Minggu, 10 Januari 2016

Kupu-kupu dalam Kaleng Minuman

Sudah lebih dari 4 tahun saya jadi perantau Jogja. Kota yang saya cintai luar dan dalamnya, kota yang memanjakan saya dengan ke-palu gada-annya. Tapi tetap saja, saya akan dengan bangga menjawab "Majalengka" saat ada yang bertanya asal saya dari mana (walau saat mood sedang buruk untuk menjelaskan kota satu itu ada di belahan bumi sebelah mana, saya hanya akan menyebut Jabar sebagai asal dan mengangguk tak peduli saat mereka menebak Bandung).

Saya merantau ke sini sekitar bulan September 2011. Itu kali pertama saya pergi ke Jogja, termasuk ke dalam destinasi perjalanan saya yang paling jauh. Sampai sekarang, saya tak habis pikir kenapa tidak ada satu pun anggota keluarga yang merasa perlu untuk mengantar saya, bahkan sekadar ke terminal untuk naik angkot yang akhirnya saya tuju dengan berjalan kaki hampir 1 kilo. Saya ingat betul, saat itu berpapasan dengan teman dekat cewek saat SD hingga SMP, dia terlihat speechless waktu saya jawab pertanyaannya kalo saya mau ke Jogja. Tercetak jelas kalau dia heran, bagaimana mungkin saya ke Jogja tanpa siapa-siapa, hanya berteman kaos berwarna ungu dengan gambar kekanakan, celana jeans, dan selembar kerudung sewarna baju. Ransel kecil berwarna cokelat tersampir memprihatinkan di bahu saya.

Tapi memang begitulah adanya. Saya pergi merantau sendirian, benar-benar sen-di-ri-an. Wajar saja, siapa yang sudi mengantarkan bocah menyebalkan seperti saya.

To be continued➰

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis