Selasa, 16 Juli 2013

Tidak Ingin Harfeey Jadi Penerbit Major

Sudah lama saya gak curhat di blog, walau sebenernya ada banyak sekali unek-unek yang mau saya ceritakan pada diri sendiri (heh? menyedihkan sekali... hehe). Tapi sekarang saya memaksakan diri untuk kembali membuang sampah pada tempat yang semestinya--Dunia Rumput Liar. Well, sekarang ini bisa dibilang (akan) menjadi hari-hari tersibuk bagi saya. Masa untuk cetak buku sudah di depan mata, dan saya harus mempersiapkan diri untuk berlelah-lelah (lagi dan selalu) pada dua minggu ke depan sebelum jadwal mudik yang saya canangkan pada 2 Agustus besok (udah gak kuat, pengen pulang banget, Mak :(...). Mungkin untuk masa di bulan ini rasa lelahnya bakal berkali lipat, selain karena lagi puasa juga karena saya gak yakin kalo Dudull bakal mau bantu saya (bentar lagi Lebaran, Bok). Apalagi sekarang, dengan mengkambinghitamkan BBM, deengan ssemena-menanya pihak percetakan menaikkan tarif cetak yang bikin ngurut dada sampe dengkul. But, itu pikirkan nanti aja, sekarang saatnya membahas salah satu passion "menyimpang" saya yang notabene-nya seorang Direktur Utama (siul-siul cantik)--merangkap babu serbaguna T_T-- di Penerbit Harfeey.

Banyak yang bertanya dan gak sedikit juga yang mendoakan Harfeey untuk bisa naik pangkat jadi penerbit major. Biasanya saya cuma mesem-mesem. Saya mengamini doa baiknya tapi gak mau mengamini "kenaikan pangkatnya". Hehe, saya memang lebih senang begini, seperti ini, menjadi penerbit indie yang idealis dan gak menyita banyak waktu dan pikiran saya. Loh, kenapa begitu? Simple-nya begini, saya sudah membayangkan jika Harfeey tumbuh menjadi major publisher, pastinya ritme hidup saya juga akan berubah drastis. Tidak akan ada tidur siang, bikin sarapan buat anak dan suami (comming soon xD), nyiram bunga sambil bersenandung ria di halaman rumah yang mungil nan asri, baca buku sambil leyeh-leyeh di sofa, dan berbagai kegiatan lain yang sudah menjadi kebiasaan dan cita-cita saya di masa mendatang sebagai Ibu Rumah Tangga (Luar) Biasa. Karena apa? karena pasti "kebesaran" Harfeey sebagai penerbit major akan banyak menyita perhatian saya, baik hati maupun pikiran. Hellooo... kaan bisa bayar jasa pegawai? Ya, memang betul. Taapi jujur saja, saya typikal orang yang sangat meminimalisir diri untuk memiliki "tanggungan" pada dan bagi orang lain, karena kepayahan saya dalam diandalkan untuk jangka waktu panjang dan tanggungjawab yang besar. Saya masih tetap lebih memimpikan hidup tenang, damai, dan tentram di rumah mungil sebagai IRT superistimewa tanpa harus terpusing-pusing dengan urusan yang memaksa saya untuk lebih memprioritaskannya ketimbang keluarga.

Mungkin yang perlu diluruskan juga adalah pemahaman orang tentang apa itu penerbit major. Sebab gak jarang saya menemukan komentar dari teman-teman yang menanggapi aksi sesama teman penerbit indie yang mendistributorkan bukunya secara nasional (masuk tobuk dan dijual di seluruh negeri), dengan ungkapan senada "Selamat, ya, udah go to major!". Mungkin yang ada di pikiran teman-teman itu semua penerbit yang menjual bukunya tidak hanya secara online (tapi juga masuk tobuk nasional) sudah dengan sederhananya bisa terkatakan sebagai penerbit major (ngikik sampe mimisan). Padahal faktanya gak sepraktis itu, Kawan. :)

Saya gak akan menggamblangkan pengertian terperinci tentang penerbit major, untuk hal itu teman-teman bisa googling aja sendiri, ya. :D Tapi saya hanya akan menjelaskan dengan cara dan sesuai dengan praktis pemahaman saya sendiri. Penerbit major adalah sebuah badan usaha berskala besar yang pastinya bukan berbentuk CV seperti penerbit indie, tapi sudah PT. Dan yaang namanya PT sudah pasti dikenakan wajib pajak (ini yang bikin was-was dan gak nyenyak tidur siang... wikikik -_-v). Dan peneerbit major sudah mulai harus melihat naskah tidak secara idealis lagi, tapi harus sesuai dengan selera pasar. Jadi mereka mau terima naskah dari penulis luar dengan tanpa penulis itu mengeluarkan biaya seuprit pun, dengan syarat naskahnya tidak hanya bagus secara isi, tapi juga bernilai "jual" sehingga bisa untuk (paling tidak) balik modal dan mendataangkan keuntungan bagi si penerbit tersebut (CMIW, ya).

Selain itu juga, untuk mendistributorkan buku secara nasional, penerbit perlu memakai jasa pihak distributor buku. Dan inilah hal yang bikin saya bergidik lagi. Untuk bisa menjadikan bukumu mejeng di rak-rak bonafid tobuk, pihak distributor meminta potongan haarga yang aamat sangat ngeriii menurut saya. Dari harga jual buku, distributor minta diskon 50-60% yang tujuannya untuk dibagi sebagai royalti bagi distributor dan tobuk. Jadi, kalo harga sebuah buku itu Rp40.000,-, maka distributor meminta harga Rp20.000,- s/d Rp16.000,- perbuku. Dan... setau saya, minimal buku yang dicetak untuk didistributorkannya itu adalah kisaran 500 s/d 1.000 eksemplar (WOW!). Perlu diingat, ya... sisa harga setelah dikurangi diskon distributor itu belum termasuk biaya cetak, royalti penerbit, dan royalti penulis (nangis lagi T___T), jadi kebayang deh kalo penerbit yang belum punya nama dan belum punya percetakan sendiri mau distribusikan bukunya skala nasional. Daaan... ada satu info lagi, mendistribusikan bukumu secara nasional lewat tobuk's besar juga gak menjamin bukumu bakal terjual semua, sesuai dengan yang kamu serahkan pada pihak distributor. Apalagi yang saya tau, pembayarannya juga gak di muka, alias (kalo gak salah inget) setiap berapa bulan sekali, sesuai dengan jumlah buku yang terjual (nangis guling-guling). Bagaimana jadinya kalo gak ada atau hanya sedikit buku yang terjual? Nah, ini juga yang bikin saya mengkeret serta dilema luar dalam. Setau saya lagi, kalo dalam jangka waktu (kalo gak salah) 3 bulan, buku yang terjual tidak bisa memenuhi target yang diusung oleh pihak distributor dan tobuk yang entah saya lupa berapa prosentasinya, maka buku-buku tersebut akan di-return kembali ke pihak penerbit--yang malang--, dan akhirnya cuma bisa mengendap dan jadi penghuni gudang. Paling banter nasibnya berakhir di tempat diskon ampun-ampunan (dijual dengan harga Rp5.000,- perbuku atau Rp10.000,- dapet 3 buku, hehehe). (CMIW lagi, ya ^_^v)

Dengan berbagai pertimbangan itu, saya telah menahbiskan diri untuk tidak (insyaAllah, aamiin) berminat menaikkan pangkat Harfeey dari penerbit indie yang imut-imut menjadi penerbit major yang gagah perkasa. Kalaupun saya ingin mendistribusikan buku secara nasional di bawah payung Harfeey, saya hanya akan mendistribusikan buku-buku karya saya pribadi, biar baik-buruknya saya yang telan sendiri. :D

Eniwey... pandangan ini hanyalah sebuah gelontoran persepsi di balik kacamata seorang "anak bawang" yang katakanlah sudah merasa cukup "sekian" untuk bermain-main di zona "danger". Gak ada rekomendasi khusus dari saya bagi teman-teman yang punya semangat tinggi untuk memiliki usaha penerbitan berskala besar, kalo mau dan mampu jelas itu jauh lebih baik (yang jadi masalah di saya itu karena saya gak mau, kalo kemampuan mungkin masih bisa diusahakan). Karena setiap tindakan pasti ada baik-buruknya. Jangankan untuk memiliki penerbit major, mendirikan penerbit indie yang kelihatannya sepele saja, saya harus jatuh, bangun, terlempar, terinjak, dan berbagai rasa sakit lainnya yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Tapi... di situlah nikmatnya hidup, yang justru akan lebih berarti ketika ada "bahan" menarik yang bisa kita wariskan sebagai kisah bagi anak-cucu kelak. :)

13 Tanggapan:

  1. Suka bacanya dek (saya mau panggil dek juga ya ^^). Sangat jujur dan gamblang. Memang seperti itu sih (sepengetahuan saya juga). Semuanya ada plus minusnya.

    Ehm, kalo boleh sharing sedikit. Kalo buat kami2 yang di Indonesia Timur ini, kendala memakai penerbit indie adalah pembelian buku yang ada ongkirnya. Harga buku bisa bengkak. Satu lagi kesulitannya, orang2 di Indonesia Timur belum pada mau belanja buku online. Kalo ditawari buku, mrk nanyanya, "Ada di Gramedia, ndak?".

    Kalo saya bilang, "Bisa pesan sama Saya." Biasanya mereka gak pesan2 atau sedikit sekali yang pesan. Atau pesan tapi kemudian membatalkannya dengan semena2 (hiks). Lebih mudah bagi mereka utk main ke toko buku dan melihat bukunya di sana, menimbang2nya di sana, lalu membelinya.

    Trus, saya gak selalu punya dana buat pesan buku. Klo sdg tidak ada dana, cuma bisa bilang, "Silakan pesan di penerbitnya." Dan yakinlah, mereka tidak akan memesannya.


    Tapiiii, tidak bermaksud mengecilkan semangatmu, ya. Tetaplah bersemangat dan idealis. Insya Allah akan ada selalu rezeki dan berkah buatmu :)

    BalasHapus
  2. Eh, saya suka lagi dengan visimu ttg rumahtangga. Aamiin. Semoga terkabul. Dengan misi seperti itu memang lebih cocok jadi direktur penerbit indie saja ... moga2 ridha Allah bersamamu ya :)

    BalasHapus
  3. Aamiin, iya, Mbaaak. :))
    Jadi Penerbit Indie emang serba dilema, udah mah harga jual buku lebih mahal dari buku2 major (karena menyesuaikan dengan harga cetak POD), harus ditambah was2 lagi sama ongkir yang gak terbilang sedikit. Banyak juga yang awalnya minat, tapi pas liat ongkir langsung ngibrit. Hehe.
    Saya juga sering di-PHP-in, beberapa malah bilang mau order sekian belas-puluh buku, pas udah dicetak malah gak ditebus dan gak ada kabar beritanya lagi sampe sekarang. T___T

    Hihi, iya, nih. Dari dulu emang lebih berminat jadi IRT (luar) biasa ketimbang jadi mama blazer-an ber-stiletto yang berangkat pagi pulang petang. :D

    BalasHapus
  4. Aku malah lebih suka kalau nanti akhirnya jadi mayor, Bo. Mungkin bisa menaungi segitu banyak orang yang punya impian memiliki buku. Kamu ga harus kerjain semuanya sendiri, bisa pake jasa orang, dan itu lebih menyamankan hati. Mayor pun tetap bakal dilirik kok kalo kualitas bukunya bagus dan pemasaran juga bagus. Ini tantangan untuk keluar dari zona nyaman. Moga dimudahkan ya. Apapun itu. :)

    BalasHapus
  5. @Ila, udah ada di atas sih untuk jawaban ini, tak copas-in ya kali kelewat bacanya. :D

    "Hellooo... kaan bisa bayar jasa pegawai? Ya, memang betul. Taapi jujur saja, saya typikal orang yang sangat meminimalisir diri untuk memiliki "tanggungan" pada dan bagi orang lain, karena kepayahan saya dalam diandalkan untuk jangka waktu panjang dan tanggungjawab yang besar. Saya masih tetap lebih memimpikan hidup tenang, damai, dan tentram di rumah mungil sebagai IRT superistimewa tanpa harus terpusing-pusing dengan urusan yang memaksa saya untuk lebih memprioritaskannya ketimbang keluarga."

    Intinya, aku gak mau punya pegawai (dalam jumlah banyak), karena menyadari kelemahan itu. Dan bukan masalah kualitas buku (karena kualitas sebenernya tergantung yang nulis, bukan yang nerbitin), tapi lebih ke "waktu untuk menikmati hidup sebagai IRT yang harus digadaikan, sementara hidup cuma sekali, ngeliat n ngurusin kecilnya anak cuma sekali, dsj. Huehehe. Semakin besar, semakin tambah besar tugas + tanggungjawab, semakin banyak juga waktu yang tersita. Hoalaaah... pokoknya bukan "gue banget" ritme hidup yang kek gitu. Impian hidupku itu ya kayak yang tak tulis di atas. :v

    BalasHapus
  6. terima kasih postingannya. bermanfaat utk menambah wawasan.:)

    BalasHapus
  7. susah juga kayaknya yah tuk bisa ngembangin d luar jawa...
    kalau hanya jualan lewat online tampa adanya distributor,,
    menurut gue sih...

    BalasHapus

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis