Jumat, 07 Maret 2014

Reupreupan

Aku sedang malas berdialog, biar kukisahkan kisahku delapan tahun lalu ini lewat paparan narasi saja. Kisah yang meski sudah berbilang tahun lamanya, tapi masih tetap sukses membuatku merasa heran luar biasa. Mungkin karena ini adalah pengalaman horor dan mistis pertama yang kejadiannya paling runut—tiga hari berturut-turut.
Saat itu aku kelas 8 SMP, sekitar tahun 2006. Kejadian menyeramkan ini terjadi berawal dari insiden kecelakaan maut yang merenggut nyawa salah satu kawan SD yang juga merangkap kawan SMP-ku. Kakinya terlindas mobil pick up, dan kepalanya hancur tergilas mobil pengangkut minyak pertamina saat motor yang ditumpangi bersama ayahnya selepas mudik Lebaran itu tersenggol oleh pengendara lain, kemudian oleng dan membuat mereka terjatuh di jalan raya yang padat merayap.
Entah berapa kali aku menceritakan kisah ini pada teman-temanku, mencoba memberi keyakinan bahwa saat itu aku sama sekali tidak sedang bermimpi. Ini nyata, aku yakin, aku merasakan “keberadaannya”.
Aku dan dia bisa dibilang bukan teman dekat, meski kami sudah 8 tahun berteman sejak kelas 1 SD hingga berakhir di kelas 8 SMP. Namun sejak SD, dia terbilang cukup “memujaku”. Setiap kali menulis biodata di buku teman-teman untuk kenangan, dia kerap menulis bahwa teman terbaik yang paling disukainya adalah aku. Dan salah satu kejadian terakhir semasa hidupnya yang paling kuingat adalah saat hari Jum’at menjelang bulan puasa Ramadhan, satu bulan sebelum kematiannya.
Saat itu aku dan teman-teman dekatku yang sudah bersama sejak SD, tengah duduk-duduk di salah satu saung pinggir kali. Rutinitas yang kerap kami lakukan sepulang sekolah, sekadar untuk mengobrol dan melepas penat karena perjalanan menuju rumah cukup jauh ditempuh dengan hanya berjalan kaki.
Waktu itu aku sedang memetik bunga-bunga yang tumbuh cantik di sekitar pinggir kali yang tertata rapi dengan permadani rumput hijaunya, sementara “dia” sedang duduk diayunan, dan teman-teman lain mengobrol di saung. Pinggiran kali ini memang bukan kali biasa, tapi bisa disebut taman bermain warga. Reward dari perda sebab desaku telah terpilih sebagai desa teladan. Selain taman, perlengkapan bermain anak, juga disediakan kanopi di kalinya untuk berkeliling sepanjang desa.
Iseng aku bertanya padanya, apakah dia akan turut serta dalam program pesantren kilat yang dicanangkan sekolah pada Ramadhan besok. Dia yang kala itu mengenakan kemeja putih, jilbab putih, dan celana krem—karena setiap hari Jum’at di sekolahku diwajibkan untuk memakai busana muslim—, menjawab dengan masih berayun-ayun di ayunan yang menggantung di bawah pohon mangga besar. Katanya, dia akan ikut kalau aku juga ikut.
            Sore itu, salah seorang teman dekatku datang ke rumah dengan tergopoh-gopoh. Dia memanggil-manggil namaku. Aku yang baru bangun tidur pun menghampirinya dengan enggan. Mata yang masih ingin erat mengatup, akhirnya terbelalak sempurna saat temanku itu memberitakan kabar jika “dia” telah meninggal dunia saat dalam perjalanan kembali menuju desa kami, selepas mudik Lebaran di kampung halaman orangtuanya di Cirebon.
            Lama aku terdiam dan menganggap ini semua hanya mimpi atau lelucon yang sama sekali tidak lucu. Entah kenapa aku sering memikirkannya meski berulang kali kutepis dan berusaha keras mengalihkannya dengan memikirkan hal lain. Namun ternyata, pikiran tentangnya merasuk hingga ke alam bawah sadarku, hingga akhirnya dia kembali untuk “mengajakku”. Dia mau “pergi” hanya jika aku bersamanya.

            Malam itu aku tidur di kamarku. Memiliki ranjang yang luas membuatku lebih nyaman tidur dengan posisi vertikal. Saat itu, tiba-tiba aku terbangun dengan posisi badan menghadap ke kanan. Wajahku tepat menghadap ke arah lemari tua berukuran besar yang memiliki cermin dari ujung atas hingga ujung bawahnya. Dari dalam cermin itu, aku bisa melihat jelas pantulan wajahku. Mataku melotot, dengan mulut yang mengatup kuat. Posisi kedua tanganku menyilang di depan dada hingga ke punggung, seperti mengunci tubuhku sendiri.
            Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan “jeratan” itu agar tubuhku bisa terbebas, tapi sekeras itu juga “dia” berusaha untuk tetap “memelukku” agar bersamanya. Hingga akhirnya aku semakin lelah, berteriak pun tak bisa sama sekali. Aku nyaris putus asa, sebelum kemudian satu cara kutempuh agar aku tak benar-benar diam hingga akhirnya berakibat dia bisa dengan mudah menyeretku bersamanya.
            Kutatap pantulan wajahku di depan cermin, masih dengan posisi meringkuk dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Kutarik ujung-ujung bibirku hingga membentuk simetris. Aku tersenyum. Aku terus tersenyum. Karena hanya hal itu yang bisa kulakukan setelah lelah melakukan perlawanan. Yang penting aku masih melakukan gerakan dan tidak diam sama sekali. Entah kenapa saat itu aku berkeyakinan jika aku benar-benar diam dan pasrah, maka aku akan dengan mudah diseret olehnya.
            Entah berapa lama aku berada dalam kondisi seperti itu, hingga akhirnya satu hentakan dari dalam diriku membuatku terbangun dengan buliran keringat besar-besar. Mungkin benar ini hanya mimpi, mungkin benar aku terserang sleep paralysis, tapi satu keanehan muncul dan membuatku yakin bahwa yang baru saja terjadi padaku bukan sekadar bunga tidur biasa. Aku terbangun dengan posisi tubuh meringkuk menghadap cermin, dengan kedua tangan menyilang di depan dada hingga punggung.
            Paginya, aku belum menceritakan hal itu pada siapa pun. Entah, aku merasa dia memintaku untuk merahasiakannya. Hingga tibalah malam kedua setelah kejadian itu, aku kembali tidur dengan posisi vertikal, seperti biasanya.
            Lagi-lagi dia mendatangiku, kali ini aku melawan dengan lebih beringas. Aku berteriak memanggil ibuku yang di dalam mimpi itu tengah sholat bersama puluhan wanita lainnya di sebuah tanggul, hanya dengan beralaskan undakan tanah merah, dengan mengenakan mukena putih bersih. Aku terus memanggil, namun suaraku tak ada yang terhantarkan angin, kembali berpulang dan menggaung di dalam relung-relung perut.
Hingga akhirnya aku terbangun, dengan posisi yang lagi-lagi sama persis seperti di dalam mimpiku. Menghadap ke tembok putih, yang jika ditarik lurus aku menghadap ke arah di mana ibuku sedang tertidur pulas di ruang keluarga depan TV. Kisah mistis di malam kedua ini masih belum berani kuceritakan kepada siapa-siapa, selain karena aku yang terus berusaha meyakinkan diriku bahwa ini semua hanyalah mimpi biasa. Logikaku bisa menerima, namun tidak dengan hati kecilku
            Malam ketiga, aku kembali tidur di kamarku yang berada di rumah bagian depan dekat ruang tamu, seorang diri. Entah kenapa setiap kali menonton film horor, aku kerap mengumpat dan menganggap bodoh kebiasaan pemerannya yang terus memilih untuk tidur sendirian padahal kerap dihantui. Tapi entah atas dasar apa, aku pun merasakan hal yang sama. Aku masih tetap memilih untuk tidur sendiri meski ketakutan untuk “didatangi” lagi olehnya masih terus menggagah luar biasa.
           Malam ketiga itu, aku mengubah posisi tidurku dengan horizontal, posisi tidur orang pada umumnya. Berharap dengan suasan baru itu, “dia” tak lagi berusaha untuk mengajakku. Namun harapanku tak berbalas. Dia kembali datang dan menampakkan wujudnya.
            Aku dan dia berjalan di trotoar yang entah letaknya ada di alamat mana. Yang kuingat, dia memakai pakaian yang sama persis seperti saat berdialog denganku di ayunan taman itu. Busana yang serba putih. Dia mengajakku untuk ikut bersamanya. Dalam mimpi itu, aku sadar betul kalau dia sudah meninggal. Jelas aku menolak dengan rasa takut yang berusaha kuredam keras. Aku justru menawarkan dia untuk mengajak salah satu kawan kami SD-SMP saja, kawan yang cukup tidak kusukai. Tapi dia menolak, katanya dia hanya ingin denganku. Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat, hingga akhirnya satu suara membangunkanku dengan napas ngos-ngosan.
            Ada seseorang yang dari suaranya adalah salah satu teman dekatku—yang juga teman SD-SMP aku dan “dia”—memanggil namaku dari balik jendela kamar. Aku yakin betul suara itu nyata, bahkan aku terbangun karena mendengar suaranya.
            Aku menyahut panggilannya dengan satu kata, “Ya!” yang kuucapakan refleks dengan napas yang masih memburu. Aku mengira itu sudah shubuh, karena hari Minggu pagi memang teman-temanku kerap menjemputku di rumah untuk pergi olahraga lari ke bendungan.
            Kuraih handphone yang kuletakkan di atas tape di samping tempat tidurku, dengan maksud untuk melihat jam. Karena jika belum shubuh, ibuku tidak akan mengizinkanku pergi olahraga. Seperti ditampar jantungku saat jam analog di HP menampilakan angka 00 yang hanya lebih beberapa menit saja. Tubuhku kian menggigil dingin dengan keringat yang semakin menderas, kutup wajahku dengan selimut dan bantal saat aku menyadari bahwa ini bukan Minggu pagi, tapi malam Jum’at.
Paginya, aku menceritakan pengalamanku yang tiga malam berturut-turut selalu “didatangi untuk diajak” oleh “dia” itu pada ibuku. Menurut Ibu, “dia” butuh kiriman doa dariku. Dan sepertinya memang benar, setelah aku mengirimkan surat Yaasiin khusus untuknya, malam-malamku selama delapan tahun terakhir ini tak pernah lagi dikacaukan oleh paksaan ajakannya.
Aku menuliskan kisah ini di siang bolong. Sengaja, agar ketakutan tak begitu mengontaminasi diriku, agar tak ada sugesti yang akhirnya membawa “dia” untuk kembali masuk dan merasuk untuk mengacaukan malam-malamku. Namun baru saja, saat akan mengakhiri tulisan ini, sekujur tubuhku diserang rasa merinding yang tak biasa. Aku kembali takut menghadapi malam....

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis