Senin, 21 Desember 2015

Jangan Mati Duluan

"Jangan mati duluan lah, Doll." Kata dia suatu hari di WA, waktu saya mengeluhkan (lagi-lagi) tentang kondisi psikis yang gak sehat. Saya bilang, kalo kayak gini terus bisa-bisa saya mati cepet. Btw, setelah merasakan "dibeginikan", saya jadi tau gimana sakit hati dan kecewanya Bapak saya dulu. Membiayai saya dari masih di kandungan hanya untuk besar menjadi pembangkang yang sedikitpun gak menghargai jasanya. Alhamdulillah, itu sudah jadi masa lalu. Di masa kini, saya berusaha keras untuk menyenangkannya di masa tua.

Kembali ke obrolan tentang mati sama Dull.

Entah pesan WA dia itu cuma sekadar respons buat nenangin saya atau gimana, tapi sering bikin saya kepikiran hal yang sama, "Semoga Dull gak mati duluan. Apalagi mati sebelum ngambil alih tanggungjawab akan saya dari Bapak." Saya gak akan lebay bilang kalo saya gak bisa hidup tanpa dia. Saya pasti masih hidup, masih bisa hidup, tapi mungkin dengan cara yang gak sama. Saya cuma belum ada gambaran, hidup macam apa yang bakal saya jalani kalo tanpa dia.

Harus saya akui, orang yang paling deket sama saya adalah Dull. Lebih dari orang tua, apalagi saudara-saudara (yang aslinya emang saya gak begitu deket). Dia teman terbaik yang bisa saya ceritai banyak hal dengan nyaman. Bercerita sambil tertawa-tawa saat bahagia, atau hingga histeris menangis dengan mulut penuh umpatan saat sedih dan jengkel. Saya tidak tau (dan sepertinya tidak mau) adakah orang lain yang bisa menjadi seperti dia kalo seandainya dia mati duluan.

Saya gak mau minta lagi diberikan yang terbaik sama Tuhan, karena untuk saya, Dull sudah lebih dari baik. Tapi kalo Tuhan berpendapat lain, mengatakan kalo Dull gak baik buat saya, maka saya lebih memilih untuk berdoa...

"Semoga Tuhan menjadikan dia baik untuk saya."

Mudah bagi orang-orang "normal" untuk berkata: mati satu, tumbuh seribu. Tapi sulit bagi saya. Saya gak normal. Dan gak banyak orang yang bisa menerima ke-abnormal-an saya. Termasuk keluarga sekalipun, mereka gak tau apa-apa tentang saya, tentang alasan kenapa saya lebih memilih diam di kamar sementara mereka semua berkumpul dengan gelegak tawa bahagia di ruang keluarga.

Tapi Dull tau, dan sejauh yang saya lihat dan rasakan, dia cukup bisa menerima.

Saya punya trauma masa kecil yang kurang baik. Yang seberapa pun inginnya, tetap mustahil untuk bisa saya perbaiki. Treatment di masa kecil hingga sebelum saya merantau ke tempat di mana sekarang saya bisa sedikit mengubah arah takdir, yang berandil besar pada ketidaknormalan yang saya miliki. Keputusan besar yang sangat saya syukuri, untuk pergi menjauh dari orang-orang yang gak bisa mengerti saya, yang melihat aneh akan keberbedaan saya. Dan kembali mendekat setelah saya, satu paket dengan keanehannya, bisa sedikit punya nilai sebagai pembuktian.

Tapi tetap saja. Saya masih tetap aneh, tetap banyak orang yang sulit atau bahkan gak mau mengenal untuk memahami saya, lebih suka men-judge saya dari tampilan yang terlihat. Tapi saya gak peduli, saya sudah terbiasa (meski tetap sakit hati) dengan penilaian dari orang-orang yang bahkan di antaranya selalu mencari saya saat mereka butuh bantuan.

Cuma Dull yang bisa bikin saya terbuka, mau bercerita kenapa bisa sampai saya berbeda. Dan hebatnya, dia mau menerima. Dia gak lagi memandang aneh atau semacam "huh" saat saya sering meminta tolong dia untuk tampil menghadapi orang-orang di dunia nyata, karena saya terbiasa dan hanya nyaman bertindak di balik layar. Dia bisa sedikit mengerti kalo saya tidak mau bukan berarti saya malas, tapi karena memang saya tidak bisa. Saya tidak normal.

Jadi, tolong jangan mati duluan, Dull. Gak ada yang bisa mengerti saya, gak ada yang bisa saya kasih pengertian, selain kamu. Kamu satu-satunya orang yang masih saya yakini sebagai yang selalu ada di pihak saya dalam hal apa pun.

Kalo gak ada Dull, mungkin saya masih bisa hidup, tapi tanpa teman hidup.

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis