontribusinya bagi sesama. Hanya terlahir untuk kemudian mati tak berguna.

Maraknya Pemuda Bermental "Followers"

Followers… pengertian sederhananya yang bisa saya tangkap adalah pengikut atau orang yang meniru/mengikuti orang lain dalam suatu tindaknya. Pada intinya, pelaku followers adalah sekelompok orang yang dengan rela membiarkan ada telunjuk yang memerintah hidupnya. Entah itu dalam pekerjaan, atau yang kecil-kecilan dalam pergaulannya sehari-hari.
Followers cenderung tidak memiliki sikap. Tak berkarakter. Dan terkesan menjalani hidup seperti air mengalir. Rela terombang-ambingkan tanpa ada pemberontakkan sedikitpun saat badai atau hantaman ombak menerjang. Dia bukan bertindak sebagai si pengambil keputusan penting, hanya puas dengan menjadi orang yang mengangguk-angguk mengikuti perubahan yang dilakukan orang lain.
Followers sudah cukup bangga dengan memposisikan dirinya sebagai pengikut si A atau si B yang didaulatnya sebagai panutan. Entah itu dalam segi sikap, cara berpakaian, atau bahkan gantungan masa depannya berupa pekerjaan.
Followers terlalu malas untuk melakukan inovasi, sekedar untuk merubah posisi agar ia pensiun dini sebagai orang yang diperintah, atau bahasa sadisnya “diperbudak” oleh zaman yang melenakan.
Followers kerap kehilangan jati diri. Ia rela melepas sekian persen dari identitasnya, demi menuruti nafsu perkembangan zaman yang dicucukkan pada hidung oleh kaum-kaum komunis dan kapitalis. Bergaya hedonis demi terbilang anak muda abad 21, meski jalan yang ditempuh harus dengan cara melecutkan pecut pada punggung-punggung renta orangtuanya yang kerap terpapar terik matahari, hanya untuk memenuhi kebutuhan si followers yang tak tau diri.

Cara Mudah Membuka Usaha Penerbitan Buku Indie

28 Mei 2012, tengah malam yang belum bisa dikatakan larut, tiba-tiba suatu ide yang kupikir cukup cemerlang, melintas di otakku. Bukan hanya sekedar permisi numpang lewat, ide itu akhirnya aku cetuskan dan realisasikan langsung pada keesokan harinya.
Membuka jasa penerbitan buku indie. Yah, usaha itulah yang berhasil menggagahi alam pikiranku semalaman suntuk. Aku mulai memperhitungkan untuk “berjudi” dengan membuka usaha tersebut, setelah aku mulai merasakan jenuh dan lelah pada bisnis penjualan baju online yang 2 bulan terakhir kugeluti. Aku mulai menggali potensiku, untuk menjadikan hobi sebagai lahan bisnis.
Banyak orang yang heran dan merasa “wah” (baca: kagum) waktu tau kalo mahasiswi rantau yang baru menjejak angka kepala dua ini bisa menekuni side job di luar jalur side job normal yang biasa digeluti pelajar rantau lainnya. Tapi, kalo kamu tau cara-caranya, aku yakin, kamu sendiri juga bisa seperti aku (bahkan lebih).
Satu hal yang pasti, membuka penerbitan buku indie TIDAK HARUS PUNYA KANTOR. Yaph, betul. Karena aku sendiri sudah membuktikan, ruang kamar kost-ku yang cuma berlahan 3×3 meter ini, ternyata mampu menyangga tubuhku selama hampir 24 jam guna melakoni usaha penerbitan buku indie. Dari mulai penggarapan naskah, hingga pengiriman paket buku yang sudah dipesan.
Oke, langsung aja…

1st; Sebuah Perjalanan dalam Penggapaian Mimpi

Allahu Akbar, Subhanallah, Alhamdulillah....
Semula saya tidak menyangka akan bisa menapak pada angka PERTAMA ini dengan prestasi yang menurut kapasitas saya pribadi cukup gemilang dan membanggakan. Pikiran saya sempat melanglang pada tanggal yang sama dan jam yang sudah bisa terbilang larut, saya yang sebelumnya memang sedang dalam proses “mendewasakan diri” dengan cara berjualan apa pun yang penting halal via online, mulai berpikir untuk ikut berkontribusi pada bidang usaha yang sebenarnya menjadi hobi saya juga. Bukan karena usaha penjualan online saya sebelumnya bangkrut atau tidak menghansilkan, malah saya sangat bersyukur pada allah yang saya rasa teramat sangat baik pada saya yang tak baik ini. Allah selalu memudahkan setiap rintisan usaha saya, namun karena sesuatu hal saya menanggalkan usaha-usaha sebelumnya demi serius di bidang usaha penerbitan ini.

Impian yang tercetus pada sekitar pukul 11 malam tanggal 27 Mei 2012 itu, kemudian langsung saya realisasikan keesokan harinya. Hal pertama yang saya lakukan adalah meminta adik saya yang berada di Jakarta (saya di Yogyakarta) untuk membuat design logo dengan nama Harfeey (baca; Harfy),

Genggaman Kedua (Dedicated for My Inspiring Woman)

Bukan sekali dua kali aku merasakan bagaimana sakitnya jatuh. Entah itu hanya karena sekadar terantuk bebatuan hidup yang menghambat proses perjalananku, atau bahkan terlempar dari atas tebing yang telah susah payah kudaki sebelumnya.
            Rasa kecewa dan putus asa kerap mendominasi hati, namun seseorang selalu mampu memberiku setruman semangat, meski dengan tanpa sepatah kata sekalipun. Aku tau, dia selalu mendukungku, meyakini bahwa aku istimewa dan layak untuk dibanggakan. Aku tau, aku harus membuktikan pada semua orang, bahwa keyakinannya itu benar.
            Dia selalu ada. Tak pernah berpaling menjauhiku meski hanya setipis ari. Namaku tetap terlantun pada doa-doa dalam sujud panjangnya, walau aku kerap menoreh luka yang memerihkan. Dari sorotmatanya yang kian mengabu termakan waktu, dalam intonasi suara lembutnya yang bernada tegas, aku tau bahwa harapan besar akan kesuksesan disandangkannya di pundakku.
            Dia menjadi satu-satunya orang, yang tetap meyakini bahwa aku mampu untuk sukses, bahkan di saat yang lain berbalik mencibir dan meragukan. Dia yang juga kujadikan satu-satunya alasan untuk terus memacu lari, guna menggapai cerlang kebintanganku di hamparan langit lepas.
            “Semoga usaha yang sekarang bisa sukses, ya, Ly.”

Humor yang Baik Adalah...

"Humor yang baik adalah yang menjadikan diri sendiri sebagai objek lelucon."

Saya pernah membuat status seperti itu di akun pribadi saya, lalu ada beberapa yang berkomentar bahwa orang yang berhumor dengan menjadikan diri sendiri sebagai bahan tertawaan, akan tampak konyol dan bodoh.

Jelas saya gak setuju. Buktinya, saya sering melontarkan lelucon yang menempatkan saya sendiri sebagai objeknya, dan banyak yang tertawa. Walau akhirnya mereka balas terus-terusan menjadikan saya sebagai objek lelucon,

Doa Malam Ini (Lagi; Pembelajaran dari Hidup)

08-04-2013

Kemarin malam saya pergi ke Giant dekat kost untuk membeli es krim, biskuit kentang, dan buah pear. Makanan wajib untuk menemani begadang panjang.

Di kasir, seorang Ibu berjilbab lebar ditemani suami dan putrinya yang juga mengenakan jilbab lebar, terlihat sedang berdebat dengan si kasir. Mbak kasir terlihat gugup dan serba salah, karena memang apa yang dilakukannya selalu dikomentari pedas oleh ibu itu, setiap mbak kasir memberi klarifikasi, si ibu akan langsung memotong ucapannya.
"Gak butuh, gak butuh. Saya gak butuh. Kenapa dari awal gak di-pas-in aja empat ratus ribu! Kan saya sudah bilang, pas-in aja biar saya enak bayarnya seratus, seratus, seratus, seratus. Ini malah ada recehan."
"Awalnya sudah pas tiga ratus ribu, Bu. Tapi terus Ibu tambah pond's, bla bla bla..." si kasir melakukan pembelaan.
"Halah. Ya tinggal bilang saya biar di-pas-in. Yang butuh itu, kan, penjual. Saya pembeli, sih, gak butuh!"

Mimpi Selepas Shubuh [Ya Allah... Jangan Sampe Nyata]

16-03-2013


Aku berbicaa dengan Ibuku di ruang keluarga --sambil menonton televisi, mengenai usaha baru orangtuaku di masa senjanya --yang entah itu apa, yang pasti di sana aku meyakini kalau usaha itu lebih mengandalkan kekreatifan ide ketimbang modal dana yang besar. Hal yang selama ini aku yakini bahwa modal utama dari usahaku yang menghasilkan adalah karena kekuatan ideku. Dan semalamnya sebelum tdur aku sempat memikirkan hal itu --sambil bekerja di depan layar.

Tiba-tiba infotainment di televisi menayangkan berita tentang Raffi Ahmad yang meninggal dunia di tempat rehabilitasi --aku ingat semalam sempat membaca artikel tentang Raffi di Yahoo, dan sepertinya aku terlalu memikirkan karena merasa kasihan-- Hal yang sangat mengejutkan setelahnya terjadi, Ibuku pun secara tiba-tiba meninggal dunia --yah, aku juga ingat semalam aku membaca tulisan FTS adikku di buku "Pijar Heroik", yang foto cover bukunya ku ambil dari foto ibuku yang diam-diam ku potret ketika ia baru datang mencari pakan kambing, dan memanggul sekarung rumput itu di atas kepalanya. Yang di dalamnya menceritakan tentang mimpi adikku tentang ibuku yang meninggal. Aku menangis takut saat membaca bagian itu--.

Pesta Airmata di Malam Tahun Baru; Kehilangan Satu Orangtua

01-01-2013


Pernah kamu di hadapkan pada satu pilihan sulit, yang membuatmu benar-benar tidak bisa untuk memilih?
Namun ketika dihadapkan pada pilihan seberat apa pun, kamu mungkin tidak akan kesulitan untuk memprioritaskan Ibumu sebagai orang yang menempati prioritasmu. Tapi tidak sama halnya denganku, mungkin begitu juga dengan keenam sodaraku yang lain.
Dulu, pikiran kecilku sempat berimajinasi, jika Uwak dan Ibuku ditawan penjahat dan aku harus memilih untuk menyelamatkan salah satunya, ternyata setelah berpikir keras, aku tidak bisa menentukan pilihan.

Aku kabarkan, orangtuaku meninggal, ibuku. Orang yang tidak pernah melahirkanku, tapi merawatku bahkan sejak aku (dan sodaraku yang lain) masih berwujud bayi merah. Dia menyayangi kami, memprioritaskan kami, bahkan terkadang lebih dari ibu kami sendiri. Ketika ibuku menolak untuk memberikan sesuatu karena beberapa hal, dia akan memenuhi semua tanpa bantah. Dia memanjakan kami saat ketegasan dari orangtua kandung begitu mengekang kami.

Tadi malam, pada jam yang setelahnya aku tau merupakan jam wafat beliau, aku sempat bertanya pada teman dekatku, "Orang yang wafat dalam keadaan tidak memiliki keturunan itu bukan dikatakan meninggal, kan? Tapi punah."
© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis