Sabtu, 31 Mei 2014

Anak Kost VS Tanggal Tua

Meringis miris aku membaca berbagai curahan hati kawan-kawanku yang mengirim naskah pengalamannya dalam bertarung dengan si monster akhir bulan—tanggal tua. Betapa kemelaratan juga bisa terdefinisikan dalam berbagai versi. Hal-hal yang menurutku lumrah dan biasa saja, ternyata bisa menimbulkan keluh-kesah bagi sebagian di antaranya. Dan bukan tidak mungkin, pengalaman seru-haru yang kutulis ini juga tak mencapai seujung kuku sekalipun bagi derita sebagian yang lainnya.

Aku memang sudah tidak pernah lagi merasakan masa-masa perih itu. Kalaupun kini aku pernah kelaparan, itu bukan karena aku tak punya rupiah untuk ditukar dengan panganan, lebih karena sifat malasku yang tak terkalahkan meski cacing di perut sudah mengadakan demo besar-besaran. Namun bagaimanapun waktu berliku, berlalu, masa itu akan tetap melekat erat dalam kotak di dalam otak yang sudah kukunci dengan baik agar terekam jelas selamanya. Saat di mana realita menginjak telak di ulu hatiku. Aku tersadar.

Aku sadar bahwa pada Februari 2012 lalu itu, pantulanku dalam cermin tak lagi merefleksikan sosok gadis kecil berkuncir kuda dengan poni menyamping, juga bukan remaja berjilbab dengan seragam putih abu-abu. Aku adalah gadis yang sedang berproses menjadi perempuan, aku adalah wanita. Terlihat aneh memang, tapi hal tersebut memang sengaja kuanalogikan, bahwa “wanita” adalah masa transisi dari seorang “gadis” yang ingin menjadi “perempuan”. Bahwa ketika aku telah menahbiskan diri untuk menjadi seorang wanita, maka sebaik-baik manusia yang bisa dijadikan sandaran untuk menjadi orang yang bisa diandalkan adalah diriku sendiri.

Pada Februari itu, pikiranku mulai menguak lebar untuk menebus semua dosa masa lalu pada diriku sendiri; aku benci telah membuat diriku pernah ada dalam posisi kelaparan! Namun kembali kupertegas, kebencian itu tak lantas membuatku ingin melesakkannya jauh ke dasar memori. Justru aku memilih untuk tetap membiarkannya ada di permukaan pikirku, menohoknya dengan balasan-balasan setimpal bahwa kini aku berhasil mengalahkannya; SANG MONSTER AKHIR BULAN!

Pernah membayangkan ada seorang anak yang notabene bukan berasal dari keluarga ekonomi bawah (alhamdulillah, meski belum kaya tapi keluargaku cukup terbilang masih beruntung dari segi finansial. Masih bisa makan sepuas hati—di rumah—meski hanya dengan lauk sekelas tempe dan teri), harus bertahan hidup di perantauan hanya dengan bekal sesapan kecap selama tiga hari berturut-turut? (ya, hanya tiga hari. Karena pada hari ke empat, aku mendapati jatuhan pepaya di pekarangan kost yang akhirnya kumakan meski sebagiannya sudah koyak dan menjadi konsumsi serangga). Bukan lagi terbayangkan buatku, karena justru aku yang mengalaminya sendiri.

Masih terekam jelas bagaimana ketika si Monster kep*r*t itu memecundangiku, membuat air di mataku menitik satu-satu saat dengan kepayahan berusaha menyugesti alam bawah sadar, bahwa lelehan kecap yang susah payah kukorek dari sisa botolnya bisa dijadikan andalan untuk meredam emosi para cacing, untuk tidak berbalik mengonsumsi lambungku hanya karena tak kusediakan jatah makan.

Bukan salah Ibu-Bapak jika aku harus bertarung dengan tanggal tua, yang akhirnya—pernah—berhasil mengalahkan dan menempatkanku pada posisi miris seperti yang kukisahkan, pernah membuatku minum dari air keran selama berhari-hari karena tak memiliki satu sen pun untuk kubelikan air mineral. Semua salahku sendiri yang terlalu boros, menggampangkan uang hanya karena aku merasa bahwa kini aku menjadi satu-satunya tanggungan orangtua, melupakan adikku yang meski sudah bekerja dan kala itu menunda kuliahnya namun juga masih jauh dari kata mapan, meminggirkan biaya yang harus ditanggung orangtuaku untuk Uwak (kakak dari bapakku) yang tak beranak-suami dan kala itu diberi cobaan dengan kanker lidah (yang akhirnya menjadi jembatan beliau menuju surga—aamiin), dan melupakan lambung-lambung dalam balutan tubuh ringkih kedua orangtuaku yang berusia di atas 50 tahun, namun masih harus bekerja keras memenuhi segala macam tuntutan ketidaktahuan diri dari anak yang sudah sepantasnya mulai berproses menjadi “perempuan”, namun terlalu lena di posisi “gadis”. Aku lupa bahwa dunia tak selamanya bisa memaklumi kemasabodoan dan kemalasan yang kumiliki.

Dan kini kukatakan, bahwa segala kekalahan yang pernah kudulang saat bertarung dengan si Monster akhir bulan yang terakhir kali kurasakan lebih dari dua tahun lalu itu, adalah murni salahku.

Aku memiliki satu kebiasaan buruk, mengikuti hasrat hati saat kondisinya sedang porak-poranda. Alih-alih mengadu pada Tuhan untuk mendapat ketentraman, aku justru menggunakan isi dalam dompetku yang pada masa itu volumenya tak pernah tebal, untuk kujadikan senjata penyenang sesaat. Aku ingat, sebelum akhirnya tersadarkan diri setelah terkalahkan itu, aku baru saja mencampakkan seseorang yang kemudian kusebut “Sapi” karena dia mencampakkanku. Kekesalan yang membuatku memboros besar-besaran, menikmati me time di mall dan membeli apa pun yang kuhasrati—walau hanya sesaat.

Mungkin orang akan meneriaki bodoh karena aku tak memanfaatkan relasi persaudaraan atau pertemanan untuk meminjam uang. Haha, hei... aku adalah orang yang paling bingung bagaimana caranya jika harus diminta meminjam uang. Semenjak aku di pesantren dulu, tak sekalipun aku pernah mengandalkan uang selain kiriman dari orangtuaku. Sementara di lain sisi, orangtuaku bukan typikal pemanja yang royal pemakluman. Jika aku tak bisa me-manage keuanganku dengan baik, maka aku harus menanggung segala resikonya hingga tiba masa jatah kiriman di periode selanjutnya. Dan untuk insiden sesapan kecap itu, aku memang sengaja tidak menceritakannya, bahkan hingga detik diketiknya tulisan ini, karena aku tak punya alibi apa pun untuk kujadikan alasan atas lenyapnya jatah uang jajanku dalam waktu yang singkat, padat, dan tak jelas itu.

Setelah bertahan dengan sesapan kecap dan tegukan air keran, bertepatan dengan liburan semester kuliah. Ibuku mengirimkan uang untuk bekalku mudik ke kampung halaman. Dari sanalah mata, hati, dan pikiranku terbuka; inilah saatnya aku harus mulai berproses menjadi seorang perempuan. Menjadikan tumit kakiku sendiri sebagai pijakan kuat untuk melangkah. Aku melihat bagaimana kepayahannya dua sosok renta itu mengurusi Uwak dengan biaya waktu, tenaga, dan uang yang tak sedikit. Aku mulai dirasuki malu jika harus terus menjadi benalu, padahal tepat di Februari dua tahun lalu itu usiaku menjejak pada bilangan kepala dua. Lebih merasa pecundang lagi saat ibuku yang terpusing-pusing mencari uang untuk bekalku kembali ke perantauan, akhirnya membatalkan pinjaman dari Bibi setelah adikku—orang yang harusnya kuberikan contoh baik—mengirim sebagian uang gajinya untuk modal hidup si pecundang semacamku.

Namun tak akan ada aku yang sekarang, yang bisa menjadi andalan dari segi finansial bagi orangtua dan saudara, yang bisa bukan hanya membiayai kebutuhan hidup dan kuliahku selama di rantau, namun untuk adikku juga. Tak ada aku yang sekarang, yang kurasa telah cukup berhasil mengalahkan kepongahan si Tanggal Tua, jika tak pernah ada Tanggal Tua yang mengalahkan dan berhasil menjatuhkanku hingga titik nadir.

Kala itu, sesampainya di Jogja, aku langsung berusaha keras untuk bangkit bekerja cerdas. Menyadari keterbatasan egoku yang merasa cukup sulit untuk menerima perintah dari telunjuk selain milikku, maka opsi menjadi pegawai part time pun tak menarik minatku sama sekali. Satu-satunya harapan; aku harus berwirausaha.

Allah Mahabaik melancarkan niatanku. Sepulang kuliah saat memutuskan untuk mengambil jalan memutar menuju kostan, aku melihat peluang bisnis pertamaku. Bisnis yang langsung sukses dan berhasil menuai keuntungan bersih (di luar modal tenaga) sebesar 700 ribu perminggu. Nominal yang terbilang sangat besar bagiku kala itu. Sebuah penghasilan yang berhasil membuat ibuku mengucurkan puluhan kata syukur di balik horn ponsel saat kukisahkan kisahku, mengubah keluhan ibu dan lenguhan napas lelah bapakku menjadi kata-kata semangat agar aku bisa terus berhasil dengan jalanku.

Well, saat itu aku bisnis menjual buku-buku di bazar lewat facebook. Bazar yang diadakan selama 2 pekan di gedung yang bersebelahan dengan kampusku itu menjadi awal keberanianku dalam berbisnis dengan modal NOL rupiah, yang kuandalkan benar-benar hanya otak dan ototku dalam bertarung mengalahkan si Tanggal Tua. Kucatat semua buku yang ada di stand termurah, untuk kemudian kupasarkan di facebook pribadiku dengan sistem paketan dan gratis ongkos kirim. Margin keuntungan yang kuperoleh lumayan besar, karena aku sangat meminimalisir modal uang. Kubeli buku di bazar itu hanya jika sudah ada customer-ku yang benar-benar fix mau membeli dengan bukti menransfer dananya. Kubawa berkantung-kantung besar buku-buku itu dari tempat bazar ke kamar kostku yang jaraknya hampir satu kilo hanya dengan berjalan kaki.

Dari bisnis pertama itu, ide bisnis lain hilir mudik saling menghampiri. Mulai dari berjualan batik bola yang perolehan keuntungannya sama memukau juga, meski aku pernah dibuat menangis sendirian di bangku pinggir jalan Malioboro saat “ditipu” oleh suplyer pertamaku, meski aku pernah dibuatnya beberapa kali berjalan kaki dari kostku di daerah UIN ke Maliboro atau sebaliknya, yang jaraknya puluhan kilo meter hanya demi menghemat ongkos busway yang jika kulihat sekarang sangat tak seberapa.

Tapi harus kuakui, jika saat itu segala penghasilanku hanya bisa memenuhi kebutuhan pribadiku saja, belum bisa dengan leluasa kucicipkan juga untuk orangtua dan sodara. Dan ide bisnis baru pun melintasi pikiranku pada 27 Mei dua tahun lalu; aku ingin membuka usaha jasa penerbitan buku indie. Ide bisnis yang langsung kurintis perealisasiannya di keesokan harinya dengan nama Harfeey yang kupilih sebagai brand, sebuah nama yang merupakan singkatan dari nama ibu-bapakku.

Bersama Harfeey, aku berhasil membeli mimpi-mimpiku, aku bisa mewujudkan mimpi-mimpi orangtua dan sodaraku, bahkan aku mampu menyambut tanggal tua dengan tawa yang mengejeknya; aku bukan lagi sasaran tepat untuk kau siksa!


Takkan cukup hanya dengan beberapa halaman untuk mengisahkan kejatuhanku dalam usaha untuk memenangkan pertarungan, hingga akhirnya bisa berdiri meski belum terlalu kokoh. Namun satu hal yang ingin kuberitahu, bahwa aku bisa berada di sini bukan dengan cara yang instan. Ada banyak bekas luka yang menjadi bukti proses pendewasaan yang berhasil kuraih dengan gadaian cucuran peluh dan air mata.

1 Tanggapan:

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis