Selasa, 26 November 2013

Sudut Pandang/Point of View (PoV) dalam Bercerita

Sebagai penulis, kalian lebih nyaman pake PoV mana? Orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga? Eits, sebelum ada yang ngoceh bilang kalo PoV itu cuma ada dua (pertama & ketiga), saya tegaskan kalo PoV itu ada 3, ya.

PoV orang pertama biasa menggunakan kata ganti "aku", dsj.
Contoh:
Aku menyesap kopi yang sekitar lima belas menit lalu dihidangkan pelayan, setelah sebelumnya menghidu wangi kopi yang tak lagi hangat itu dengan khidmat. Pahitnya terasa begitu mendominasi di lidahku, sama pahitnya dengan masalah-masalah yang bertubi menghantamku belakangan ini.
Saya sering dapet naskah kiriman (bukan naskah event) yang menggunakan PoV orang pertama, tapi kurang luwes dalam menerapkannya. PoV ini memang akan lebih terkesan "gue banget" bagi pembaca HANYA jika penulis mampu menerapkannya dengan apik. Kadang ada yang memaksakan diri memakai PoV ini tapi dia lupa, kalo di sini si tokoh utamanya "tidak serba tahu". Jadi amat sangat aneh kalo tiba-tiba si "aku" bisa tau isi hati orang lain atau bisa mendeskripsikan tempat atau keadaan di mana bukan "aku" sendiri yang berada atau mengalaminya langsung.

PoV orang ketiga biasa menggunakan kata ganti "dia", dsj.
Contoh:
Dia menyesap kopi yang sekitar lima belas menit lalu dihidangkan pelayan, setelah sebelumnya menghidu wangi kopi yang tak lagi hangat itu dengan khidmat. Pahitnya terasa begitu mendominasi di lidahnya, sama pahitnya dengan masalah-masalah yang bertubi menghantamnya belakangan ini.
PoV ini bisa dibilang menjadi yang paling primadona dari yang lainnya, karena di sini si pencerita ditempatkan sebagai orang yang "serba tahu". Untuk para penulis yang baru belajar, ada baiknya membuat cerita dengan menggunakan PoV ini terlebih dahulu. Karena lebih mudah mengeksplor kisah dari berbagai sudut pandang para tokoh.

Nah... sekarang saya mau kasih tau PoV orang kedua yang sepertinya mungkin masih terkesan tabu buat banyak orang, karena memang jarang sekali yang menggunakannya. Ehm, dulu sekali, saya lupa tepatnya kapan, saya pernah bertanya tentang kenyamanan dalam memilih PoV juga bagi para penulis sekalian. Saya bertaya apakah teman-teman lebih nyaman menggunakan sudut pandang orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga. Ndilalah... ternyata gak sedikit yang mencibir dan bilang kalo PoV itu cuma ada 2! :D Dalam kata lain, PoV kedua itu tidak ada. :P Dulu, karena sesuatu hal (lupa, tapi kayaknya gara-gara sibuk banyak editan), saya cuekin aja. Tapi sekarang saya mau sedikit terangkan sebatas kemampuan saya.

Dari dulu saya sudah tau (dan yakin) kalo jenis PoV itu ada tiga, entah awalnya tau dari mana pun saya lupa. Hal ini yang jadi salah satu alasan kenapa pas ada yang koment "vokal" waktu itu saya cuekin, karena saya belum punya bukti konkrit. Tapi belakangan ini saya baca-baca tulisan dari para penulis (merangkap editor) senior yang membahas tentang sudut pandang, dan mereka pun mengatakan kalo sudut pandang itu ada 3, dengan sudut pandang orang kedua menjadi bagiannya.

PoV orang kedua biasa menggunakan kata ganti "kamu", dsj.
Contoh:
Kamu menyesap kopi yang sekitar lima belas menit lalu dihidangkan pelayan, setelah sebelumnya menghidu wangi kopi yang tak lagi hangat itu dengan khidmat. Kamu mengernyit, lalu mendecak-decakkan lidah. "Pahit!" katamu. Mungkin sama pahitnya dengan masalah-masalah yang bertubi menghantammu belakangan ini.
Wajar kalo sedikit yang tau, karena memang amat sangat jarang PoV ini dipakai. Salah satu contoh tulisan yang cukup terkenal dan memakai PoV orang kedua adalah Dadaisme karya Dewi Sartika (tapi saya belum pernah baca tulisannya).

Sekilas PoV orang kedua ini tampak sama dengan PoV orang pertama. Tapi sebenarnya beda. PoV orang kedua terkesan "tersembunyi" dan hanya menceritakan tentang "kamu", bukan "aku". Beda juga dengan PoV orang ketiga, karena PoV orang kedua ini pun "tidak serba tahu". Sejauh ini info yang saya tau tentang perbedaan antar PoV ini masih minim, tapi nanti insyaallah akan saya share lagi kalo saya sudah dapat info yang lebih banyak.
Nahhh... kalo saya pribadi, di antara ketiga pilihan PoV ini, saya lebih mengidolakan PoV orang pertama. Baik saya menempatkan diri sebagai penulis ataupun pembaca. Karena dengan PoV ini menurut saya feel-nya lebih "dapat" dan jadinya "gue banget". Memang semua kembali ke bagaimana cara penulis mengawinkan diksi dan kisahnya, tapi kalo dihadapkan pada dua tulisan yang sama-sama bagus tapi kebetulan memiliki PoV berbeda, maka yang saya pilih sudah pasti cerita dengan PoV orang pertama. :)

Semoga bermanfaat!

Sabtu, 23 November 2013

Modal Otak dan Otot

Sesuatu yang "besar" tidak harus langsung dimulai dari sesuatu yang "besar" juga, ukur kemampuan diri dulu. Liat aja Google, mesin pencari terbesar sedunia itu faktanya cuma dimulai dari ruangan kecil bekas bengkel (atau garasi, ya? lupa). Tapi akhirnya itulah yang menjadi "cerita", sesuatu yang layak untuk dikisahkan. Bandingkan kalo para pendirinya langsung sewa atau malah bikin gedung besar, sejarah Google tidak akan menjadi "kisah" yang bernilai motivasi.

Zaman sekarang banyak yang pengen instant. Tidak mau meniti "tangga", maunya diam enak naik lift/eskalator. Uang buat modal nol besar, tapi kelewat gengsi kalo musti mulai action dari nol kecil. Ujung-ujungnya berhutang ampun-ampunan, fee usaha gak seberapa yang kemudian ludes cuma buat nyicil lunasin uang pinjaman.


Prinsip entrepreneur: Modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya.


Modal kecil itu modal uangnya, yang digedein modal otak dan ototnya. Biar uang yang orang lain pake buat bayar jasa orang, bisa dipake buat bayar diri sendiri (untung lagi).

Business is business. Tidak ada namanya "harga teman" bahkan "harga sodara". Bisnis dan sedekah beda lagi tempatnya. Uang bisnis ya buat bisnis, uang sedekah/untuk berbagi ya ada wadahnya sendiri. Ambil contoh realita kecil yang banyak terjadi, berapa banyak penjajak pulsa elektrik yang gulung tikar karena bisnis jualannya dihutang-lupain sama teman? atau dimintain sama sodara?


*Kita tanya Galilleo*

Abaikan Dia, Si Penggunjing Itu


Ketika ada orang yang mencibir akan kemampuanmu, lawan dengan aksi nyata. Abaikan segala cercaannya, buktikan bahwa kamu tidak hanya "pandai bicara" seperti dia.

"Ketika ada orang yang membenciku, kupikir dia belum mengenalku lebih jauh." _Rumput Liar_

Dan selalu ingat satu hal, kesuksesanmu mungkin hanya akan menjadi urusanmu sendiri, tapi kegagalanmu akan menjadi urusannya "lagi". So, hilangkan sekat di mana bisa ditempati oleh sang penggunjing, dengan cara pembuktian akan kesuksesanmu! 



"Ceracau pedas dari mereka yang meragukan, biar kuanggap petasan yang mampu membuatku semakin tunggang langgang menggapai mimpi." _Rumput Liar_


Budget Nikah (Yang Entah Kapan)

Alhamdulillah, dari usaha saya selama ini bisa terbilang cukup memenuhi kebutuhan saya. Bukan sekadar kebutuhan "biasa", tapi yang "luar biasanya" juga. Saya gak memiliki kendala setiap punya hasrat ingin memiliki sesuatu yang saya idamkan--karena memang hasrat saya gak pernah muluk-muluk apalagi kelewat mahal. Selain itu, rumah di kampung juga sudah bisa dibilang gak kalah sama rumah zaman sekarang walau tetep mempertahankan desain aslinya. Yang penting orangtua saya gak kepanasan dan gak kebocoran, bisa istirahat di hunian yang nyaman. Selain itunya lagi, kiriman buat adik dan ortu pun lumayan stabil--sejauh ini saya masih "diuji" dengan segala kemudahan dan kemurahan yang Allah berikan. Alhamdulillah. Setelahnya, tabungan saya belikan ke beberapa perhiasan yang saya pakai sendiri dan lebih banyak dipakai Ibu. Uhm... jadi ingat, dulu selepas SMA Ibu saya pernah bilang waktu saya mau cari kerja selama setahun dan nunda kuliah, katanya saya harus kerja yang ulet biar bisa beliin anting buat Ibu. Kasian, Ibu saya sampe lupa kapan terakhir kali pake anting--saking serba "berkecukupannya" ekonomi yang dikeluarkan buat ke-7 anaknya. tapi sayangnya, karena bukan passion saya, saya gak bisa memenuhi permintaan Ibu saya kala itu soalnya saya out dari kerjaan cuma 2 minggu. -_- Tapi alhamdulillahnya, sekarang saya bisa melihat Ibu saya serba "bling-bling" dan gak keliatan mencolok karena ketutupan daster & jilbab lebar.

Lalu... saya ngerasa bimbang lagi. Hasil usaha saya mau dipake buat apa lagi? Sempet kepikiran buat beli motor idaman saya secara cash, tapi setelah dipikir ulang, type anak rumahan yang males jalan-jalan kayak saya itu cuma bakalan bikin si motor baru cepet berkarat gegara jarang dipake. Yang ada ntar malah dijadiin rumah kura-kura di kost. -.- Intinya, untuk sekarang ini saya masih belum butuh yang namanya motor pribados, lagian juga masih ada Dudull yang seringnya mau diajak nganter ke mana-mana--walau kadang gak mau! Setelah konsul sama Ibu, niatnya tabungan itu mau dipake buat bayar gade-an sawah orang selama 2 tahun. kan lumayan tuh, sawah digarap sendiri selama 2 tahun, nantinya uang juga balik secara utuh. Eh, tapi... setelah dicari-cari malah gak ada orang yang mau gade-in sawahnya--dengan kata lain penduduk desa saya sudah mulai sejahtera. :D Ada pikiran lagi buat invest pake dinar, tapi saya gak ngerti aturan mainnya. >_< Finally... akhirnya saya invest-kan lagi dalam bentuk perhiasan--yang dipake Ibu saya tentunya, gila aja kalo saya yang pake ketara amat "rempongnya". Dan saya udah bilang ke Ibu, kalo khusus yang perhiasan ini buat invest budget atau dana nikah. Hahaha!

Aneh, emang. Padahal saya masih gak jelas kapan dan sama siapa nikahnya. T_T Rencana emang ada, tapi belum ada kepastian yang bisa meyakinkan mah kan sama aja masih abu-abu suram alias bikin gamang. Tapi saya tetep optimis, insyaallah sisa umur saya masih cukup buat sampe ngelewatin takdir ketemu jodoh. Aamiin. Target saya sih sebelum umur 25--sekarang umur saya 21. Xixixi. :P Saya gak tau juga sebenernya budget seharga motor impian saya itu cukup gak buat biaya nikah kalo sayanya pengen ngundang Da'i Kondang sebagai penceramah. Bukan, bukan Pak Solmed, bukan. -_- Dari dulu saya paling suka denger tausiyahnya Aa Gym, hehehe... you know lah itu artinya apa. :)

Mulai ngantuuuk... tapi ini bukan lanturan ngasal sebelum tidur! Saya serius dan berharap semua bisa berjalan sesuai yang saya gambarkan--atau bahkan lebih indah. Aamiin. Selamat tidur. :)

Selasa, 19 November 2013

Dianiaya PMS Tiap Bulan

Nyeri, eneg, dan serasa kembung di bagian perut. Belum lagi pegel-pegel gak jelas di sekujur badan terutama bagian pinggang sama tengkuk. Ini adalah sebagian kecil dari penyiksaan yang selalu saya alami setiap bulannya di awal-awal haid. :(

Ciri lain yang lumayan menonjol adalah emosi yang mudah meledak-ledak. Jadi kalo lagi PMS itu gampang sensitif. Tapi anehnya gak semua perempuan ngalamin PMS. Ada yang pas mau haid itu biasa-biasa aja, ada yang mules doang, lemes dikit, tapi ada juga yang kesakitan luar biasa kayak saya.

Sebenernya ada juga yang tiap kali PMS itu sakitnya bisa lebih super lebay dari saya, salah satunya temen saya waktu di pondok dulu. Tiap kali PMS, dia udah kayak orang yang sekarat mau ngelahirin dan udah pembukaan akhir. Golar-goler, jerat-jerit, pokoknya yang liat aja sampe bisa kecipratan ngerasain gimana sakitnya. T_T Anehnya lagi, dia bilang PMS-nya itu gak ada apa-apanya kalo dibandingin sama kakaknya yang tiap PMS selalu sampe pingsan-pingsan. Astagaaa. :O

Kayaknya emang PMS itu gak bisa diobati biar hilang, mungkin cuma bisa diminimalisir aja rasa sakitnya. Tiap PMS saya selalu bergantung sama obat-obatan. Kalo kebetulan lagi gak ada stok obat, Ya Allah... kayaknya badan gak bisa diajak pisah sama kasur. Berdiri bentar aja langsung ngelumpruk jatoh, gak kuat sama lilitan sakit di bagian perut sama ulu hati.

Mitos yang beredar di kampung saya, katanya kalo yang haid-nya sering sakit itu tanda-tanda kemandulan. Ish, amit-amit. Semoga aja gak bener. Saya sempet khawatir juga, akhirnya saya tanya ke banyak Ibu-ibu di grup khusus perempuan. Dan alhamdulillah banyak kesaksian dari mereka yang dulunya sering kena aniayaan dari PMS, tapi bisa lancar jaya hamil sampe melahirkan.

Kyaaa... saya nulis ini di sela meringis-ringis nahan sakitnya serangan PMS. Perut saya ini rasanya kok kayak dikruwel-kruwel, diinjek-injek tepat di ulu hati. Ya Roby Gustiii. :'(

Buku Baru Bulan Oktober; Solo & Antologi

Nananina~ yaya, emang telat banget baru di-posting sekarang info tentang buku terbit bulan kemaren. Mau gimana lagi, feel nge-blog-nya baru nyamber sekarang-sekarang ini. :D


Oke, langsung aja.... Saya mau ngasih unjuk alias pamerin buku-buku cihuy nan aduhai yang alhamdulillah berhasil saya dan Penerbit Harfeey garap di bulan Oktober kemarin. Cover-nya unyu-unyu semua. :*

Oktober lalu, Harfeey menerbitkan totalnya 16 judul buku. Dengan spesifikasi 7 buku merupakan hasil dari saringan naskah pada event menulis yang saya adakan, dan sisanya adalah buku solo kiriman dari penulis untuk diterbitkan di Harfeey.

Berikut saya infokan list judul & link info lengkap tentang masing-masing bukunya:

  1. My Enemy
  2. And Family Pie
  3. Dongeng Cinderella #1
  4. Dongeng Cinderella #2
  5. My Love #1
  6. My Love #2
  7. Airmata di Lawang Sewu 
  8. English Vocabulary Test & English Quizzes 
  9. My Friend #1
  10. My Friend #2
  11. Kelabu di Kalbuku
  12. Batalyon Abstrak
  13. Koffee Manis
  14. My Facebook
  15. Red Blood Shot Eyes
  16. Snow Love in Seoul
Buat yang mau order, silakan langsung klik di judulnya aja, ya. Thank you. :)

Senin, 18 November 2013

Tanya & Jawab Seputar Cara Menerbitkan Buku di Penerbit Harfeey (Tarif 2014)


Assalamu'alaikum wr, wb....
Salam sejahtera....

Catatan berisi tanya (T) dan jawab (J) yang umum ditanyakan ini, bertujuan untuk memudahkan para Penulis yang berminat menerbitkan bukunya di Harfeey, dan merasa kesulitan mencerna informasi yang tertera di sini. Silakan dipahami sebelum benar-benar mengirimkan naskahnya.

(T) Harfeey termasuk pada penerbit indie atau penerbit major?
(J) Penerbit Harfeey merupakan salah satu penerbit indie (bukan percetakan) yang memosisikan diri untuk mewujudkan impian seluruh penulis (tanpa terkecuali), agar dapat mengabadikan naskahnya dalam bentuk sebuah buku yang berkualitas. Untuk memahami perbedaan antara penerbit indie dan major, silakan googling terlebih dahulu.

(T) Bagaimana cara menerbitkan buku di Harfeey? 
(J) Ketik naskah dalam format Microsoft Words dengan ketentuan:
1.    Jenis kertas A4
2.    Font Times New Roman size 12 PT
3.    Spasi 1,5
4.    Margin normal
5.    Justify
6.    Jumlah halaman TIDAK DIBATASI
7.    Kirim dalam 1 file beserta biodata, kata pengantar (ucapan terima kasih), dan daftar isi buku dalam bentuk lampiran ke email: penerbitharfeey@yahoo.com. Dengan subjek: KIRIM NASKAH. Naskah akan kami proses untuk diterbitkan dalam jangka waktu 2-4 minggu (belum termasuk waktu proses cetak), setelah tarif penerbitan ditransferkan.

(T) Kok bayar???
(J) Jelas, karena Harfeey penerbit indie.

(T) Berapa tarif menerbitkan buku di Harfeey?
(J) Tarif penerbitan sebesar Rp400.000,- (bukan tarif CETAK buku) (berlaku sejak Januari 2014). Tarif ditransferkan ke rekening Penerbit. Lalu naskah akan diproses setelah tarif penerbitan tersebut dilunasi.

(T) Apa saja fasilitas yang akan didapatkan dengan membayar Rp400.000,- tersebut?
(J) Penulis akan mendapatkan fasilitas penerbitan lengkap sbb:
1.    Design cover 1 kali revisi (dalam satu waktu)
2.    Editing naskah tanpa mengubah isi
3.    Layout naskah
4.    Sinopsis
5.    ISBN
6.    Cetak berkala dengan sistem POD (print on demand). Cover glosy, isi kertas HVS/bookpaper, size A5
7.    1 eksemplar buku bukti terbit yang dikirim gratis ke alamat penulis di Indonesia
8.    2 eksemplar buku yang dikirim ke Perpusnas untuk syarat pengajuan ISBN

(T) Hah, cuma buat 1 buku bayarnya harus 400 ribu??? Mahal banget!
(J) Halo, ini tarif penerbitan, ya. Bukan tarif cetak buku. Kalo kamu pake jasa di luar (tentunya yang kualiat gak asal) tarif 400 ribu itu untuk editornya saja gak dapet. Editor freelance pun gak akan ada yang mau dikasih tarif seribu rupiah perhalaman, minimal dari pemulanya aja pasang tarif paling murah itu 2.500,-an perhalaman. Silakan hitung berapa jumlah halaman naskahmu (size A4, margin normal, 1,5 spasi) lalu dikalikan tarif tersebut. Untuk desain layout, paling murah 200 ribu. Desain cover yang kualitas desainnya seperti cover-cover Harfeey, paling murah kami kasih harga 250 ribu. ISBN pun harus punya akta notaris yang bikinnya gak gratis, plus musti kirim 2 eksemplar buku berikut ongkirnya ke Perpustnas. Sedangkan untuk sinopsis, promosi lewat sosial media online, bolak-balik ngurus percetakan, orderan, bungkusin orderan, kirim orderan ke ekspedisi, dan lainnya kami hargai GRATIS, termasuk 1 eksemplar plus ongkir buku terbit yang dikirim ke alamat penulis.

(T) Berapa besaran royalti yang diperoleh penulis dari hasil penjualan buku di Harfeey?
(J) Royalti >15% (lebih dari 15%) dari setiap buku yang terjual (bukan yang dicetak) yang akan ditransfer langsung jika ada yang order bukunya (sekalipun baru satu buku yang terjual), ke rekening BRI milik penulis. Jika penulis tidak bisa menyediakan rekening BRI, maka royalti akan dikirim dalam bentuk pulsa.

(T) Apakah ada dana tambahan lain yang harus dibayarkan di luar tarif penerbitan tersebut?
(J) Tidak ada. Kecuali jika Penulis ingin menjual sendiri bukunya secara langsung di rumah (offline). Penulis bisa mengorder sekian jumlah buku dan membayarnya sesuai harga jual setelah dikurangi jumlah royalti 15%. Jika Penulis hanya berminat mempromosikannya via online, biaya cetak buku ditanggung oleh Penerbit. Buku dicetak berkala, selama masih ada yang order maka selama itu juga buku terus dicetak ulang dengan dana dari Penerbit (tapi hanya cetak bilangan satuan atau sesuai perkiraan, tidak langsung puluhan/ratusan).

(T) Apakah naskah yang masuk pasti diterima dan diterbitkan oleh Harfeey?
(J) Ya, selama naskah tersebut karya asli Penulis, bukan saduran dan/atau hasil plagiasi, tidak memicu konflik SARA dan pornografi. 

(T) Genre apa saja yang diterima untuk diterbitkan oleh Harfeey?
(J) Genre naskah bebas. Boleh fiksi maupun nonfiksi. Karya solo maupun antologi. Baik itu berupa novel, kisah inspiratif, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, how to, buku panduan, dll.

(T) Di mana dan bagaimana buku-buku terbitan Harfeey dijual?
(J) Promosi buku melalui sosial media online. Jika Penulis ingin mempromosikan bukunya lewat event lomba, Penerbit memberikan donasi voucher penerbitan gratis senilai Rp50.000,- untuk masing-masing kontributor terpilih. Promosi dari pihak Penerbit hanya bersifat membantu, sementara untuk promosi gencar menjadi tanggung jawab masing-masing Penulis.

(T) Kenapa tidak dijual di toko-toko buku nasional? Bukankah penjualannya akan lebih mencakup pasar yang luas?
(J) Untuk penjelasan lengkap dan terperincinya, silakan baca di sini.

(T) Bagaimana cara saya mempromosikan buku yang diterbitkan Harfeey?
(J) Silakan Penulis promosikan melalui media online atau offline pada sanak keluarga, sahabat, dll. Jika ada yang berminat untuk order, bisa menghubungi Penerbit via sms dengan menginfokan judul buku, jumlah order, dan alamat. Penerbit akan menginfokan total harga yang harus ditransfer, setelah ditransfer, buku akan langsung dikirimkan ke alamat pengorder langsung dari alamat Penerbit (dengan kata lain, pake sistem konsinyasi yang mana di sini dana cetak pun ditanggung oleh Penerbit, bukan Penulis).

(T) Berapa jumlah buku yang akan dicetak jika menerbitkan di Harfeey?
(J) Jumlah cetak fleksibel, tergantung dari respon pasar. Selama buku masih ada peminat, selama itu juga buku terus dicetak ulang.

(T) Apakah bisa mendesain cover, layout, dan edit sendiri? Lalu berapa tarif penerbitannya kalau semua itu sudah dikerjakan sendiri?
(J) Maaf, Harfeey hanya menerima tarif penerbitan lengkap. Ini menjadi salah satu ketentuan mutlak dari Harfeey.

Semoga catatan T & J ini bisa lebih membantu Teman-teman semua untuk memahaminya, sehingga meniadakan atau paling tidak meminimalisir noise di kemudian hari jika Penulis sudah terlanjur menerbitkan bukunya lewat jalur indie di Penerbit Harfeey. Sebagai info juga, setiap penerbit (sekalipun  indie) memiliki syarat dan ketentuan yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya. Bagi Teman-teman yang sudah paham dan setuju dengan syarat dan ketentuan yang ditetapkan Harfeey, sangat dipersilakan untuk segera bergabung bersama keluarga besar Penerbit Harfeey. Silakan hubungi CP Harfeey untuk tindak lanjut atas keseriusannya via sms (maaf, tidak menerima telepon) ke 081904162092 atas nama Zamie Lily (perempuan).

Sekian dan terima kasih banyak atas perhatiannya. :)
Wassalamu'alaikum wr, wb....



Nyapu Gak Bersih = Suami Brewokan!

Nitip judul dulu. :)

Minggu, 17 November 2013

WT* Buat Saran "Jangan Pake Sandi yang Sama untuk Akun yang Berbeda"

Saya kesal soalnya banyak banget akun yang saya punya dan akhirnya lepas dari kendali saya karena coba buat ngikutin saran itu. Oh, please... otak saya gak cuma dipake buat nyimpen sandi-sandi dari berbagai akun yang jumlahnya gak terbilang sedikit.
blog.lookout.com

Saya "kehilangan" akses sekian persen ke facebook karena saya lupa sandi email yang dipake buat facebook saya. Parahnya, adik saya yang bikin pun lupa apa jawaban dari pertanyaan pengaman emailnya. Dan kabar baiknya, saya menghubungkan akun FB dengan nomor HP pribadi, jadi kalo ada apa-apa bisa terbantu dengan notif langsung via sms.

Sementara untuk twitter, sepertinya memang benar-benar wassalam. Saya lupa sandi twitter saya, dan emailnya pun pake yang sama dengan FB. Kabar yang lumayan baiknya, di Chrrome laptop saya akun twitter belum dan tidak akan pernah saya logout dengan sadarkan diri. Kalo sampe logout... tamatlah riwayat jagat perkicauan.

Selain FB dan twitter, saya juga punya akun lain, seperti blog ini, email pribadi, email usaha, FB usaha, friendster, google+, youtube, path, instagram, dan masih banyak lagi akun sosmed buatan Indo asli yang cuma sekadar iseng-isengan bikin. Sudah bisa ditebak, yang saya ingat sandinya cuma FB, blog, dan email. -_-

So, saya sarankan buat yang belum telat kayak saya, cukup gunakan satu sandi unik untuk semua akun. Sebagai proteksi, hubungkan selalu akun-akun tersebut dengan nomor HP atau email kerabat dekat kalau-kalau terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan.

Ugh!

Cerpen; Talk to My Middle Finger

Seseorang me-mention nama akun facebook-ku dalam komentar di sebuah posting-an yang ada dalam salah satu grup. Aku mengernyit heran sebelum meng-klik untuk mencari tau ada urusan apa orang-orang di grup “aneh” itu menyeret namaku. Hal itu membuat aku sadar kalau aku belum sempat mengeluarkan diri dari grup tersebut setelah seseorang yang tak kukenal pasti meng-invite-ku ke sana tanpa izin—seperti umumnya sebuah grup.

Aku memang typikal orang yang malas bergabung dengan banyak grup. Sebagai seorang penulis, berbagai grup kepenulisan yang kini kuikuti pun sangat kuseleksi. Daripada hanya nyepam notification, lebih baik aku memilih beberapa grup saja yang kurasa benar-benar bermanfaat untukku. Dan grup aneh itu sama sekali tak termasuk ke dalam list grup berkualitas apalagi bermanfaat bagiku.

Saat tanganku mulai men-scroll mouse, wajahku mengeras melihat komentar-komentar yang muncul dari banyak anggota yang—demi Tuhan—sebagian besarnya tak kukenal sama sekali. Komentar yang bermula dari seseorang yang mengutip salah satu quote di novel terbaruku, yang kemudian beranak pinak dan melenceng ke luar tema.

Aku masih bisa hidup tanpa kamu, tapi yang kumau adalah hidup yang di dalamnya ada kamu. –Deera Ita, Sebelah Hati-

Tulis seseorang dengan nama akun Aznia Azkia Luppi, yang ternyata merupakan tanggapan dari posting-an admin grup tersebut yang kurang lebihnya menanyakan quote paling terfavorit dari buku yang pernah dibaca.

Tak disangka, berselang beberapa komentar setelahnya, seorang provokator yang mengaku pada anggota grup tersebut merupakan teman SMA-ku selama tiga tahun berturut-turut, justru menyulut api kebencian yang kemudian diperparah dengan guyuran bensin dari salah satu anggota lain yang sama sekali tak pernah kukenal, baik di dunia maya apalagi di dunia nyata.

Aznia Azkia Luppi, si Deera Ita penulis buku itu, kan, dulunya satu SMA, loh, sama aku. 3 tahun kami sekelas, tapi sekarang... gila, sombong banget!

Tulis akun dengan nama Fita Fiti Futu, provokatif dan sangat melenceng dari pembahasan isi posting-an. Dan setelahnya, kontan namaku menjadi headline. Orang yang tak mengenalku, kemudian banyak yang tiba-tiba mengaku mengenalku. Orang yang bahkan tak pernah bertegur sapa di dunia maya pun, secara lancang bisa menyimpulkan kalau aku memang orang sombong hanya dengan melihat update-an statusku.

Oh, si Deera Ita itu. Emang dari status-statusnya juga udah bisa keliatan, sih, kalo dia itu orangnya sombong.

Tulisan superbodoh dari seseorang yang tak kukenal dan tak ingin kukenal. Akun bernama Anengnong Nizta yang bahkan ku-konfirmasi permintaan pertemanannya pun setelah dia memohon-mohon di inbox facebook agar aku mau menjadikannya masuk ke dalam friend list.

SO FUNNY! Ketika aku butuh waktu puluhan tahun untuk benar-benar mengenal siapa dan seperti apa diriku, orang-orang itu dengan sok taunya merasa paling mengetahuiku—seolah aku terlahir dari muntahannya!

Wajahku kian mengeras, dengan tangan gemetar karena menahan marah, kuluapkan emosiku. Aku bukan orang baik seperti mereka, yang bisa bersabar untuk mengabaikan pengusiknya dalam pembiaran yang nyaman. Terus memberi kesempatan bagi mulut-mulut berbisa itu untuk menyemburkan buih kebencian hingga mereka bosan. Tidak, itu sangat bukan aku. Saat ada orang yang menoyor kepalaku, aku akan menepisnya. Mencengkram tangannya dan memperingatkannya dengan keras kalau aku tidak suka dengan apa yang dilakukannya padaku.

@Fiti yang TERHORMAT. Saya tidak tau kamu ada masalah apa dengan saya. Saya tidak tau kapan kamu menyapa saya dan saya diam saja—hingga akhirnya kamu menyebarkan opini publik kalau saya ini sombong. Saya tidak tau. Yang saya tau, saya tidak pernah dan tidak ingin memiliki urusan dengan orang seperti kamu—terlebih setelah ini. Dan yang perlu kamu ingat, orang yang katamu SOMBONG ini, masih sangat hapal mati kalau kita hanya sempat satu kelas selama 2 tahun di SMA—kelas 1 dan 2, bukan 3 seperti yang kamu gemborkan.

Tulisku dengan caps lock pada kata “terhormat”, sebuah ironi yang sengaja kulakukan. Aku marah, namun harus tetap menunjukkan cara elegant dalam meluapkannya.

Well, aku dan orang menyebalkan yang tiba-tiba muncul di hadapan publik dengan mengaku sebagai teman SMA-ku itu, masih kuingat jelas hanya sempat satu atap dalam 2 tahun masa ajaran sekolah. Bahkan aku masih sangat hapal bagaimana dulu teman-teman sering mem-bully-nya. Gadis pendek dan berperawakan tambun namun memiliki kadar kenarsisan berlebih—hingga terkesan menyebalkan bagi para teman-teman cowok.

Aku pun masih ingat bagaimana dulu aku cukup sering membelanya yang kerap diejek dengan sebutan “Gentong Amerika” oleh salah seorang teman cowok yang kutau juga ada hati padaku, hingga tak jarang hal itu mengundang tawa ejekan dari yang lain. Aku memarahi anak itu setelah tak sengaja melihat si Fiti mengelus dadanya sambil berkata “Sabar” pada dirinya sendiri.

Aku memang merasa tak begitu dekat dengannya, tapi aku pun yakin kalau aku tak pernah merasa punya masalah dengan dia. Kecuali kalau memang dia sendiri yang merasa bermasalah denganku. Yang kutau—buah kata salah satu seniorku—setiap orang yang sudah dianggap “tinggi”, memang akan selalu menemukan kerikil dari orang-orang yang dengan segala upaya berusaha untuk menimbulkan cela. Tak berlebih jika kukatakan apa yang dilakukannya bisa mematikan pasaranku sebagai penulis.

@Anengnong Sang Pakar PENGAMAT. Sebelumnya, bisa tolong ingatkan saya kapan dan di mana kita pernah saling mengenal? Karena jujur saja, sebelumnya saya merasa tidak pernah mengenal Anda. Dan hal itu yang kemudian membuat saya bingung luar biasa, atas dasar apa Anda bisa mengeluarkan statement kalau Anda bisa tau kepribadian saya hanya dengan melihat update-an status facebook? Yang padahal juga isinya hanya seputar kegiatan saya atau quote-quote yang ada di buku-buku saya.

Sekian menit kutunggu, tak ada respon apa pun dari dua orang yang bersangkutan. Entah mereka memang sedang tak online, atau mereka masih shock karena yang kukira sepertinya mereka tak tau kalau aku pun menjadi salah satu anggota grup ANEH itu.

Bagi kalian, sekarang ini keberadaan saya mungkin tak ubahnya seperti titik hitam kecil di hamparan kain berwarna putih. Namun jangan lupakan satu hal, Tuhan Maha Membolak-balikkan Keadaan. Mana tau orang yang sekarang menurut kalian tak ada pentingnya sama sekali ini, justru akan menjadi orang yang sangat kalian butuhkan untuk dimintai pertolongan di masa esok. Hukum alam itu berlaku.

Tutupku sebelum kemudian mengeluarkan diri dari grup penebar ghibah dan desas-desus itu. Mencoba mengabaikan celetukan-celetukan komentar tak penting dari para anggota lain.

Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga akhirnya berbilang tahun, tak kudapatkan kepastian respon dari mereka berdua. Atau bahkan sekadar permintaan maaf karena telah membiarkan orang lain bergunjing di “rumahnya” pun tak dilakukan oleh si Admin yang kerap menyertakan gelar pendidikannya di akhir posting-an.

Yang kulakukan setelah keluar dari grup itu adalah segera meng-hide akun Fiti—sengaja aku tidak me-remove atau mem-blokirnya, aku ingin membuat dia semakin gerah dengan posting-an berbagai keberhasilan yang akan kuraih dan kupersembahkan khusus bagi orang yang sangat “perhatian” semacam dia. Sementara untuk akun orang dengan nick name Anengnong Nizta, langsung kublokir tanpa ampun. Muak rasanya membiarkan penjilat menyesaki friend list-ku.

Sekali lagi kutegaskan, aku bukan orang baik bagi orang yang gemar “mengusikku”.

Resolusi Kecil Menjelang Akhir November

Alhamdulillah, sekarang saya lagi semangat-semangatnya buat nge-blog. Blog saya emang keliatan kayak baru, padahal mah bikinnya udah dari awal 2012. Cuma kemaren emang sempet vakum lama, terus pas dibangkitkan lagi, saya ngerasa risih dan gak sreg sama tampilan + postingan blog sebelumnya, akhirnya dengan tanpa belas kasihan saya remove semua postingan jadul + rombak template-nya. Finally, jadilah blog ini yang lebih sesuai sama passion saya yang hobi "ngomong sendiri". Sebenernya juga saya udah pernah punya blog sebelumnya, waktu saya masih kelas 2 SMA sekitar tahun 2008/2009. Tapi berhubung lupa sandinya, jadi saya bikin baru deh. :)

Dan... saya punya beberapa target atau resolusi yang ingin saya capai sebelum tutupnya bulan November ini, yaitu:
  1. Members blog bisa mencapai ratusan
  2. Statistika blog bisa mencapai puluhan ribu
  3. Alexa blog bisa mencapai ratusan ribu
Udah, itu aja dulu, sih. :D Walau keliatan sepele, tapi saya tau itu gak segampang perkiraan. Dan semoga saja saya bisa mencapai target ini. Fighting! (^0^)9

Sabtu, 16 November 2013

Berburu Flash Fiction Remaja Tentang "Gadis Tudung Merah" yang Dapat "Surat" Cinta

Yeayeah... akhirnya mood saya kembali stabil buat bikin event menulis terbaru lagi. Nih, nih, nih... silakan baca syarat dan ketentuan lengkap event seru not saru terbarunya di sini. :) Semoga banyak yang join kayak event-event sebelumnya, ya. Soalnya kemaren lumayan banyak yang tanya kapan Harfeey bikin event lagi. So... jangan sampe ketinggalan buat jadi bagian keluarga besar penulis kontributor Penerbit Harfeey!

Karakteristik (?) tema lombanya emang sengaja masih saya kaitkan sama tema lomba sebelumnya, yaitu tentang dongeng dan curhat-curhatan. Uhum, tema sekarang adalah Dongeng Gadis Tudung Merah sama lanjutan serial Read My Story About; Letter. Tadinya yang serial itu saya masih bingung antara tema letter atau LDR dulu, akhirnya karena mood saya lebih condong ke surat-menyurat, dipilihlah itu (kangen jadul T_T). Sementara yang bulan kemaren itu, kan, temanya Dongeng Cinderella sama Read My Story About; My Love, My Friend, and My Enemy. Alhamdulillah di event kemaren yang joinnya banyak, peserta yang lolos juga pada semangat buat order dan jualin bukunya. Banyak juga yang suka sama cover-covernya yang ahey-ahey! :D
Ini dia penampakan cover-cover buku hasil event kemarin + buku-buku solo bulan Oktober... dipilih dipilih :))
Overall, saya berharap di event terbaru kali ini akan ada bejibun lagi peserta yang join dengan naskah yang bagus-bagus dan gak bikin keriting bulu mata pas dibaca. :P

Cerpen; Ayah?

Dentangan itu masih serupa dengan kali pertama aku menikmati dengarnya. Tetap mendayu, menyesap luka yang merembes di sekelilingnya untuk turut melarung kisi-kisi duka bersama liukan melodi. Aku menikmati, meski dalam kediamanku yang kerap merajai.

Lelaki berjambang itu, yang memiliki potongan rambut paruh burung pelatuk, tanpa disadarinya telah menjadi teman setiaku dalam melewati masa-masa sulit di perasingan. Suatu tempat antah berantah, yang aku dilempar ke dalamnya. Demi keberlangsungan hajat hidupku yang hanya tinggal separuh-separuh putaran waktu.

Aku menyibakkan rambut pirangku yang masai. Setelah merapihkan letak topi yang menutupi benjolan tak lazim di puncak kepala, aku kembali membenamkan diri bersama dentangan itu. Melesakkan setiap makna yang dialunkannya, hingga palung hati terdalam. Terkadang aku harus berpura-pura mencari karang atau mengejar rumput lari di sepanjang pesisir pantai, agar bisa memiliki alasan lebih lama berada di dekatnya, si lelaki kulit hitam pemetik senar gitar.

Entah kenapa, aku merasa ada suatu perasaan aneh yang menggagahi hatiku, setiap berada di jarak tak kurang dari lima meter dari lelaki yang namanya saja tak kudeteksi itu. Bahkan seraut rupanya pun terlampau sulit untuk kubingkai dalam mimpi di malam-malamku yang mengelabu. Dia begitu asing, namun terasa dekat dan mendamaikan. Aku seolah telah mengenalnya seumur hidup.

Aku masih tetap memaku diri untuk berdiri di tepian pantai ini, terkesan tak mengacuhkan dentangan malaikat itu dengan terus memunggunginya. Sesekali aku berusaha beralibi, mencari kesibukan dengan mempermainkan anak-anak pasir yang terhampar di bawah kakiku, hanya agar lelaki itu tak curiga, bahwa aku tengah menikmati pesonanya.

Satu detik berikutnya, alunan itu tiba-tiba tertelan deru angin dan menghilang. Bersamaan dengan suara bariton berat yang menyapaku dari belakang.

“Eleanor?”

Aku memutar kepalaku 120 derajat. Mataku membeliak kaget. Dari mana dia tau namaku? Aku menghadapnya, senyuman canggung yang lebih mirip seringai langsung menjamuku dari rautnya.

“Kau siapa?” Tanyaku defensif dan mulai membangun benteng pertahanan. Kalau-kalau lelaki yang beberapa menit lalu sempat kukagumi ini berniat asusila.

“Bagaimana kesehatanmu? Apa kau merasa sakit di sini?”

Segera kutepis tangan besarnya yang hendak menjamah topi yang melindungi kepalaku. Sorot mataku memandang nyalang, menuntut penjelasan panjang atas tindakan berlebihannya sebagai orang yang tidak kukenal.

“Maaf, maafkan aku. Kau pasti sangat menderita, Elle. Maafkan aku yang belasan tahun melepas tanggungjawab atas nyawamu, Nak.”

Lelaki kulit hitam di depanku itu mulai terisak. Menyanyat sisi sensitifku untuk turut menumpahkan buncah airmata. Namun kepingan-kepingan otakku masih tercecer, bagai puzzle yang sedang kuusahakan keras untuk menyusunnya. Aku terlalu sulit mencerna kata demi kata yang meretas getas dari bibir legamnya. Siapa dia? Siapa aku baginya?

Dia Berdua

Kali pertama memiliki, berbentuk gemulai lekuk biola. Mengalunkan gita-gita suara sama, namun ternikmat menyamankan di indera pendengar dan perasaku ; hati. Aku memainkannya dalam satu kondisi yang kusesuaikan dengan suasana hati. Terkadang menyepi dalam balutan ruang kamar yang redup, hanya berteman lampu pijar dan alunannya yang mendamaikan. Lain keadaan, aku meliukkan tubuh, berputar selawanan arah jarum pada penunjuk waktu, sembari menggenggamnya erat.

Tak jarang ia berhenti sendiri. Meregang nyawa dan kadang meminta pensiun dini untuk menemani sepi-happy hariku. Aku tak lantas melemparnya bersama setumpukkan barang bekas di pojokan gudang, ia tetap kuletakkan nyaman pada tempat di mana ia kerap menyamankanku selama ini.

Aku tak mau terpusing-pusing untuk mencari celah agar ia dapat hidup kembali, dengan praktis, aku lebih memilih untuk menggandeng penggantinya yang lain, guna menepis kegalauan masa puberku. Kali ini si manis lentik piano yang berhasil menggagahi dan mengakuisisi atas kenyamanan hatiku dengan alunannya. Setiap dentangan yang ia dendangkan, sama persis, tanpa cela, seperti biolaku terlampau. Kembali, aku menikmati sensasi mendamaikan itu dalam wujud ia yang lain.

Dua alat musik itu, yang tentunya hanya mampu terjamah oleh tangan-tangan panjang menengah ke atas, buktinya mampu meregukkan bercawan madu pada kisah remajaku. Meski wujud asli mereka, masih menjadi misteri bagi gadis mungil seusiaku ketika itu.

Aku mengakrabi dia berdua, dalam miniatur berupa kotak musik cantik yang kubeli seharga Rp4.000,-, sisa menyisihkan mati-matian uang jajan yang jumlah aslinya saja sudah memprihatinkan. Namun begitu, alunan setia yang kerap menyertai melodi dendam dan banggaku tersebut, serupa mampu melunasi setiap hutang yang sulit terbayarkan. Dia berdua; mendamaikan.

Puisi; (Gingsul) Persepsi Mereka

Disclaimer: Pernah diikutkan lomba bersama Dokter Gigi (kalo gak salah, lupa) dan keluar sebagai juara 1


Bergerigi gigi gemerigi
Terbilang gingsul, ternampak manis
Pelengkap gurat pintalan senyum
Mereka mendakwa gingsulku aib
Hingga seutas benang dijadikannya senjata pencabut nyawa
Gingsulku sayang, bernasib malang
Tercerabut paksa dari kekar akarnya
Tak miliki dosa, malah ternampak memaniskan
Namun yang menjadi kata mereka, telah menjadi hakim utama
Gingsulku mati terbunuh persepsi

Puisi; Bilangan Merdeka

munsypedia.blogspot.com

Satu
Tujuh
Delapan
Kemudian membilanglah empat
Setelahnya lima
Serangkaian angka tanpa jeda hela napas
Harus bersatu
Wajib menyatu
Karena Indonesia takkan ada
Tanpa satu
Tanpa tujuh
Tanpa delapan
Tanpa empat
Dan tanpa?
Tanpa pelengkap
Tanpa pengisi kemerdekaan
Indonesiaku akan tetap pincang dalam kejayaan
Ini terik di mana keluh bukan penghasil peluh
Tapi kobaran jiwa muda yang mampu meluruh
Berpadu derap pendar bias lantang kemerdekaan
Aku pemudi
Aku Indonesia

Cerpen; Balada Singkong Balado

Lagi. Seseorang telah memasuki kamarku! Telapak kakinya yang besar-besar terlihat menjejak di hampir seluruh lantai pada ruang pribadiku.

Ini menjadi kali ketiga kamar hunianku dibobol seseorang, tanpa meninggalkan cacat apa pun pada engsel pintu. Awalnya aku berspekulasi ini hanyalah ulah konyol sebagai sambutan “selamat datang” dari para penghuni asrama, namun semua menjadi terasa tak biasa saat kusinggung perihal ini pada mereka satu persatu.
elinsholihat.blogspot.com

“Pikir pake logika, dong! Mana ada anak asrama yang punya telapak kaki segede gaban gitu.” Lucy mengibaskan tangannya dengan jengah, seraya pergi meninggalkan kamarku.

Untuk beberapa detik pertama, aku turut mengamini. Tapi pada putaran waktu berikutnya, aku kembali memainkan spekulasi-spekulasi dalam nalarku sendiri.

‘Pasti ada seseorang yang sedang mengerjaiku.’ Gumamku sambil menyampirkan lap basah yang kupakai untuk membersihkan noda jejak misterius itu.

Merasa gagal menyeret satu persatu teman asramaku untuk mengakui perbuatan yang mungkin dilakukan oleh salah seorang dari mereka, aku menekadbulatkan diri untuk menyelidiki misteri ini secara diam-diam. Aku benci jika ada orang yang melakukan lelucon menyangkut area pribadiku.
*
Mulutku menganga lebar. Airmata menderas di pipi yang membingkai wajah pucatku. Tenggorokan bagai mencekat setiap untaian kata yang ingin kuteriakan, jerit suara hanya mampu bergaung di dalam relung-relung perutku.

‘Tuhan, aku takut.’ Aduku dalam hati, seraya merutuki segala ketololanku yang telah berani-beraninya menjalankan aksi pengintaian pada malam Selasa Kliwon.

Sekuat tenaga aku berusaha mengkerdilkan badanku, agar tetap aman dari jangkauan pandang makhluk berbulu lebat yang kini tengah menggagahi meja belajarku. Betis kakinya yang cebol namun besar nampak menjuntai di depan wajahku yang teronggok pucat di kolong tempat tidur.

Lamat-lamat kurapalkan sederet doa yang sekiranya masih terlintas dalam ingatanku. Memohon belas kasih Tuhan agar sudi memberiku kesempatan untuk masih bisa menikmati pancaran matahari esok pagi.

Entah kenapa aku sampai tak menyadari kedatangan makhluk ini di setiap malam-malam lelapku. Yang padahal kini kusaksikan sendiri, bagaimana ributnya mulut mengerikan itu mengunyah sesuatu.

Krauk... krauk...
Glek... glek... glek...
Aaahhh...

Ya Tuhan, dia minum dari tekoku! Dengan cangkir Hello Kitty kesayanganku! Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah pada Aury, adik kecilku. Dia sampai menangis karena menginginkan cangkir berwarna pink keputih-putihanku, namun dengan tanpa perasaannya aku membawa cangkir itu ke asrama agar tidak terkontaminasi oleh bekas mulut selain mulutku.

Airmataku kembali mengalir, kali ini semakin menderas. Aku ingat Bunda, Yanda, dan Aury. Aku takut berada di sini sendirian. Aku ingin pulang dan bergumul dalam dekap peluk mereka.

Pelan-pelan, kutengadahkan wajah yang semula kutangkup di antara kedua tanganku yang menyilang. Dalam posisi tengkurap ini, aku mencoba menajamkan pendengaranku. Suara kunyahan itu telah lenyap. Aku seperti terdampar dalam dimensi lengang yang di dalamnya hanya ada aku dan... deru napas memburu dari sesosok makhluk yang kini tepat berada di depan wajahku. Mulutnya menyeringai, seperti berusaha tersenyum. Sisa-sisa makanan yang tengah dikunyah berloncatan keluar dari sela-sela giginya yang jarang.

“Mau?” tawarnya, menyodorkan satu kaleng berisi singkong balado. Aku ingat, keripik itu dibawakan Bunda sebelum aku berangkat ke asrama.


Kabut di mataku makin pekat dan menghalangi pandangan, saat makhuk besar itu berusaha menyuapkan singkong balado ke mulutku yang mengatup. Setelahnya, aku tidak ingat apa-apa lagi.

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis