Minggu, 16 Juni 2013

Doa Malam Ini (Lagi; Pembelajaran dari Hidup)

08-04-2013

Kemarin malam saya pergi ke Giant dekat kost untuk membeli es krim, biskuit kentang, dan buah pear. Makanan wajib untuk menemani begadang panjang.

Di kasir, seorang Ibu berjilbab lebar ditemani suami dan putrinya yang juga mengenakan jilbab lebar, terlihat sedang berdebat dengan si kasir. Mbak kasir terlihat gugup dan serba salah, karena memang apa yang dilakukannya selalu dikomentari pedas oleh ibu itu, setiap mbak kasir memberi klarifikasi, si ibu akan langsung memotong ucapannya.
"Gak butuh, gak butuh. Saya gak butuh. Kenapa dari awal gak di-pas-in aja empat ratus ribu! Kan saya sudah bilang, pas-in aja biar saya enak bayarnya seratus, seratus, seratus, seratus. Ini malah ada recehan."
"Awalnya sudah pas tiga ratus ribu, Bu. Tapi terus Ibu tambah pond's, bla bla bla..." si kasir melakukan pembelaan.
"Halah. Ya tinggal bilang saya biar di-pas-in. Yang butuh itu, kan, penjual. Saya pembeli, sih, gak butuh!"



Duar!
Sebagai pendengar yang kebetulan antri di samping ibu rewel itu, saya jadi terbawa emosi juga. Awal melihat sudah sedikit merasa "gerah" dengan tingkah ibu ini yang menurut saya berlebihan dan sok, tapi pas denger kata terakhirnya tadi, saya makin emosi. Sebagai orang yang bisa dibilang bergerak dalam usaha perniagaan juga, saya sangat membenci istilah "pembeli adalah raja", karena bagi saya pembeli dan penjual itu partner yang sejajar, sama-sama saling membutuhkan. Penjual butuh uang, pembeli butuh barang/jasa. Apalagi komplain ibu ini sangat menjengkelkan, cuma karena dia akan MENERIMA KEMBALIAN UANG RECEH lantas misuh-misuh, seolah uang receh itu virus ganas yang bisa menjatuhkan kastanya.

"Ini kembaliannya, Bu. Terimakasih." Kata mbak kasir menyerahkan uang kembalian dengan beberapa receh bertumpuk di atas uang puluhan ribu. "Dapat kupon undian berhadiah--" omongan kasir masih menggantung sebelum akhirnya dipotong dengan angkuh lagi oleh ibu itu.
"Gak butuh, gak butuh. Saya gak butuh." Ibu itu meletakkan kupon undian di meja kasir, lalu sibuk memasukkan uang kembalian yang katanya tadi tidak dibutuhkan itu ke dalam tas mahalnya.

Sekilas ekor matanya melirik pada lembar kupon undian itu, saya berpikir sepertinya si ibu itu mulai tertarik dengan kupon tersebut dan menyesal telah mengatakan tidak butuh. Semakin kuat dugaan saya ketika tangannya meraih kembali kertas kupon undian itu, tapi ternyata dugaan saya salah... ... ... ... dia menyerahkan kupon undian berhadiah itu pada saya, dengan ekspresi datar dan tanpa ucapan apa pun.

Refleks saya menyambut uluran tangan ibu itu walau dengan sedikit mengernyitkan dahi dan tampang heran 80%. Apa penampilan saya terlihat seperti orang yang "lebih membutuhkan"? Kalo dilihat dari style saya saat ke toserba itu, bisa jadi iya. Dengan piyama kebesaran yang dirangkap jaket jeans, sendal jepit "bata" yang juga sama kebesarannya, dan jilbab pashmina yang dipake asal. Terlebih belanjaan saya cuma seperempat keranjang kecil, sementara ibu itu satu trolly nyaris penuh.
Saya menunjukkan wajah bingung ketika sudah di hadapan mbak kasir, dia pun membalas dengan senyuman dan air muka yang seolah mengatakan "Iya, Mbak. Ibu itu, kok, gitu banget, ya? :'(", sebelum akhirnya dia curhat ngeluh sama teman sesama kasirnya.

Setelah selesai membayar belanjaan saya dengan tanpa hambatan, saya segera melenggang keluar sambil terus terheran-heran dengan sikap "ajaib" ibu tadi. Di samping giant ada seorang bapak yang menjual mainan "klotokan" di depan sebuah rumah makan elite. Meski terkena gerimis dan dicueki oleh orang-orang yang hanya numpang lewat di depan gundukan dagangannya, bapak itu terlihat pantang menyerah. Dia terus membunyikan klotokan mainan itu untuk menarik minat paling tidak seorang saja membeli dagangannya. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah sepuluh malam, dan bisa jadi belum ada satu pun mainan tradisionalnya itu yang terjual.

Seketika saya teringat dengan ibu tadi, membandingkan betapa ironisnya hidup dia dengan penjual mainan ini. Seandainya mereka bisa saling berkoalisi, pasti hidup bisa lebih mudah dan tak ada jiwa-jiwa yang merasa tersakiti hatinya. Si ibu yang merasa tidak membutuhkan uang receh di bawah seratus ribu, bisa memberikan uang yang tidak dibutuhkannya itu pada si bapak penjual untuk kemudian ditukar dengan mainan klotokannya. Jika mainan itu pun tidak dia butuhkan, ibu itu bisa membagikannya pada anak-anak yang banyak ditemui di lampu merah atau panti asuhan sekalian, saya yakin pasti ibu itu tidak akan berani dengan lancangnya mengatakan kalau dia tidak butuh dengan pahala dari Tuhan.

"Satunya berapa, Pak?" Penjual di lapak majalah dekat situ menoleh heran, tukang parkir menatap bingung, orang yang lalu lalang memicingkan mata dan mengernyit dahi.
"Sepuluh ribu." Kata bapak penjual yang sempat terlihat sama herannya juga.
"Beli satu." Saya menyerahkan uang, kemudian memilih satu mainan klotokan itu. Saya tau harganya kemahalan untuk ukuran mainan yang sangat sederhana, tapi saya tidak berniat untuk menawarnya. Karena meski dipandang sebagai "orang yang lebih membutuhkan" oleh si ibu tadi, tapi saya masih merasa bahwa bapak penjual itu jauh lebih membutuhkan dari saya yang tidak harus bekerja sebegitunya hanya demi beberapa gemericik uang receh. Kemungkinan ada banyak perut-perut di rumah yang berharap besar si bapak bisa membawa sesuatu untuk pulang. Sesuatu yang oleh sebagian orang malah dianggap tidak berarti, tidak dibutuhkan.

Saya kembali melanjutkan perjalanan, melewati tatapan-tatapan heran orang-orang. Meski ukuran tubuh saya kecil, tapi logikanya untuk apa saya membeli mainan anak kecil itu? Saya cengengesan samar sambil mengeratkan jaket demi menghalau dinginnya malam. Terlintas Dek Una --keponakannya Dudull-- sebagai anak yang akan saya hadiahi mainan ini. Sambil dalam hati berharap semoga saya menang undian yang kuponnya dapat hibah dari ibu tadi. Bismillah, mobil.

2 Tanggapan:

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis