Senin, 22 Desember 2014

Tentang Orangtua yang Makin Tua

Sejak adik saya sakit dan dirawat di kampung halaman, hampir 4 kali seminggu ibu telepon dan nanya apa saya sendirian di rumah (kontrakan). Sebanyak pertanyaannya juga saya jawab iya, soalnya sama siapa lagi, adik saya kan di rumah. Kemudian ibu akan bilang "Yaa Allah..." dilanjut nasihatnya agar saya hati-hati, bisa jaga diri. Begitu seterusnya berulang, kadang-kadang ada rasa jengkel kenapa terus nanya hal-hal yang jawabannya sudah jelas. Tapi sisi "angel" dalam diri mengingatkan, semakin sepuh orangtua akan semakin menjadi seperti "anak-anak". Mungkin rasa sepi dan bingung yang membuatnya sering menelepon hanya untuk bertanya hal-hal yang sudah ditanyakan, hal-hal yang sudah jelas jawabannya.

God, gimana ya. Saya gak mau menetap di kampung halaman, tapi saya juga gak mau hilang kesempatan berbakti pada orangtua. Semoga ibu-bapak saya gak berpikiran sama seperti orangtua dalam sebuah artikel kisah nyata yang pernah saya baca; seorang ayah yang sedang sakit dan mulai linglung (pikun), sampe gak bisa percaya kalo yang saat itu sedang menjaganya di RS adalah anaknya yang selama ini jarang pulang karena bekerja di rantau. Menurut si ayah, meski diberi sekarung uang pun mustahil anaknya itu mau datang (dan meninggalkan pekerjaannya) untuk mengunjunginya. Si penulis artikel pun tau betul alasan si anak merantau dan jarang pulang, karena sikonnya kurang memungkinkan. Selama ini dia bekerja untuk mencukupi kebutuhan orangtua dan sodara-sodaranya, sementara sodaranya yang lain (yang dekat rumahnya dengan ortu) berbakti lewat tenaga.

Sering saya pulang cuma 3 hari. 1 hari datang, 1 hari untuk istirahat, 1 hari kemudian balik lagi ke rantau. Orangtua lalu nanya, ada apa saya pulang (atau sering juga ditanya hal yang sama waktu saya telepon), dan saya bukan typikal anak yang bisa "so sweet" (walau saya perempuan) bilang kangen atau mau menengok mereka seperti sodara-sodara yang lain, saya cuma bilang gak ada apa-apa. Dan biasanya ibu saya akan "marah" kalo saya cuma pulang sebentar, karena kasihan saya capek di jalan. Sementara kalo saya agak lama di rumah (minimal seminggu), ibu akan senang luar biasa. Padahal di rumah pun saya gak pernah ngapa-ngapain. Tetep mainan sama laptop dan kadang becandaan sama keponakan.

Sudah sejak beberapa bulan ini bapak saya mau "akrab" sama ponsel. Padahal dulunya bapak gak pernah mau peduli apakah ponsel akan berdering terus ketika ibu saya gak ada di rumah, bisa dibilang bapak saya sangat zuhud (bahkan seumur hidup saya tidak pernah lihat bapak saya dengan "iseng" nonton TV). Sampe akhirnya beberapa bulan lalu saya cukup kaget waktu telepon ke rumah denger suara bapak yang jawab. Saking kagetnya, dengan spontan saya nanya di mana ibu. Kebetulan waktu itu ibu saya lagi pengajian di luar. Dan pada kesempatan-kesempatan berikutnya, ketika ibu saya gak ada di rumah dan bapak yang ngangkat telepon, bapak saya akan langsung nanya apa saya nyari ibu. Selintas saya lagi-lagi inget akan sebuah kisah nyata dalam artikel yang pernah saya baca, tentang keluhan tersirat seorang ayah yang setiap kali berkesempatan mengangkat telepon dari anak-anaknya, mereka selalu menanyakan ibu dan secara tidak langsung meminta ponsel untuk dialihkan. Akhirnya saya sadar untuk belajar bersikap dan berucap lebih hati-hati pada orangtua yang umumnya kian sepuh kian sensitif. Mungkin dulu seorang ayah akan bersikap biasa saja melihat anak-anaknya merasa lebih nyaman di dekat ibu, tapi ketika hari tua menjelang, kesendirian datang, rasa sepi menerjang (apa ini?), ayah pun ingin disapa, dianggap ada, dan dipentingkan eksistensinya. Setelahnya, setiap kali saya telepon ke rumah dan kebetulan bapak yang jawab lantas langsung bertanya apa saya mencari ibu, saya akan jawab gak, dilanjut dengan menanyakan kabar bapak, sedang apa, dan kalo ada maksud khusus akan saya ceritakan langsung padanya (yang kemudian juga pasti bapak ceritakan pada ibu).

Di antara 7 sodara lainnya (yang masih hidup), saya adalah anak yang paling menyusahkan sejak kecil karena saya "berbeda" (saya terlahir sebagai anak dengan kerja otak kanan yang sangat dominan). Kasihan orangtua yang membesarkan saya dengan keberbedaan yang sebagai orang awam gak mereka pahami sama sekali apa sebab dan bagaimana mengatasinya. Maka selepas usia 20 (walau sangat telat), saya berusaha keras untuk membayar serpihan-serpihan lelah di hati dan pundak kedua orangtua. Saya akan menyicilnya seumur hidup, walau sangat tahu diri mustahil untuk bisa melunasi.

*Dini hari terbangun, liat beranda FB banyak yang update status tentang Hari Ibu*

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis