Rabu, 02 April 2014

Cerpen; Kopi Air Mata

Kembali kureguk campuran kafein dengan air dari galon yang sama sekali tidak panas. Sesekali kuusap peluh yang besarnya tak sehiperbolis biji-biji jagung. Kipas angin di sudut kamar kost yang baru kubeli empat hari lalu telah mempekerjakan baling-balingnya dengan baik, tapi entah kenapa kadar air tubuhku lebih mendominasi untuk membuangnya lewat buliran keringat. Padahal udara malam tak terbilang panas.

Ini malam ke sekian dari 3 minggu yang penuh peluh dan keluh. Minggu-minggu yang memaksaku untuk memotong jam tidur lebih banyak lagi, lebih sibuk dari biasanya. Lebih lelah dari biasanya. Lebih emosional dari biasanya. Tuhan, beri aku kadar kesabaran lebih.

Mata dan jari-jariku masih sibuk berkeliaran nyalang di depan netbook. Berpindah dari microsoft words untuk menulis, mengedit, dan me-layout naskah ulang karena pekerjaanku sebelumnya hilang tertelan si error. Lalu bergulir ke paint untuk men-design cover. Begitu seterusnya, hingga mataku berair dan perut mual luar biasa saking bosannya.

Ini minggu terberat—seperti umumnya minggu-minggu dahulu di mana deadline jadwal cetak buku penerbit indie milikku sudah mencekik. Di antara keliaran pikir menghadapi segumpal pekerjaan, kelebatan bayang yang membuatku harus berlelah seperti ini turut berlompatan.

Kusesap kopiku lagi dan lagi, kopi pahit tanpa gula yang kucampur dengan air tawar. Sengaja aku meramunya begitu, aku tak ingin ada terselip kenikmatan di area deritaku. Itu tidak konsisten dengan keadaan. Keadaan di mana duka tengah erat mendekapku. Keadaan di mana situasi mengharuskanku menelan pahit ini mentah-mentah. Aku benar-benar merasa sendirian.

Kapan bukunya selesai cetak? Kapan buku pesanan saya dikirim? Mana revisian cover buku saya? Pokoknya buku saya harus sudah nyampe rumah sebelum tanggal 20! @#$%^&*?<!....

Kepalaku berdengung-dengung, konsentrasiku yang sudah terpecah ke berbagai tugas di balik netbook kian buyar, menebar, melebar. Tugas kuliah? Aku tak pernah memikirkannya. Kuteguk kopiku dengan lebih beringas, hingga gelas tupperware yang kupakai sebagai tempatnya pun kucekik kuat dengan kedua tangan.

Kini tubuhku menjauh dari layar netbook, bergeser pada satu ruang di sudut kamar gelap. Kamar yang hampir satu tahun terakhir ini tak pernah kupasangi lampu. Kusandarkan dagu di kedua lututku yang tertekuk, dengan tangan yang masih setia mencekik gelas yang kini berada tepat di bawah wajahku. Titik-titik air berjatuhan ke dalam gelas, bercampur dengan pekat kopiku. Bahuku mulai berguncang. Aku menangis.

Tuhan, aku lelah....

Harfeey adalah nama yang kupilih untuk usaha penerbitan buku indie milikku. Bidang usaha yang hampir dua tahun ini kugeluti sejak masih kuliah di semester 3. Nama yang sengaja kuambil dari singkatan nama orangtuaku, dengan harapan bisa sukses dan mendulang berkah melimpah.

Sepertinya harapan dari pemberian nama itu memang terkabul. Seiring perkembangannya, usahaku melesat pesat. Menimbulkan iri di sudut negatif maupun positif bagi yang lain. Beberapa media online mulai mengulas profilku di bidang kewirausahaan muda. Beberapa tawaran untuk menjadi pembicara seminar di komunitas, sekolah, bahkan perguruan tinggi pun menghampiri, tapi selalu kutolak tanpa tebang pilih. Aku belum berminat untuk menjadi terkenal. Seperti dagelan, tapi ini serius.

Tidak hanya itu, tawaran untuk membuka imprint penerbitan pun berseliweran, tawaran distribusi buku secara nasional turut berjejalan, hingga tawaran jasa editor dan design cover tak henti pula berdatangan. Dari kesemuanya tak ada yang kugubris. Aku masih belum bisa untuk merekrut orang lain. Selama ini aku meng-handle semua proses penerbitan seorang sendiri. Semuanya. Hanya kadang saja design cover dibantu oleh adikku, tapi tidak untuk masa cetak bulan ini. Aku benar-benar dibuat kesal dengan semuanya.

            Perhitunganku salah. Aku lupa jika tahun ini Februari hanya menjejak hingga angka 28. Aku teledor. Dan terparah adalah aku berjalan menghadapinya sendiri. Terlanjur sesumbar bahwa aku bisa meng-handle semuanya hingga jadwal cetak kuperkirakan akhir bulan.

            Dari belasan design cover, hampir seluruhnya aku yang buat sendiri karena adikku yang menyebalkan yang kumintai bantuan tak bisa diandalkan. Dua hari aku dibuatnya benar-benar tidak tidur sama sekali. Berkutat dengan 3 minggu yang penuh derita mendesign cover, seleksi naskah, editing, layout, dan blablabla. Ditemani lenguhan kecewa orang-orang yang merasa paling dirugikan di dunia karena buku PO-nya tak kunjung diterima. Lelah.

            Uang yang jika ditarik rata-rata perbulannya yang kukirim pada adikku hampir satu juta untuk biaya hidup dan kuliah di Jakarta, tiba-tiba saja mulai kuperhitungkan untuk enggan memberinya lagi. Kesal luar biasa saat mereka berbalik mendekatiku hanya di saat-saat butuh saja. Padahal aku sudah memberinya satu unit netbook juga agar lebih memudahkannya untuk membantuku membuat sebagian design cover, yang pastinya sulit kugarap sendiri mengingat tugas editing dan layout isi pun butuh waktu lama. Menggaji freelance? Hah, kantongku belum cukup untuk jadi juragan. Selain karena faktor aku tak begitu mudah puas dengan hasil orang lain.

            Air di mataku kian deras, rasa kesal dan marahku kian meluar biasa. Kian kuintenskan pula tiap regukan pada si pekat pahit. Sama pahitnya dengan nasibku. Sama pekatnya dengan deritaku.

            Ceracau tagihan pengiriman paket PO dari customer, sikap menyebalkan adikku yang sama sekali tak bisa diandalkan, hilangnya tulisan dan design-design cover-ku karena netbook yang berhari-hari tak kumatikan tiba-tiba error. Berkoalisi menjadi satu paket lengkap yang sukses mengoyak-koyak isi lambungku. Lantas kumuntahkan isinya yang penuh kopi, ke dalam cangkir yang masih berisi kopi.

Tangisku yang semula hanya berwujud linangan airmata, kini mulai diiringi isakan memilukan. Sedih dan jengkel, kolaborasi rasa yang tak jarang membuatku putus asa. Seperti melihat malaikat maut yang sudah mengintai dari segala sudut kamar kosku yang mungil.
Tuhan, aku tak berlebihan, kali ini benar-benar lelah....

6 Tanggapan:

  1. Oh, Boneka Lilin yang manis.. entah cerpen itu riil atau fantasi bagi-darimu, semoga semua air mata itu membuatnya senyummu lebih manis pada saatnya nanti.
    Salam damai dari Bandung, :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, mungkin kolaborasinya. Salam juga, ya.

      Hapus
  2. :'/ Akhirnya gimana? Mudah2n endingnya baik ya... :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ending-nya, omzet bulan kemaren bisa saya pake buat beli scoopy seri terbaru secara kontan. Wkwkwk. :P Kok pada nebak kisah nyata, ya? qiqiqi

      Hapus
    2. Ketebak, soalnya dalem banget... :D

      Hapus
    3. Itu udah jadi typikal dari tulisan2 saya kok, Qaqa. *Ngeles* xixi

      Hapus

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis