Jumat, 19 Juli 2013

Buah Pembangkangan di Pagi Idul Adha

Air di mataku seolah telah membeku terlebih dulu, sebelum ia sempat menggenangi pipi tirusku yang tak lagi semulus kemarin. Segala teriak kesah yang ingin kugenderangkan, terbekap khidmat dan hanya kembali berpulang dan menggaung di dalam relung-relung perut. Aku tidak boleh menangis. Aku pantang mengeluh. Ini salahku. Sebuah kesalahan yang akan memberi kontribusi besar dalam keberlangsungan hidupku.

Butuh keberanian besar yang kupupuk sekian hari pasca insiden itu, hingga akhirnya aku berhasil menekadbulatkan hati untuk berani berhadapan langsung dengan satu benda yang paling kuhindari belakangan ini; cermin.

Aku mengatupkan erat kedua mataku yang kian sayu, membeliak-beliakkan bolanya dengan posisi kelopak yang belum terbuka sempurna. Bismillah... perlahan aku membuka mata, dan penyambutan dari sesosok wajah penuh luka cukup sukses menimbulkan jerit yang tercekat di tenggorokan. Sosok yang tak lagi rupawan itu, harus kuterima dengan lapang sebagai refleksi dari diriku kini, dan selamanya. Itu aku.

Tak ada teriakan histeris, saat kudapati paras yang beberapa hari kemarin masih sangat kupuja itu kini telah berganti rupa. Hanya guliran bulir-bulir air asin yang menjadi bukti nyata bagaimana hatiku lebih merasa terluka dari borok fisik itu sendiri. Pandangan mataku seketika memburam, sama buramnya dengan pandangan akan keberlayakan hidup dalam melakoni masa-masa awal keremajaanku mendatang. 

Tuhan, kenapa harus aku? Berkali-kali kugaungkan satu tanya itu di bilik hatiku yang kian terasa sempit, bahkan untuk sekadar menghela napas pun begitu kepayahan.

Sebuah tragedi yang sebelumnya kerap kupikir hanya terjadi pada tayangan-tayangan terkonsep di balik layar virtual itu, atau bahkan bila memang sejatinya terjadi di alam nyata, maka orang lainlah yang akan Tuhan desain untuk melakoni peranan tersebut, namun semua prasangkaku harus kutelan mentah dan bulat. Tuhan telah memilihku untuk menjadi pemeran utama dalam episode hidup yang akan berdampak pada metamorfosis besar-besaran dalam diriku sendiri. Akulah orang yang terpilih. 

Pagi itu, menjadi pagi terakhir yang menghantarkan bias senyum remajaku saat menyaksikan pantulan diri di dalam cermin pada kaca bufet di kamar. Sesosok gadis belia usia awal belasan tahun, berkuncir kuda dengan poni kecil yang menyamping, nampak manis tanpa polesan make up sedikitpun. Dia adalah aku. Yah... aku beberapa menit sebelum insiden itu.

Aku memiliki beberapa persen kadar kenarsisan diri, yang akhirnya mendorongku untuk meyakini dan mengakui bahwa aku terlahir tidak hanya dengan dibekali Tuhan oleh sebongkah otak cerdas, namun juga dilengkapi dengan seperangkat tampilan fisik yang tak bisa dibilang mengecewakan. Aku cantik. Bahkan menurut pengakuan dari banyak orang juga. Yah... setidaknya sebelum insiden itu.

Aku mendapati banyak hal menakjubkan untuk menunjang berbagai kisi-kisi yang akan turut bersamaku melarung bahtera transisi dari kekanakkan menjadi remaja. Aku bahagia dengan segala bekal yang Tuhan berikan padaku.

Dengan langkah gegas lantas aku bertolak dari rumah mengendarai sepeda mini yang baru dua bulan dibeli ibu. Mengonthelnya dengan riang menuju salah satu toko majalah di pasar yang letaknya dekat kantor kecamatan. Aku yang kala itu maniak TTS, tak bisa membendung hasratku untuk segera bermain otak dengan kolom kotak-kotak tersebut.

Genjranggg!!!
 Kesadaranku belum terkumpul penuh ketika dengan refleks aku menopang diri untuk segera bangkit setelah berguling-guling di beton jalan raya depan puskesmas kecamatan. Bahkan sebelah tanganku langsung bereaksi memungut buku TTS yang terpelanting dari keranjang sepedaku. Setelahnya, aku langsung menghampiri kerumunan orang yang tengah mengamankan kereta anginku itu. Mengabaikan rasa sakit yang mulai terasa di cuping hidung, aku bermaksud untuk segera menyambar sepeda Ibu yang kulihat rusak lampu berko depannya itu dan segera pulang. Rasa malu menjadi pusat perhatian sudah bercokol di ubun-ubunku.

Namun rasa itu harus kuredam, ketika kerumunan orang-orang tersebut melarangku untuk segera pulang. Aku masih memaksa sambil menutupi sebagian wajahku dengan tangan yang juga kian menampakkan tanda-tanda memerihkan.
“Aku nggak ‘papa. Aku mau pulang, ketemu Ibu.” Kataku memaksa.
Seorang perempuan berdaster tua menyadarkanku tentang asal muasal rasa perih yang kian merasukiku setiap detiknya. Bola mataku nyaris melompat begitu mendapati kulit mulusku kini penuh darah dan luka. Namun aku terlalu kaget untuk sekadar melibatkan airmata di dalamnya.

Puzzle-puzzle ingatan mulai kupaksa sekuat tenaga untuk tersusun dengan runut. Aku ingat, tadi aku pergi untuk membeli TTS. Ketika menyeberang jalan untuk pulang, tiba-tiba datang sepeda motor dari arah yang sama, yang konon setelahnya aku tau dikendarai oleh sepasang muda-mudi di bawah pengaruh alkohol, dan tanpa menyisakan jeda untuk terkejut langsung menghantam paha kiriku yang saat itu tengah dalam posisi berbelok hendak menyeberangi jalan raya. Mereka berdua punya andil besar mengubah jalan hidupku.

Aku terus mencoba untuk tidak menyalahkan nasib atau siapa pun, termasuk si penabrak yang sempat buron dan akhirnya tetap saja tidak bertanggungjawab, atas segala luka yang membekas tidak hanya pada jasad, tapi juga hatiku. Aku menyalahkan diriku sendiri sebagai biang keladi di balik semua insiden memilukan ini. Kejadian yang selama dua tahun pertama berhasil mengubah aku yang ceria menjadi gadis pemurung dan menjaga jarak dari pergaulan.

Di pagi yang masih berembun itu, pada 10 Januari 2006, untuk ke sekian kalinya ibu menarik selimutku dan memaksa agar aku segera membersihkan diri untuk kemudian bergegas membaurkan diri bersama para jemaah, yang sudah bersiap menanti waktu shalat Ied di mushola yang jaraknya tak lebih dari sepuluh langkah dari pintu rumahku. 

Namun aku membangkang dengan pura-pura menulikan sistem indera pendengarku. Masih terus menuruti nafsu perbudakan syetan untuk bergumul di balik hangatnya tempat tidurku. Ibu pun menyerah dengan marah.

Aku ingat, sebelum kejadian nahas itu akhirnya menerjangku, ada banyak pertanda yang digamblangkan Tuhan dengan jelas.

Sebelum pergi, aku sempat duduk sebentar di kursi ruang keluarga. Ketika melihat sebuah almanak yang terbuat dari kertas karton tergeletak di meja, tanpa perasaan apa pun kulilitkan pada tangan kiriku. Hatiku menggumam, mungkin begini kakunya tangan orang yang harus memakai gips karena patah tulang. Hingga tak dinyana, beberapa waktu kemudian justru paha kananku yang terkena hantaman besi bermotor itulah yang Tuhan tunjuk untuk merasakan sakitnya.

Ketika mengeluarkan sepeda dari rumah, sempat terbersit pikiran bagaimana jika nanti keranjang sepedaku rusak dan harus diganti seperti milik temanku yang justru menjadi tidak matching dengan bentuk sepedanya. Hingga akhirnya Tuhan mengamini dan menjadikan keranjang sepeda baru itu ringsek tak beraturan.

Di pertigaan gang kecil, aku sempat hampir bertabrakan dengan bapak tua yang juga mengendarai sepeda tepat di pengkolan. Beruntung aku bisa berkelit, namun aku tak memiliki keberuntungan ganda untuk kembali berkelit saat motor dengan kecepatan tinggi itu membenturkan diri pada tubuh kecilku.

Aku tau, tak ada hal sekecil apa pun yang Tuhan gariskan untuk ternilai percuma, termasuk dengan duka yang menoreh hatiku di pagi Idul Adha itu. Duka atas buah pembangkangan fatalku pada perintah Ibu. 

Seiring perubahan fisikku yang tak lagi cantik, aku bertekad untuk menebus semua kesalahan dan kian mempercantik tampilan pribadiku.

Aku yang dulunya kerap tanpa perasaan menghina kekurangan fisik teman sekelasku—meski niatnya bergurau, kini mulai bisa lebih mengembalikan lagi posisi itu pada diriku terlebih dahulu, hingga tak memunculkan sedikitpun keinginan untuk sekadar membuat lelucon dari kekurangan orang lain.

Aku yang dulunya typikal gadis supel namun terlampau pemilih dalam berteman dan hanya menerima rekruitmen kawan yang satu kasta denganku, anak OSIS, pramuka, dan paskibra yang kala itu cukup populer di sekolah. Namun kini justru merentang tangan untuk bergumul bersama sosok-sosok marginal, yang setelahnya aku tau malah lebih loyal dari teman-teman satu kastaku dulu.

Ada banyak hal yang berhasil mengubah tatanan hatiku pada undakan ranah yang jauh lebih baik. Aku mengenal Tuhan justru setelah Dia menyentilku di usia muda.

*Muhasabah diri, mengenang kelalaian di masa lalu

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis