Kamis, 19 Desember 2013

Cerpen: Kerdus Merah

Kerdus Merah
Boneka Lilin
            “Perlu lu tau,” aku menjambak rambutnya dari belakang. Rambut berwarna coklat tua yang sering dikoarnya jauh lebih baik kibasannya dibanding kibaran kerudung merahku. “Gue pake kerudung bukan sebagai pengakuan diri kalo gue udah jadi cewek SEMPURNA!” teriakku geram tepat di cuping telinganya yang bertindik tiga.
            “Aaarg, haaah... cewek gila! Saiko!” aaagh!” Dia mengerang, terus menyeracau tak jelas. Aku puas, sangat puas. Puas luar biasa. Tangannya menggapai-gapai, memukul-mukul tanganku agar lepas dari pagutan pada rambutnya.
            “Dengerin gue, Sialan! Sekarang waktunya gue yang ngebacot, dan lu mingkem! Masih kurang aja lu, hah, dari dulu selalu grusuhin hidup gue?! Gantian, BOSS!” kujengkut kepalanya dengan frontal, wanita binal yang menyebalkan itu kembali menyalak-nyalak. “Huahaha, gue puas banget! Puas bisa punya kesempatan buat nyumpal bacotan busuk lu!”
            “Aaa... hikhiks, lu bener-bener... SAKIT! Sakit jiwa! Aaargh!”
(
            “Pake kerudung cuma buat buat nutupin kebusukan. Apa namanya kalo bukan KERDUS! Hahaha, kerudung dusta!” Lagi-lagi dia—sosok menyebalkan dengan tumit berjinjit dan gincu merah terang itu—menghujat kerudung merah yang sejak awal kuliah sudah bertengger di kepalaku.
            “Masih mending kayak kit, dong! Gak munafik. Sok mau keliatan alim, padahal...” temannya yang berambut ikal melirik sinis saat aku tepat lewat di depan bangku yang ditempati gengnya.
            Sekuat tenaga aku berusaha untuk menulikan sistem indera pendengar, mengebaskan sistem indera perasa, menganggap cibiran mereka layaknya gonggongan anjing gila yang tak pantas dapatkan respon. Meski hatiku tetap sulit memungkiri, bahwa ada segumpal dendam yang tertanam di kedalaman sana.
(
            “Gue pake kerudung bukan karena gue mau keliatan sok alim! Tapi karena gue sayang sama bokap gue!” napasku menderu setelah menampar wajah culas dan menyebalkan itu dengan ayunan medium. Dia menjerit-jerit dengan frekuensi lebih, aku tetap abai.
            Kurampas tas yang sedari tadi kuat digenggamnya. Tas mahal dengan merk Prada itu kuobrak-abrik isinya. Benar saja, seperangkat alat lenong lantas silih berjejalan keluar. Kuambil lipstik berwarna merah terang kepunyaannya.
            “Lu selalu ngehina penampilan gue, lu selalu ngritik dandanan gue, kerudung merah gue! Sekarang gue pengen kasih liat sama lu, sekalian gue praktekin karena gue gak cuma pinter bacot kayak lu, gimana penampilan yang COCOK buat cewek iblis macam lu!”
            Dia kian meronta saat lipstik merah itu kupoleskan serampangan di bibirnya, lalu di lingkaran matanya, di pipinya. Dia menatapku penuh kebencian yang kubalas dengan sorot penuh kemenangan.
            “Tunggu pembalesan gue! Tunggu pembalesan gue buat lu, KERDUS MERAH!” dia berteriak sambil meraung tak jelas. Aku terbahak puas.
            “Gak ada pembalasan untuk pembalasan, Bego! Lu yang duluan ngusik gue, dan ini secuil balasannya! Hahaha...”
(
            “Woy, KERDUS! Minggir, dong! Lu kira ini kantin punya Embah Moyang lu!” si gincu merah mendorong tubuhku dengan cukup keras, es teh yang kupegang menyiprat ke sepatunya.

            “Eh, sialan nih anak. Cari perkara ngotorin sepatu malah gue!” aku mengerang saat jari-jemari lentiknya menjambak belakang jilbabku.

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis