Minggu, 16 Juni 2013

Pesta Airmata di Malam Tahun Baru; Kehilangan Satu Orangtua

01-01-2013


Pernah kamu di hadapkan pada satu pilihan sulit, yang membuatmu benar-benar tidak bisa untuk memilih?
Namun ketika dihadapkan pada pilihan seberat apa pun, kamu mungkin tidak akan kesulitan untuk memprioritaskan Ibumu sebagai orang yang menempati prioritasmu. Tapi tidak sama halnya denganku, mungkin begitu juga dengan keenam sodaraku yang lain.
Dulu, pikiran kecilku sempat berimajinasi, jika Uwak dan Ibuku ditawan penjahat dan aku harus memilih untuk menyelamatkan salah satunya, ternyata setelah berpikir keras, aku tidak bisa menentukan pilihan.

Aku kabarkan, orangtuaku meninggal, ibuku. Orang yang tidak pernah melahirkanku, tapi merawatku bahkan sejak aku (dan sodaraku yang lain) masih berwujud bayi merah. Dia menyayangi kami, memprioritaskan kami, bahkan terkadang lebih dari ibu kami sendiri. Ketika ibuku menolak untuk memberikan sesuatu karena beberapa hal, dia akan memenuhi semua tanpa bantah. Dia memanjakan kami saat ketegasan dari orangtua kandung begitu mengekang kami.

Tadi malam, pada jam yang setelahnya aku tau merupakan jam wafat beliau, aku sempat bertanya pada teman dekatku, "Orang yang wafat dalam keadaan tidak memiliki keturunan itu bukan dikatakan meninggal, kan? Tapi punah."

Aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Tapi pembahasan itu bermula karena secara tiba-tiba aku mengingat dia, Uwakku yang selama kurang lebih dua puluh lima tahun menjanda dan tidak pernah dikarunia anak meski sudah 3 kali menikah. Setelahnya, bergulirlah kisahku tentang dia, yang mungkin entah sudah berapa kali kuceritakan. Kisah ia melakoni masa tuanya bersama kanker yang secara mengejutkan bersarang di lidahnya sejak lebih dari satu tahun lalu.

Aku ingat betul, lebih dari setahun lalu, saat aku berpamitan untuk berangkat ke Jogja, ayah dan ibuku yang memiliki kewajiban akan hidup dan mati beliau, mulai mencari tahu tentang penyakit yang semula disangka amandel itu, yang membuat lidahnya bercabang seperti lidah ular, yang membuatnya seperti memiliki dua lidah yang saling bersisian, yang membuatnya mengeluh sering merasa sakit saat menelan. Saat aku berangkat untuk kuliah di Jogja, berat badannya masih segar bugar dan gemuk seperti pembawaan normalnya. Hingga bebrapa lama kemudian, aku mendengar kabar dari ibu bahwa ternyata penyakit itu bukan sekedar amandel atau penyakit ringan lainnya yang bisa diobati dengan mudah oleh seorang tabib, Uwak terkena kanker lidah.

Berbagai upaya pengobatan sudah dilakukan. Mulai dari ramuan herbal, berobat rutin di RS Hasan Sadiqin Bandung, hingga meminta air yang didoakan oleh orang-orang alim ulama. Sekitar empat bulan aku hanya mengetahui kondisinya sekedar dari cerita ibuku yang kerap memintaku bersabar dan berhemat saat aku mulai merengek meminta uang jatah untuk bekalku yang memang sering telat dikirimkan. Ibuku sering terdengar putus asa dengan kondisi keuangan yang semakin menipis, terlebih orangtuaku hanyalah petani desa. Namun saat itu kupikir ibuku hanya melebih-lebihkan saja saat berkata kalau pengobatan Uwak butuh biaya yang sangat besar (karena tidak memiliki anak dan suami, semuanya ditanggung orangtuaku).

Namun, Alhamdulillah, saat libur semester pada bulan Januari tahun lalu, aku berkesempatan untuk pulang. Aku berkesempatan untuk melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kepayahannya ibuku yang tak lagi muda harus mengurusi Uwak. Ya Allah! Di Shubuh itu aku sampai di rumah, dan langsung menangis saat ibu menyuruhku melihat sendiri kondisi Uwak saat itu.

Kanker itu benar-benar telah mematikan harapannya sebagai orang yang (katakanlah) hidup sebatang kara, untuk meninggal tanpa proses yang menyusahkan orang lain. Aku ingat betul, dia yang memang pembawaannya hobi bercerita, sering menuturkan akan hal itu. Saat hidup, dia selalu direpotkan oleh orang lain, dia ringan tangan dan selalu membantu siapa pun, terlebih keluargaku. Sejak kakak2ku kecil, bahkan hingga mereka memiliki anak, Uwak yang selalu mengurusnya, membantu ibuku dengan maksimal. Seluruh kakakku yang melahirkan, pasti akan dirawat olehnya. Dia mengerjakan semua, mulai dari mencuci, merawat, dan melakukan hal remeh temeh lainnya. Bahkan dia rela menginap di rumah kakak2ku hingga sekiranya mereka sudah cukup kuat untuk ditinggal sendiri. Meski tidak pernah diberi kesempatan untuk melahirkan dan punya anak sendiri, namun dia ahli dalam mengurus bayi lebih dari yang lainnya.

Aku ingat saat keponakanku yang terakhir lahir bulan Desember tahun lalu. Saat dia telah terbaring menahan kesakitan dari virus yang menggerogotinya. Dia bercerita padaku tentang penyesalannya yang tidak bisa mengunjungi kakakku di Tangerang sana, dan tidak bisa membantu merawat bayi kakak. Dia memikirkan betapa kerepotannya ibuku sendirian merawat mereka. Ya Allah, bahkan saat dalam keadaan sakit pun dia masih memikirkan kami.

Aku menangis saat melihat tubuh super kurus yang tidak kukenali sebelumnya. Allah, bahkan Uwak saat itu terlihat jauh lebih kurus dari aku. Berat badannya yang semula kuprediksi sekitar di atas 60 Kg, tiba-tiba merosot drastis setelah melakukan kemotherapy. Entah menjadi berapa, mungkin beratnya saat itu hanya sekitar 20 kg. Dia tampak terbaring lemah dengan tangan yang sekurus ranting pohon kering. Entah hilang sejak kapan tubuh gemuknya. Bokongnya menjadi rata. Dan rambut yang semula panjang hingga melebihi pinggang, rontok dan menipis. Menjadikannya memiliki rambut tak ubahnya laki-laki.

Uwak ikut menangis ketika dia terbangun dan melihat aku menangis. Dia bertanya kapan aku datang dan dengan siapa, tapi aku diam saja; terlalu sibuk dengan kenyataan pahit yang kuterima. Ya Allah, aku merasa lebih sakit saat melihat kesakitan orang-orang yang kusayangi. Sebelumnya aku sudah tau dari cerita ibu kalau Uwak menjadi sangat kurus, tapi aku tidak menyangka bahwa kurusnya bisa sedrastis itu. Tanpa ditanya, Uwak memperlihatkan pergelangan tangan kurusnya dan bercerita dengan suara yang tidak jelas. Kanker lidah membuat lidahnya membesar namun juga memendek, sehingga bicaranya seperti orang pelo. Aku bertanya apa Uwak tidak suka makan sehingga kehilangan berat sedrastis itu, dengan setengah mengeluh dia menjawab sebenarnya sangat ingin makan. Nafsu makannya bahkan terbilang besar, namun karena lidah yang membesar itu menyulitkannya untuk mengunyah dan menelan. Baru makan beberapa sendok bubur yang diberi kuah sayur saja rasanya sudah sakit luar biasa. Bahkan beberapa kali dia harus diinfus agar tidak terlalu lemah. Cara berjalannya sempoyongan, harus selalu dipapah atau merambat memegangi tembok.

Aku melihat dia yang dulu selalu hobi bercerita dan menonton TV, kini hanya melamun dan lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Dia yang biasanya selalu sholat berjamaah di mushola depan rumah, kini hanya bisa sholat sambil duduk di tempat tidur. Aku ingat jika aku sakit dulu, Uwak selalu memperlalukan aku super istimewa. Dia selalu memijatku tanpa diminta, mengipasiku, mengelap badanku yang berhari-hari tidak mandi. Aku sedih karena tidak ada yang bisa aku lakukan saat dia sakit, selain memapahnya setiap kali ke kamar mandi, karena jika dipijat, dia akan mengeluh sakit. Kulitnya yang seperti tak berdaging memang menyulitkannya. Ketika merasa pegal-pegal karena seharian harus terus terbaring pun tak ada yang bisa dilakukan untuk memulihkannya.

Setelah melihat sendiri bagaimana kondisi keluargaku di kampung, bagaimana kesulitannya ibuku mengurus Uwak dan segala biaya berobatnya yang tidak sedikit (selain ke RS Hasan Sadiqin, setiap minggunya pun Uwak berobat ke dokter daerah, dan dua minggu sekali ke tabib di daerah Cirebon). Aku mulai memutar otak untuk tidak lagi menjadi benalu bagi mereka. Dan tekad itu berhasil membuatku berpikir untuk lebih dewasa, hingga pada akhirnya aku bisa seperti sekarang ini. Sejak itu aku tidak lagi meminta kiriman uang dari orangtuaku, bahkan aku bersyukur kini bisa mengirimkan sebagian besar dari penghasilanku untuk membantu perekonomian ibu.

Beberapa bulan kemudian, aku pulang lagi ke rumah saat mendekati hari lebaran. Sebelumnya aku sudah mendengar cerita dari ibu kalau kondisi Uwak sudah semakin membaik. Sudah bisa makan dan berbicara walau tak jelas. Bukan hanya itu, uwak juga sudah bisa jalan-jalan ke luar sendiri. Aku bersyukur, paling tidak selain meringankan beban ibu, Uwak pun sekarang tidak kesepian lagi. Namun saat aku melihatnya sendiri, kemirisanku tetap kian menjadi. Kanker itu merusak dagunya. Membentuk seperti borok besar yang di dalamnya terdapat sesuatu yang seperti nanah, namun setelah membaca artikel dari salah seorang artis yang meniggal kemarin karena kanker lidah juga, aku tau kalau itu bukan nanah, tapi entah apa. Borok itu merambat dari dagu hingga nyaris ke lehernya. Aku membayangkan bagaimana sakitnya dia. Berbagai obat semacam salep dan sejenisnya tida ada yang berhasil membuat luka itu mengering dan berhenti melebar. Namun di samping itu aku senang, karena Uwak sudah bisa berjalan dan berbicara meski tak jelas dan harus berkali-kali meludah. Dia kembali bisa bercerita banyak hal padaku, jika yang lain seolah menganggap suaranya seperti radio butut yang tidak perlu untuk sungguh2 didengarkan, lain denganku. Aku mendengarkannya, aku menyimaknya meski sebenarnya aku tidak paham karena suaranya tidak jelas (pelo), untuk menyenangkannya pun kadang aku mengajukan pertanyaan2 yang kemudian dijawabnya dengan penuh semangat karena merasa omongannya diperhatikan.

Setelah lebaran aku berpamitan untuk kembali ke Jogja, Uwak masuk mendatangi kamarku dan menjejalkan uang Rp50.000,- ke tanganku. Jika biasanya aku menerima, namun saat itu aku menolak. Aku tau Uwak tidak tau kalau sejak lama aku sudah bisa mencari uang sendiri. Uwak memaksa dan berkata kalau sekarang dia hanya bisa memberi 50ribu perak, yang sebenarnya bukan nominal pemberian kecil di kalangan keluargaku, selain oleh Uwak, aku paling diberi hanya oleh kakak2 kandungku uang di atas 50ribu. Aku tau biasanya Uwak membekali uang ratusan ribu saat aku atau sodaraku yang lain pergi ke perantauan. Atau bahkan ia pernah menjual perhiasannya demi modal kakak laki-lakiku merantau. Dia juga pernah secara diam-diam memberikan uang untuk adikku beli HP, saat orangtuaku marah dan tidak mau membelikan HP yang memang adikku sering teledor jika memilikinya, hingga sering hilang. Katanya Uwak merasa kasihan melihat adikku sering melamun dan tak lagi bisa memainkan HP, yang bahkan dirinya sendiri pun tak pernah menggunakan benda semacam itu. Uang yang dihasilkannya dengan susah payah dari bekerja sebagai buruh tani, diberikannya untuk menyenangkan aku dan sodara2ku.

Sebulan lalu, ibu kembali mengabarkan kalau kondisi Uwak semakin memburuk. Tinggal menunggu harinya saja, begitu kata ibu. Uwak sudah tidak bisa sholat, ayahku selalu mengaji di depannya. Aku mulai menangis dan merasa takut untuk kehilangan. Bagaimanapun, meski dalam hati kecilku berpikiran bahwa memang kematian jauh lebih baik untuknya, dari pada bertahan hidup dengan rasa sakit dari penyakit yang sepertinya mustahil untuk bisa disembuhkan. Tapi aku belum siap untuk melepas Uwak sebelum aku bisa melakukan sesuatu yang menyenangkannya. Aku tau dia malu untuk sekedar bermimpi bisa menjejakkan hati di tanah suci, tapi aku yakin dia juga memiliki keinginan besar untuk itu. Sama besarnya dengan keinginan ibuku. Aku ingin bekerja keras dan menghasilkan uang banyak yang setidaknya cukup untuk umroh bagi ketiga orangtuaku.

Namun kini, akhirnya pagi tadi semua harapanku tentang keinginan untuk membahagiakannya harus terkubur bersama jasad kakunya yang dihantar ke liang lahat. Kakak laki-lakiku menelepon saat aku baru memasuki rumah makan bersama salah seorang temanku. Aku cukup heran karena tidak biasanya kakakku menelepon. Lalu telepon diserahkan pada ibuku, katanya ibuku ingin bicara. Aku semakin heran karena setauku kakakku tinggal di Tangerang, sementara ibu di rumah Majalengka. Ibu mengawali pembicaraan bahwa semuanya sedang berkumpul. Semua kakakku pulang dan satunya lagi sedang di perjalanan untuk pulang. Tiba-tiba aku pun merasa sangat ingin untuk pulang, karena acara berkumpul itu sangat jarang terjadi. Aku bertanya apa adikku pulang juga, ternyata tidak. Lalu setelahnya barulah aku tau apa maksud dari perkumpulan itu. Uwak sudah tidak ada, tadi malam dan pagi sudah dimakamkan. Innalillahi... susah payah aku mengucapkan satu kata itu dari tenggorokan yang sesak mencekat. Serta merta segala bayangan tentang kenangan dulu berkelebatan. Aku mulai menangis tertahan dan tidak menghiraukan tatapan heran dari orang-orang yang ada di warung makan itu. Ibu terus berbicara, membesarkan hatiku, meminta aku untuk ikhlas dan bersabar serta mendoakannya. Aku tidak menjawab, suaraku pasti akan terdengar sengau dan parau bersama airmata yang semakin menderas. Allah, ternyata begini rasanya sakit kehilangan? Aku sering membayangkannya, bagaimana jika Ayah, Ibu, Uwak, dan sodara2ku meninggal. Aku menangis kesakitan saat baru membayangkannya saja, tapi saat mengalaminya rasa sakit yang kurasakan jauh berkali lipat. Rasa sakit yang bercampur dengan kekecewaan karena keburu ditinggalkan sebelum aku bisa membanggakan.

Aku terus mengeluarkan airmata dan tak lagi berhasrat menyantap makanan di depanku. Temanku terus sibuk bertanya ada apa, tapi aku tetap bungkam. Pikiranku masih mencerna ini mimpi atau bukan. Aku berharap saat itu ada orang yang menggoyang-goyangkan tubuhku dan mengabarkan bahwa itu hanya mimpi buruk. Aku ngin ada yang bisa memastikan bahwa Uwak masih hidup dan masih memiliki seluas-luasnya waktu untuk menyenangkannya. Menebus semua dosa dan kelancanganku yang selama ini kerap melukanya, kerap tidak menghargai semua yang telah dilakukannya.

Saat menyadari kalau ini bukan mimpi, aku mulai menangis dengan terisak. Aku membekap mulut dan menutupi wajahku dari samping agar orang lain tak memerhatikanku, tapi tetap saja tidak berhasil. Aku berusaha menguatkan diri jika ini memang sebaik-baiknya keputusan yang ditakdirkan Allah untuk menyelamatkan Uwak dari deritanya. Tapi tetap sangat sulit. Aku kembali menangis dengan lebih histeris saat telah memasuki kamar kost-ku. Bayangan-bayangan tentang kebaikan dan jasanya dulu kian berkelebat. Aku belum meminta maaf atas segala rasa sakit yang sangat sering kutorehkan padanya, aku belum memberikan apa pun untuk bisa menyenangkannya. Rasanya aku ingin Tuhan memberiku waktu satu hari, atau mungkin satu jam saja, agar aku bisa memiliki kesempatan untuk melakukan itu. Padahal saat di jalan menuju warung makan itu, aku sempat melihat toko obat herbal yang ternyata juga menjual obat yang bisa mengobati kanker. Aku berniat untuk membelinya dan membawanya pulang saat libur semester besok yang tinggal sebentar lagi. Selama ini pun aku kerap membaca artikel2 tentang cara pengobatan kanker, terutama kanker lidah. Namun kini semuanya terlambat.

Aku ingat bagaimana dulu Uwak sering memberiku uang saku tambahan setiap kali aku berangkat ke sekolah dan mengaji, karena ibuku memang terbiasa memberikan uang saku yang tidak besar. Memasuki usia kelas 5 SD, Ibu sudah tidak mau lagi mencucikan baju2ku. Dan aku pun harus mencucinya sendiri. Namun Uwak sering masuk ke kamarku shubuh2, lalu bertingkah seolah akan membangunkanku untuk sholat, padahal secara diam2 dia mengambil pakaian2 kotorku yang menggantung di kapstok dan kadang berserakan di lantai kamar. Uwak akan menyembunyikannya di belakang badan, agar ayah dan ibuku tidak melihatnya. Karena jika ayah dan ibuku tau, selain Uwak yang dilarang untuk mencucikan baju2ku, aku yang akhirnya pasti akan kena marah besar. Aku ingat, saat kecil jika menangis karena dimarahi ibu, baik aku ataupun adikku akan menangis dan memanggil-manggil nama Uwak. Ibuku akan semakin marah, karena aku tau walau bagaimanapun pasti ada rasa kecemburuan dari seorang ibu saat tau kalau anak-anaknya memiliki orang yang juga dibutuhkan selain dirinya, jika sudah begitu Uwak akan datang dan sedikit mengomeli ibuku, setelahnya dia akan mengajak jajan atau memberi uang agar kami tidak menagis lagi. Setiap pagi, bahkan hingga kemarin saat aku pulang lebaran ketika kondisinya sudah dalam keadaan sakit namun sudah bisa berjalan sendiri, dia selalu membelikan ketoprak kesukaanku untuk aku sarapan. Uwak meletakkannya di kamarku shubuh2, lalu aku langsung memakannya sebelum sholat. Setelah sholat shubuh, ibu juga membelikan ketoprak untuk sarapanku, tanpa menolak aku pun memakannya lagi meski sebenarnya aku sudah kenyang. Aku hanya ingin menghargai mereka. Aku hanya ingin menunjukan, meski dia hanya Uwak (Kakak dari ayahku), tapi tak ada yang lebih prioritas antara perlakuan dan rasa kasihku antara dia dan ibu.

Mungkin orang setelahnya tau kalau yang meninggal bukanlah orangtua kandungku, mereka akan sedikit lega dan beranggapan kalu aku tidak apa-apa. Tapi ini lain, dia orangtua ketigaku. Aku dan seluruh sodaraku telah menganggapnya seperti ibu kedua. Tak ada sekat antara kami untuk menyayanginya. Saat mereka memberikan sesuatu untuk orangtua, maka mereka juga memberikan hal yang sama bagi Uwak. Mungkin rasanya akan sama sakitnya ketika suatu hari nanti aku kehilangan ibuku. Ya Allah, tolong jangan lagi. Jangan lagi. Rasanya sakit sekali. Panjangkan usia orangtuaku yang kini tersisa hanya dua orang. Panjangkan usia mereka paling tidak hingga aku bisa memberikan sesuatu yang benar-benar membanggakan. Jangan biarkan aku kembali berada dalam kondisi yang tidak menyenagkan seperti ini. Ya Allah, makbulkan.

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis