Rabu, 26 Juni 2013

Aku Jatuh untuk Bangun

23-11-2012

Ketika menjejakkan kaki tepat pada angka usia kepala dua, dengan tegas naluriku bergumam, “Selamat datang, tanggungjawab dan kerja keras”.

Aku tidak terlahir dari keluarga yang sangat berkekurangan, sehingga keadaan mendesakku untuk dewasa lebih dini dalam memikirkan perihal apa yang bisa kumakan besok. Namun aku terdidik oleh keluarga yang beranggapan bahwa kerja keras dan kemandirian adalah bagian dari kehormatan. Hidupku adalah tanggung jawabku sendiri, bukan tanggungjawab orangtua atau siapa pun.

Tekad itu semakin bulat, ketika pada bulan yang sama, aku yang merupakan mahasiswi rantau di Yogyakarta tengah menikmati masa liburan di rumah, menyaksikan langsung bagaimana terpusing-pusingnya ibuku (typikal orang kampung yang tidak pernah memiliki uang tunai karena mereka biasa menginvestasikan rizky berupa tanah atau sawah) harus mencari dana yang tidak bisa dikatakan sedikit untuk bekalku kembali ke perantauan dan membayar kost serta daftar ulang kuliah.

Aku menangis di kamar begitu menyadari bahwa di usia yang tak lagi terkatakan kanak-kanak ini, aku masih saja menjadi “benalu” bagi orangtuaku yang renta. Lebih sesak dan serasa ditampar lagi ketika akhirnya ibu membatalkan pinjaman dari tante karena adikku yang memang sudah bekerja mengirimkan sejumlah uang, cukup untuk ongkos dan bekal segala keperluanku menuju Jogja. Di mana harga diriku? Bahkan orang yang terlahir setelahku saja bisa lebih berguna bagi orangtua untuk meringankan beban mereka yang ditimbulkan olehku.

Pikiranku kalut, hal itu sampai terbawa ketika aku kembali ke Jogja. Akhirnya aku bisa berpikir lebih jernih dan cukup berhasil melihat peluang bisnis. Berhubung aku tergolong orang yang enggan disuruh, maka kuputuskan untuk berwirausaha.
 
Awalnya aku menjual buku-buku yang kupasarkan lewat media online facebook, sambutan cukup antusias karena selain harga murah + gratis ongkir, teman-teman facebook-ku pun mayoritas adalah para penulis yang tentunya juga meminati buku bacaan. Tidak lama kemudian, aku juga berjualan baju batik bola, sambutan yang kuterima juga sama antusiasnya karena memang di daerah lain belum ada.
Namun lama kelamaan aku merasa jenuh dan lelah karena waktuku habis tersita hanya untuk itu. Aku kuliah dari pagi hingga kadang menjelang sore. Selepas kuliah, aku yang berdomisili di sekitar kampus UIN harus segera meluncur ke kawasan Malioboro untuk membeli barang-barang orderan. Aku ke sana menggunakan sepeda yang kubeli dari hasil usahaku. Pulang ke kost sudah menjelang malam, aku langsung membungkus semua barang untuk dipaketkan, lalu kembali pergi menuju kantor pos kopma yang buka hingga malam untuk mengirimkannya. Tidak jarang aku membungkus barang-barang orderan itu di pinggir jalan Malioboro karena merasa berat jika harus dibawa pulang, sehingga kuputuskan untuk sekalian mengirimnya di kantor pos besar.

Oleh sebab itu, meski hasil yang diperoleh cukup untuk menanggung segala biaya hidupku di perantauan, akhirnya aku memutuskan untuk berwirausaha lain, yang sekiranya tidak harus mengandalkan otot sebagai modal utama. Lahirlah Penerbit Harfeey. Sebuah penerbitan buku indie yang namanya kuambil dari singkatan nama kedua orangtuaku, Harja & Shofiyah. Menekuni bisnis ini tidak terlalu sulit bagiku yang memiliki basic sebagai penulis amatir. Aku membeli netbook sebagai modal utama awal menjalankan bisnisku. Alhamdulillah, dari bisnis yang kujalankan dengan senang hati ini, aku tidak hanya memperoleh hasil yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pribadiku saja, tapi juga orang-orang di sekelilingku yang layak mendapat bantuan. Setiap bulannya pun, aku bisa menyisihkan sekian lembar seratus ribuan untuk kukirim pada orangtuaku di kampung.

Namun segala usaha yang kurintis ini tidak terlepas dari berbagai kerikil tajam yang berhasil menjatuhkanku dan nyaris membuatku enggan bangkit. Saat menekuni bisnis jualan buku, aku pernah membeli banyak buku pesanan pembeli yang ternyata tidak pernah ditebusnya, hingga akhirnya buku-buku yang memenuhi rak itu kubagi-bagikan lewat kuis. Saat berjualan batik bola, aku merasakan bagaimana pedihnya uang senilai hampir Rp1.500.000,- milikku raib karena tertipu. Masih kuingat ketika itu aku menangis sendirian di tempat duduk pinggir jalan Malioboro sembari memeluk kantong plastik super besar berisi baju.

Dan pada usaha penerbitan ini pun, aku masih juga merasakan banyak batu sandungan yang melukaiku. Sering aku dibuat kecewa oleh pihak luar yang tak bisa diajak kerjasama dengan baik. Aku selalu berusaha keras untuk memberikan pelayanan cepat. Begadang nyaris setiap malam hanya demi terselesaikannya proses penerbitan buku. Namun pihak yang kupercaya untuk mencetak buku-bukuku kerap menyepelekan deadline yang sudah disepakati. Kemarin aku pernah menangis karena cetakan buku yang seharusnya rampung seminggu lalu, namun masih juga belum digarap sama sekali saat aku datang untuk mengambilnya. Lima hari kemudian, setelah cetakannya selesai, dibantu seorang teman dekat, aku langsung menggotong lima kardus penuh berisi buku itu ke kantor pos. Di teras pos itu aku membungkus ratusan paket buku yang sebelumnya sudah di-PO, dengan tetap berusaha melindungi buku-bukuku agar tidak terkena cipratan air dari hujan yang kala itu mengguyur dan mengabaikan tatapan aneh dari orang-orang yang ramai berlalulalang.

Banyak yang protes dan tak jarang juga bersikap anarkis dengan memaki-maki tindakanku yang kerap mempromosikan dagangan lewat postingan facebook. Aku tidak peduli, karena bukan dari mereka aku mendapat keuntungan. Segala batu sandungan yang memerihkan tidak pernah ada yang benar-benar berhasil membuatku jatuh terpuruk dan enggan bangkit. Aku percaya, untuk menyecap manis itu harus melewati rasa pahit sebagai pembanding.

2 Tanggapan:

  1. Hampir setahun lalu tulisan ini diposting, tpi masih inspiratif untuk diresapi maknanya saat ini. :) Salam kenal.

    BalasHapus
  2. Terima kasih. Salam kenal juga. *_*

    BalasHapus

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis