Rabu, 10 Juli 2013

Pijar Heroik; Just for My Mom


Jika bapak adalah typikal orang yang kerap mencari-cari kesalahanku, ibu justru sebaliknya. Dia selalu menyembunyikan kesalahanku, juga anak-anaknya yang lain, bahkan tak jarang menjatuhkan kesalahan itu pada dirinya sendiri. Hanya agar anak-anaknya, terutama aku si biang onar, tidak mendapat amukan bapak. Ibu rela berlumur lumpur, hanya demi melindungiku agar tetap terlihat bersih di mata yang lain.

Jika bapak adalah sosok yang disiplin dan keras, maka ibu adalah penyeimbang yang mampu mendekati dari hati. Ketenangan yang mendamaikan. Ibu melengkapi bapak yang sulit mengkomunikasikan diri secara verbal, bahkan tak jarang ibu kerap bertindak sebagai penyambung lidah antara bapak dengan ketujuh anaknya, terutama aku.

Duapuluh tahun sudah ragaku terpatrikan nyawa untuk turut meramaikan dunia dalam melarung hidup. Namun selama kurun waktu itu, percaya atau tidak, aku baru “saling mengenal” dengan ibuku beberapa tahun belakangan ini. Lalu dengan bapak? Mungkin... belum.


Ke mana saja aku selama bertahun-tahun lalu itu, hingga sulit menjamah dan terjamah sosok yang setengah mati memperjuangkan hidupku? Aku ada, selalu di rumah, namun bagai tiada. Sudut hatiku memang sulit terusik dan menerima orang lain untuk kupercaya. Terlampau skeptis? Mungkin juga.

Sejak kecil, aku membentengi diriku untuk menjadi sosok pemberontak. Ibuku kerap membentak bahwa aku selalu menyusahkannya dari kecil, begitu juga dengan bapak dan kelima kakakku yang terkesan menganggap bahwa aku ini benalu. Aku semakin benci dan menutup diri dari mereka. Mungkin hal itu juga yang akhirnya berimbas hingga kini, aku tidak juga memiliki kedekatan emosional dengan saudaraku. Namun meski begitu, rasa sayangku pada mereka tak perlu disangsikan lagi.

Jika aku coba untuk mengingat, sepertinya awal kedekatanku dengan ibu adalah saat untuk pertama kalinya aku harus pergi dari rumah. Beberapa pekan setelah menanggalkan seragam putih biru, bapak “mengusirku” untuk melanjutkan studi di penjara suci. Aku sempat berontak, namun akhirnya tak punya daya juga setelah sekolah dan mondok di rumah jadi opsi kedua yang ditawarkan. Saat itu, aku sudah sangat tidak betah menempati bangunan yang menorehkan banyak sejarah sepanjang riwayat hidupku.

Sejak itu, aku merasa ibu mulai bisa “membaca” karakterku. Ketika sebelumnya ibu kerap terpancing emosi oleh sikapku, yang sekarang kusadari sebagai bentuk protes karena aku merasa kekurangan belai dan perhatian orangtua dan kakak-kakakku, yang kala itu hanya fokus pada adik laki-laki yang lahir satu setengah tahun setelahku, kini ibu jauh lebih bisa menyentuh sisi sensitifku dalam berkomunikasi; hati.
            
Aku menikmati perubahan itu, meski di usiaku yang tidak lagi dikatakan kanak-kanak, justru aku baru merasakan dekat dengan perempuan yang dulunya sering diam-diam kucap jahat dan pilih kasih. Berbagai persepsi negatif tentang ibu selalu mendominasi otak kecilku.

Tentang ibu yang selalu tidur memunggungiku, sementara adik yang usianya tidak terpaut jauh dariku selalu mendapat belaian pengantar tidur. Pun juga ibu yang selalu memberikan uang saku Rp500,- pada adikku saat kami masih sama-sama belum memasuki usia sekolah, sementara aku harus puas hanya melihatnya dengan tatapan iri dan benci dari sorot mata kecilku. Tentang ibu yang dengan senang hati memasakkan telur ceplok kesukaan adikku, sementara aku kepayahan menelan tempe goreng di mulut kecilku yang kumakan dengan penuh kedengkian.

Dan perlakuan macam itu terus berlanjut hingga aku memasuki usia SMP. Bukan hanya ibu, pengistimewaan terhadap adikku itu pun diberlakukan oleh bapak dan kakak-kakakku. Aku tau, kehadirannya di dunia memang sangat dinantikan sebagai pelengkap dari keluarga yang didominasi oleh kaum perempuan. Tapi pikiran kecilku tetap memberontak dan merasa bahwa perlakuan itu tidak adil. Aku sama kecilnya dengan adikku. Kelahirannya setelahku tidak lantas bisa dijadikan alasan kalau aku harus tumbuh dewasa lebih cepat dari usiaku.

Dari berbagai pemberontakkan yang kulakukan, sepertinya sisi keibuan ibuku yang akhirnya mendorong ia untuk mendekatiku dan memahamiku dengan cara yang berbeda. Aku mulai terbuka. Satu dua kata tidak lagi kujadikan suguhan utama saat berbincang dengan ibu. Bahkan kini ratusan kalimat bisa meluncur dari bibirku dalam satu kesempatan bertukar kisah. Aku menemukan kenyamanan yang sedari kecil kucari. Aku mendapat kebutuhan rohani yang dulu tergadaikan karena status yang menjeratku sebagai seorang kakak terlalu dini.

Semenjak aku jauh untuk menimba kucuran ilmu di tanah rantau pada kali pertamanya, banyak hal yang terjadi, meski tidak serta merta, dan akhirnya berhasil menuntunku untuk menyelesaikan puzzle hidupku selama ini. Segala keping kekurangan yang kurasa hilang, perlahan bisa kutemukan untuk kemudian kupasang menyempurnakan susunan puzzle hidupku yang tak kunjung sempurna. Aku tau, ibuku berjuang keras untuk bisa mengimbangiku. Meredam emosinya agar aku tak lagi jadi gadis kecil pemberontak, yang bahkan berteriak garang saja tak terbersit rasa takut akan kutukan yang mungkin meluncur dari lisan orangtuaku.

Meski hingga kini masih belum bisa dekat dengan bapak, namun keberadaan ibu menjadi penyemangat tersendiri bagiku untuk selalu tersenyum semangat kala melangkahkan kaki-kaki kecilku menuju rumah untuk pulang.

Dari sekian banyak coretan merah dalam hidupku, berimbas besar pada kepercayaan orang lain terhadap kesuksesan di masaku mendatang. Meski terlahir dengan kondisi psikologis yang kurasa penuh tekanan, namun tak menyumbat otakku untuk tetap melejitkan cerlang kecerdasan. Meski sebenarnya aku kerap jenuh dengan prestasi-prestasi yang kuraih, karena selama itu, toh, tidak memberi dampak apa pun dalam hidupku. Tetap adikku yang dibanggakan. Tetap adikku yang bapak beri hadiah, meski ia hanya sekali-sekali memperoleh prestasi akademik, yang itu pun masih berada di bawah tingkatan prestasiku.

Namun sosok heroik ibu hadir untuk memberi pengakuan pada dunia bahwa aku pun terlahir istimewa. Tuhan tidak menciptakanku dengan kesiaan, yang hanya berlakon sebagai pelengkap atas kesuksesan orang lain. Dan itu juga yang sepertinya kini diyakini betul oleh ibuku. Meski banyak ceracau yang meragukan akan kesuksesanku, anak nakalnya yang pembangkang, namun ibu tetap dengan bangga mengamini setiap mimpi-mimpi yang kututurkan dalam jejak-jejak kaki yang terus kuayun menuju jalan itu; kesuksesan.

Aku tau, berbagai harapan yang ibu kumandangkan itu bukan sekedar yel-yel tim penggembira tanpa makna. Aku tau, meski mereka yang lain meremehkan, tapi satu suara yang hanya boleh untuk kudengarkan sebagai pedoman dan pelecut semangat; suara ibu. Aku tau, meski tak pernah memaksa, namun ibu ingin agar aku bisa membuktikan pada mereka, orang-orang yang memandangku sebelah mata pun tidak, bahwa aku bisa dan mampu menjadikan harapan ibu untuk nyata.

Segala asa yang tercurah, sedang kuusahakan dengan sangat untuk bisa sedikit demi sedikit mengangkatnya ke permukaan. Menjadikan nyata apa yang dulunya terkesan mustahil dapat dilakukan oleh anak pemalas sepertiku. Aku ingin membuat satu orang berbangga atas kebergunaan hidupku, dialah ibu. Karena bagiku, kebanggaan dari ibu sudah mewakili dunia. Ketika ibu bangga, maka orang-orang di sekelilingnya pun akan tertular virus itu, orang di sekeliling orang itu pun akan tertular virus serupa, dan begitu seterusnya.

Ibuku menjadi pijar yang menerangi kesuksesanku yang kerap meredup di mata dunia. Ibu berhasil mendidikku dengan ketegasan yang tidak mengeraskan, hingga tidak berdampak pada patahnya semangatku untuk bermimpi. Segala apa yang terjadi dengan hidupku kini, yang kerap menuai decak bangga dari mereka yang menyaksikan, adalah imbas dari keyakinan ibu tentang kemampuanku untuk melejitkan cerlang kebintangan.

Ibu adalah inspirasi tanpa batas. Sosok yang nampak biasa, namun faktanya sangat luar dari sekedar biasa. Sorot matanya teduh dengan beliak bola yang kian mengabu dikikis waktu. Kerentaan fisik tidak lantas membuatnya bermanja dengan berbagai penyakit ketuaan yang kian menggerogoti tubuh ringkihnya. Ibu tetap kuat bertarung dengan terik sinar matahari, menggadaikan peluhnya demi bulir-bulir nasi yang kadang begitu malas-malasan untuk kutelan. Sekarung padi, beras, maupun rumput untuk pakan ternak, tetap mampu ditopangnya sendirian, meski dengan jelas kerap kulihat tubuhnya berontak karena beban yang ditimpa tidak sepadan dengan kemampuannya.

Ibu tetap sama, akan selalu sama. Begitu, apa adanya. Tetap gemar menyediakan sarapan pagi bagiku, meski tak pernah menyediakan untuk dirinya sendiri. Tetap sering berpura-pura kenyang atau tak doyan, hanya agar aku dapat menyantap panganan hingga kenyang. Tetap berkebiasaan mengumpulkan plastik dan karet gelang, yang entah mengapa kini menular padaku.

Ibu istimewa dengan segala kebiasaannya.

2 Tanggapan:

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis