Rabu, 10 Juli 2013

Kepada, Ayah...

Ayah tak pernah mau mengerti kenapa aku selalu menjadi pembangkang. Ayah tak pernah punya peduli kenapa aku sulit menjadi anak baik seperti anak-anak Ayah kebanyakan. Aku jauh dari kata anak ideal bagi Ayah. Benar begitu, bukan?

Ayah tau? Aku selalu merasa jatuh di hadapan Ayah. Segala hal yang aku lakukan tak pernah bisa menciptakan cerlang di sorot mata Ayah yang tajam. Apa aku tak pernah (lagi) membanggakan?

“Contoh adik kamu!”

Demi Tuhan, harga diriku terasa amat jatuh ketika itu. Kubayangkan betapa kerdil dan tanpa artinya aku, hingga pada adik pun aku disuruh mencontoh, bukan lagi memberi contoh. Juga ketika Ayah dengan tanpa perasaannya menyuruhku mendengarkan ceramah di TV tentang anak pembangkang, yang padahal ketika itu seluruh anggota keluarga sedang berkumpul. Aku hanya bisa diam sejenak, menelan perihku bulat-bulat sebelum akhirnya melenggang gegas menuju kamar dan mengumpat bersama deraian tangis di balik bantal.


Ayah, tolong beritahu aku, sejak kapan dan karena apa kita mulai memiliki jarak? Sebuah jarak yang akhirnya perlahan membentuk bentengnya sendiri, untuk saling membatasi. Hal itu yang menyebabkan aku tak pernah bisa merasa nyaman berada berdua saja dengan Ayah dalam satu ruangan, dan begitu juga yang Ayah rasakan, bukan?

“Coba kamu kalo deket Bapakmu langsung gelendotan di bahunya,” begitu saran konyol teman di pondokku dulu sesaat sebelum waktu tidur. Dia yang notabene-nya sangat dekat dengan sang Ayah, merasa heran begitu tau aku dan Ayah bagai dua kutub magnet yang saling tolak-menolak.

Ayah pasti tau, aku tidak akan pernah dengan lancang berani melakukan hal itu. Karena kita berbeda, karena kita “jauh”.

Ayah, begitu sedikit kisah manis yang terlalui dengan menjadikan kita berdua sebagai pemeran utama. Sebagian besar hidupku dilewati dengan hanya mengenalmu sebagai sosok yang keras, tegas, dan tak terbantahkan. Namun bukan berarti tak pernah ada.

Masih tercetak jelas pada otak di balik tempurung kepalaku yang lebih sering bodoh, ketika itu usiaku sekitar lima tahun. Dengan mengenakan sarung lengkap dengan baju kok, peci, dan sorban, Ayah yang baru pulang dari musholla selepas sholat ashar, menghampiri aku kecil yang nampak sibuk dengan buku di pangkuanku.

Ayah berdiri di samping kursi tamu yang kududuki, lalu bertanya apa yang sedang aku lakukan. Aku menjawab dengan ekspresi serius dan tetap sibuk membolak-balikkan halaman buku penjaskes milik kakak-kakakku demi mencari gambar manusia. Ya, saat itu aku sangat hobi mewarnai baju-baju pada gambar orang yang ada di buku pelajaran kakak-kakakku. Ayah merengkuh kepalaku dengan gemas, lalu mencium pipiku dengan sayang.

Ayah tau? Itu kecupan pertama dan terakhir yang ku ingat. Dan aku masih hafal mati, perlakuan sayang Ayah itu berhasil memunculkan semburat merah nan hangat di kedua pipiku. Aku memang merasa seperti kehilangan Ayah sejak kecil, peranku sebagai anak seolah hanya sekadar layak untuk ditempatkan pada posisi figuran. Aku melewati masa kanak-kanak di balik bayang-bayang kebahagiaan adik yang lahir satu tahun lebih setelahku. Aku kehilangan banyak hal karena Ayah dan yang lain terlalu sibuk untuk menyenangkan dia, lalu dengan mudahnya “memaksaku” untuk bisa berdiri tegap dengan segudang pemakluman sebagai seorang kakak yang nyatanya kuemban terlalu dini.

Aku tak pernah tau kenapa kita seperti memiliki sekat yang begitu tebal, aku sulit untuk menjamah Ayah dan itu berlaku untuk sebaliknya. Seolah ada energi negatif yang memerintah kita untuk saling tolak-menolak.

Aku tak pernah meragukan kedahsyatan Ayah dalam beribadah, atau kegigihan Ayah untuk memenangi pertarungan hidup demi bulir-bulir nasi yang sering kali kutelan enggan. Namun sepertinya Ayah lupa, segala contoh dan nasehat yang Ayah berikan tak akan pernah bisa diterima dengan baik jika Ayah tidak menyampaikannya dengan cara yang baik.

Aku bukan anak baik, dan aku tidak akan pernah bisa terbentuk menjadi baik dengan bentakkan dan tekanan. Aku lelah jika Ayah mulai selalu menyudutkan. Ayah selalu berhasil membuatku merasa menjadi seorang anak yang gagal. Mungkin Ayah tidak tau, bahwa di luar sana sangat banyak orangtua yang mendambakan anak sepertiku. Begitu kupikir ketika melihat Ayah yang tak pernah bereaksi akan berbagai prestasi yang berhasil kucetak.

Setelah 15 tahun lalu, saat untuk pertama kalinya aku menerima raport dan Ayah menyambut teriakan kecilku yang memamerkan angka tiga pada kolom peringkat kelas dengan senyuman bangga. Karena memang itu merupakan suatu kebanggaan, aku yang tak mengenyam pendidikan TK bisa menyingkirkan puluhan sainganku yang nyaris seluruhnya merasakan pendidikan formal pra SD.

Ketika itu, Ayah yang memang pekerja keras dan tak pernah bisa terlihat diam, tengah mencangkul di halaman belakang rumah untuk ditanami umbi-umbian. Ayah memuji-mujiku sambil melihat kolaborasi nilai cantik yang menghiasi laporan tingkat kecerdasanku dalam menyerap pembelajaran. Aku merasa ketika itu Ayah sangat bangga padaku, benar begitu? Namun pada tahun berikutnya dan setelahnya lagi, semua kembali sunyi.

Aku tak lagi menjadi gadis kecil Ayah yang masih layak untuk dibanggakan. Ya, karena pada tahun setelahnya, adikku mulai masuk sekolah dan lagi-lagi kembali menggeser posisiku. Meski adik hanya mendapat rangking di atas lima, sementara aku sudah berhasil membobol peringkat dua di SD dan bahkan peringkat pertama di MD, namun hal itu menjadi biasa-biasa saja pada akhirnya.

Apa Ayah masih mau peduli jika ku katakan saat itu aku kecewa? Saat Ayah dengan tanpa merasa bersalahnya menjanjikan untuk memberi adik hadiah jika rankingnya bagus, dan kemudian tepat di hadapanku Ayah memberinya uang Rp5.000,-, nominal yang tak bisa dibilang kecil bagi anak seusiaku kala itu. Kenapa Ayah tidak bisa berlaku adil? Terlebih ranking yang kudapat masih jauh lebih baik di atas adikku, namun nyatanya aku tak cukup pantas untuk memperoleh ganjaran yang menggiurkan itu.

Bahkan ketika aku berhasil menjadi juara pertama lomba sinopsis antar SD sekabupaten, Ayah tetap bergeming. Sementara dari cerita temanku, dia yang juga menjuarai lomba siswi teladan diberi kecupan sayang dan ucapan selamat dari Ayahnya. Aku kembali menelan ludah, jelas Ayah tak mungkin melakukan itu.

Atau ketika SMP saat aku berhasil lulus Ujian Nasional bidang studi Bahasa Indonesia dengan nilai sempurna, 10. Tak ada reaksi apa pun dari Ayah.

Dan puncaknya, ketika sebagian besar orangtua lain rela merogoh kocek dalam-dalam lewat “jalur belakang” hanya agar putra-putrinya bisa mendapatkan fasilitas pendidikan yang eksklusif bertaraf internasional itu, Ayah justru memaksaku untuk mencampakkan berlian itu.

“Emangnya cuma dia aja yang mau sekolah!”

Begitu, kan, kata Ayah? Aku tau prestasiku yang terpilih sebagai peringkat ketiga dengan hasil test kecerdasan superior hingga akhirnya bersama 50 siswa terpilih lainnya bisa mengenyam pendidikan dengan fasilitas yang lebih lux, berhasil mengalahkan 5.000-an peserta lain dari seluruh negeri, nyatanya kalah dengan materi. Kecerdasanku tak cukup menjadi alasan Ayah untuk mau menggelontorkan SPP dua kali lipat dibanding kelas reguler, tempat anak-anak “biasa”, yang akhirnya ku tempati juga karena Ayah.

Tak bisa lagi terbilang jari berapa kali kita kerap berselisih paham. Satu hari di sore yang kelam, Ibu pernah mendampratku yang katanya memalingkan wajah saat bertemu Ayah di jalan. Ketika aku mencoba membela diri, suara Ayah menyahut dari dalam mushola rumah dengan cukup keras. Ayah mematahkan segala alasan yang ingin kulontarkan. Dan akhirnya aku lelah, kembali aku dipaksa menjadi seorang pemberontak yang tak pernah diizinkan untuk membela diri. Kembali aku dipaksa untuk menelan persepsi kebenaranku secara bulat-bulat.

Namun sekarang, aku ingin Ayah tau –walau aku yakin kecil kemungkinan Ayah untuk membaca tulisan ini-, ketika itu aku yang masih berseragam putih biru, tengah dalam perjalanan pulang bersama teman-temanku kemudian bertemu Ayah. Yang Ayah artikan palingan wajahku yang juga berusaha mengalihkan perhatian teman-temanku itu dikarenakan aku malu pada mereka karena aku memiliki Ayah sepertimu, yang kemudian Ayah tempatkan aku pada posisi seolah Malin Kundang masa kini. Itu salah, Ayah. Itu tidak benar.

Beberapa menit sebelum Ayah melintas dengan sepeda tua, seorang Ayah dari temanku melintas dengan motornya dan aku mengompori teman-teman untuk meledeknya dengan maksud bercanda jika dia adalah anak Papi yang dijemput Ayahnya. Dan ketika tak lama kemudian Ayah melintas juga, jelas aku malu. Tapi bukan malu seperti yang Ayah tafsirkan, bukan seperti itu. Aku malu karena baru saja mengolok-olok temanku, dan kini Ayah juga muncul dengan kesan seolah ingin menjemputku juga. Maka dari itu aku mengalihkan perhatian teman-temanku dengan cara menunjuk sesuatu agar mereka tak melihat Ayah dan tak mengolok-olokku. Mana ku tau jika akhirnya itu memiliki artian lain di pandangan Ayah yang memang sangat jarang positif terhadapku.

Namun kuanggap semua itu hanyalah masa lalu. Aku tak pernah benar-benar membenci Ayah meski hingga sebelum usia 20 tahunku yang lalu tetap merasa diperlakukan beda. Kini aku berusaha keras untuk bisa menjadi anak Ayah yang dapat diandalkan, meski belum bisa membanggakan. Aku akan masuk dalam barisan pekerja keras, sama seperti sodaraku yang lain, yang jika ingin mendapatkan sesuatu maka aku harus menggapainya dari usahaku sendiri. Aku selalu menanamkan pada diri akan prinsip tersirat dari didikan Ayah, “Kerja keras adalah bagian dari kehormatan.”

Kini tak lagi kudapatkan dengusan lelah napas Ayah yang menjadi backsound dari suara Ibu yang sama kepayahannya di ujung horn ponsel, setiap kali aku menelepon dari rantau. Tak lagi kulihat raut wajah masam Ayah tiap kali langkah-langkah kaki kecilku menjejakkan diri untuk pulang. Aku sedikit yakin kini aku tak lagi menjadi benalu yang memberatkan beban di pundak Ayah yang tak lagi sekukuh dulu. Aku bahagia, kini Ayah dan Ibu bisa sedikit mengandalkanku setiap ada kebutuhan dari segi finansial.

Kini gadis kecil pembangkangmu telah tumbuh menjadi wanita dewasa. Segala yang telah dan akan kupersembahkan pada Ayah dan Ibu sebenarnya bukanlah pemberian dalam artian sebenarnya, namun anggaplah itu sebagai sebuah cicilan hutang yang bahkan hingga seumur hidup pun tak akan pernah mampu untuk kulunasi.

Terimakasih, Ayah, Ibu, untuk perjuangan demi keberlayakan hidupku. Terimakasih untuk 3 mata air yang kerap terkucur karenaku; darah, peluh, dan airmata. Terimakasih telah ikhlas menerima takdir bahwa aku tercipta lewat perantaramu.

8 Tanggapan:

  1. Ya Allah Mbak, terharu aku mbacanya :(

    BalasHapus
  2. :)) Orat-oretan curhat "anak kecil", hehe. Makasih udah mampir, ya.

    BalasHapus
  3. Yayaya, sungguh terharu :'(
    Walaupun aku deket banget sama Ayah, tapi terbayang lah gimana kalo aku ada di posisi seperti itu.

    BalasHapus
  4. Satu kalimaat; Gak enak!
    Hihi, saya dan ayah saya sepertinya cuma sama-sama bingung.

    BalasHapus
  5. Oh maaaan, aku berkali-kali nahan napas. Menyentuh, sungguh! :')

    BalasHapus
  6. Pas nulis, aku malah sambil beruraian airmata dan ingus. Hiks.

    BalasHapus
  7. Maasyaa Allaah, jempol. Terharu bacanya Dek

    BalasHapus

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis