Minggu, 30 Juni 2013

Berjumpa Passion Berkat Comblangan dari Teknologi

Ketika kita melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi passion/gairah, tentu hasil yang dicapai pun akan lebih maksimal. Dan butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk bisa mencari apa sebenarnya passion saya, serta bagaimana cara untuk mewujudkan passion yang kadang kerap dianggap sebagai bentuk keidealismean berlebih oleh beberapa pihak yang kontra.

Banyak hal yang saya coba untuk lakukan sebelum akhirnya benar-benar berjodoh dengan sesuatu yang kemudian saya yakini sebagai passion hidup saya, terutama dalam berbisnis. Ketika itu, saya benar-benar yakin bahwa saya adalah orang yang amat sangat payah jika harus bekerja di bawah perintah orang lain. Terbukti dengan berbagai "prestasi" kegagalan yang saya dulang berkat ketidakberhasilan saya untuk mengizinkan ada telunjuk selain milik saya yang memerintah. Yah, selepas SMA saya memutuskan untuk rehat 1 tahun dan menunda melanjutkan kuliah, meski saat itu saya telah mengantongi 1 beasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Cirebon.


Demi mengisi keluangan waktu tersebut, saya mencoba bekerja apa pun asalkan bisa menghasilkan uang. Pertama, saya bekerja di salah satu perusahaan asing di Bandung sebagai tenaga packing barang. Pekerjaan tersebut hanya mampu bertahan hingga kali pertama saya menerima gaji, tepatnya hanya 2 minggu saya bertahan untuk bekerja di perusahaan yang konon katanya cukup ketat dalam menyeleksi pegawai itu. Hal paling utama yang melatarbelakangi keputusan saya untuk hengkang dari pekerjaan yang baru seumur jagung dijalani tersebut, karena saya merasa kurang dimanusiakan oleh sesama pegawai yang kebetulan lebih dulu bekerja di sana ketimbang saya. Sulit menerima saat barang yang telah susah payah saya packing, lantas seenaknya dilemparkan ke wajah saya karena menurutnya hasil kerja saya kurang rapi.

Selepas mengemban status sebagai mantan pegawai perusahaan tersebut, kemudian saya mencoba bekerja di perusahaan yang nyaris serupa namun kini di bidang quality control. Suasana dan lingkungan kerja yang ramah, nyaman, serta tanggungjawab kerja yang tidak terbilang berat, ternyata masih belum mampu juga membuat saya untuk sudi bertahan paling tidak hingga 1 bulan masa kerja. Well, saya kembali mengundurkan diri pada hari ke-23 saya bekerja, dengan alasan utama gaji yang kurang bisa menutupi apa yang telah saya keluarkan.

Setelah 2 kali gagal bekerja di perusahaan Bandung, lantas saya memutuskan untuk mencari peruntungan di Tangerang. Sekian belas surat lamaran saya tebar ke berbagai perusahaan, bahkan saya sampai rela naik-turun angkot, ojek, hingga bahkan berjalan kaki setiap harinya selama mencari pekerjaan dari satu temapt ke tempat lain. Namun ternyata Tuhan masih belum berkehendak jika saya harus bekerja d jalur ini, jalur sebagai pegawai. Selalu ada kendala yang saya dapatkan, mulai dari telat hadir pada interview lanjutan akibat dari miss communication, hingga tertolak dengan paksanya saya karena enggan melepas jilbab --yang dalam keseharian selalu saya pakai- agar dapat bekerja di perusahaan yang memerlukan wanita berpenampilan menarik untuk menjadi pegawainya.

Merasa cukup gagal untuk merintis karir di rantau, saya kembali ke haribaan ibu di kampung halaman Majalengka, dan terpaksa harus menerima apa pun keputusan dari ayah saya untuk keberlangsungan aktifitas hidup saya selama dalam masa penantian tahun ajaran baru perkuliahan. Akhirnya saya menuruti kemauan orangtua untuk mengisi waktu luang dengan hal yang lebih bermanfaat dibanding tidur-tiduran. Saya mula membantu mengajar anak-anak usia 5-7 tahun di TPA/TPQ milik kakek saya.

Well, setelah dijalani, pekerjaan ini terbilang tidak menyita waktu saya sama sekali, justru malah membuat saya bisa menebar manfaat untuk anak-anak didik saya. Bahkan, dengan menjalani kegiatan yang tidak sampai menyita 3 jam dari waktu yang saya miliki perharinya itu, sedikit banyak mampu menggiring saya menuju passion yang selama ini saya cari; menulis. Yah, meski menulis bukanlah hal yang baru bagi saya yang sejak SD hingga SMA sudah memiliki masing-masing satu buku berisi kumpulan puisi, kumpulan cerpen, bahkan hingga novel serial yang meski keseluruhannya hanya saya tulis tangan di buku catatan, namun kali ini saya menemukan sesuatu yang tidak hanya sekadar wadah penyaluran hobi, tapi bisa menjadi pemasukan finansial bagi saya.

Berawal dari keisengan saya membuka salah satu catatan facebook yang di-tag-kan oleh salah seorang teman, akhirnya membawa saya untuk turut keranjingan mengekor apa yang dia lakukan; mengikuti berbagai lomba kepenulisan di facebook. Berhubung ketika itu saya belum memiliki perangkat komputer jenis apa pun, lantas mau tak mau saya hanya bisa memanfaatkan cara manual; menuliskan cerita saya di buku catatan terlebih dahulu. Dan untuk menghemat biaya tarif warnet jika saya menyalin tulisannya langsung --sebab pengiriman naskah lomba melalui email ke panitia- maka saya mengetik tulisan saya tersebut di note facebook yang di-set private dengan menggunakan ponsel (jangan tanya bagaimana keramnya jemari saya), untuk kemudian barulah saya pergi ke warnet untuk meng-copy-paste-nya di microsoft words sekaligus mengatur format penulisannya, setelahnya kemudian mengirimkan naskah tersebut ke email panitia.

Semula orientasi saya dalam menekuni kegiatan yang terbilang baru tersebut bukanlah uang, melainkan just for fun, itung-itung sebagai media penawar rasa jenuh bagi saya yang memang type anak rumahan sekali jika sedang berada di kampung halaman. Namun lama kelamaan --terutama saat saya mulai memasuki tahun perkuliahan di rantau Yogyakarta- saya mulai sedikit "perhitungan" dengan hobi tersebut.

Berawal dari dorongan orangtua dan saudara-saudara yang meminta saya untuk mencari side job yang paling tidak bisa sedikit saja hasilnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan saya selama di rantau, akhirnya otak saya mulai berpikir serius tentang jenis pekerjaan apa yang sekiranya layak untuk orang dengan type seperti saya. Saran untuk melamar pekerjaan sebagai penjaga toko, penjaga warnet, dan sejenisnya, dari keluarga saya coret mentah-mentah dari daftar pekerjaan yang layak bagi saya. Sebab sudah dapat ditebak akhirnya jika saya memaksakan diri untuk bekerja di bawah perintah ketat orang lain lagi, dengan penghasilan yang menurut saya tidak pernah bisa sesuai dengan apa yang telah saya lakukan. Well, sebutlah saya adalah orang dengan tingkat kenarsisan begitu tinggi, yang kerap merasa bahwa saya --dengan segala keistimewaan bakat yang Tuhan berikan- berhak dan teramat pantas untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari apa yang bisa mereka berikan kepada saya.

Berkaca pada type saya yang sulit menerima perintah dan sulit merasa puas dengan apa yang mereka berikan sebagai bentuk penghargaan, maka saya memutuskan untuk berwirausaha. Jenis usaha pertama yang saya lakukan adalah menyewakan buku-buku koleksi saya yang saya peroleh dari hadiah lomba-lomba menulis yang telah saya ikuti. Meski tidak terbilang gagal, namun nyatanya usaha ini tidak bisa membantu banyak bagi perekonomian saya. Dan yang pasti saya belum bisa menunjukkan apa-apa untuk meyakinkan pada keluarga bahwa saya mampu menuai hasil dengan cara saya sendiri, sesuai dengan sesuatu yang saya sebut passion. Kemudian saya beralih pada jenis usaha penjualan buku-buku dan batik secara online, dengan memanfaatkan pangsa pasar facebook saya yang terbilang luas dan kemudahan dalam memperoleh barang yang saya jualkan tersebut dari kawasan pasar Malioboro dan sekitarnya di Jogja.
Dalam perjalanan menuju Kawasan Malioboro


Penghasilan saya memang terbilang cukup fantastis untuk kapasitas keluarga kami, namun lagi-lagi itu masih belum cukup menuntaskan hasrat saya yang kerap merasa bahwa saya berhak dan pasti bisa untuk memperoleh sesuatu yang lebih dari itu. Terlebih penghasilan tersebut baru mampu untuk saya gunakan dalam pemenuhan kebutuhan pribadi saja, belum bisa ikut saya cicipkan bagi keluarga dan orang lain. Selain itu, kendala dari jauhnya jarak antara pasar dan tempat kost saya yang biasanya saya tempuh hanya menggunakan sepeda onthel, juga kesulitan saya dalam mempromosikan produk saya secara rutin sebab saya saat itu saya belum memiliki komputer juga --hingga harus bolak-balik warnet atau perpustakaan kampus untuk akses komputer dan internet gratis--, menjadi beberapa alasan saya untuk kembali mencari bidang usaha lain yang benar-benar passion saya.

Dan pada akhir Mei tahun lalu, saya berhasil menemukan serpihan passion saya yang lain. Tercetuslah ide besar untuk menjadikan hobi yang selama ini digeluti sebagai lahan bisnis yang sekiranya mampu menghasilkan fee jutaan rupiah atau paling tidak setara dengan mereka yang bekerja di bawah perintah, meski pekerjaan itu hanya saya lakoni di balik balutan selimut kumal. Lahirlah usaha penerbitan buku indie Penerbit Harfeey.
Bersama sample buku terbitan Penerbit Harfeey

Harfeey (baca: Harfy) saya ambil dari singkatan nama kedua orangtua saya, dengan harapan agar usaha ini dapat mendulang berkah dan kesuksesan dari Tuhan YME. Awalnya saya tidak memberitahukan akan niatan ini pada orangtua maupun sodara-sodara saya, karena saya berjanji baru akan memberitahukannya jika saya sudah memperoleh hasil yang jelas dari usaha ini, usaha yang menurut saya terbilang sesuai dengan passion yang selama ini saya coba gali dan cari. Yah, dunia penulisan dan perbukuan adalah dunia saya, dunia yang bisa saya jalankan bahkan dengan tetap nyaman tiduran di kasur sambil mengerjakan kegiatan lain. Sebagai permulaan, saya membeli satu buah notebook yang harganya paling murah (sekitar 2 jutaan, karena saat itu saya tidak mementingkan kualitas, tapi notebook yang harganya sesuai dengan budget yang saya miliki). Akhirnya, dengan berteman notebook tersebut, saya bisa menjalankan pekerjaan yang sesuai passion saya ini, mulai dari mempromosikan paket penerbitan, memproses terbitkan naskah yang masuk, menjual buku-bukunya, mengadakan event lomba, dan lain sebagainya, yang keseluruhannya hanya saya lakukan di balik layar virtual.

Dan lihat sekarang, meski --katakanlah-- dulu saya kerap dianggap selayaknya produk gagal oleh para kerabat yang beranggapan bahwa sikap pemilih saya dalam menentukan pekerjaan yang cocok, adalah alibi dari alasan yang sebenarnya saya hanyalah malas dalam bekerja. Mereka tidak tau jika selama ini saya hanya mencoba mencari sesuatu yang benar-benar layak untuk menjadi lahan pekerjaan saya. Sesuatu yang bisa saya jalani paling tidak dengan minim atau bahkan sama sekali tanpa beban karena saya menyukainya, dan terpenting hasil yang saya peroleh bisa setimpal dengan apa yang telah saya lakukan. Kini mereka yang kemarin lalu memandang saya sebelah mata pun tidak, kini mulai menganggap keberadaan saya ada setelah saya membuktikan bahwa saya berhasil memperoleh penghasilan rata-rata Rp5.000.000,- perbulan (beberapa kali bahkan hingga mencapai 8 juta, tergantung dari keseriusan dan kerja keras saya).

Dengan hanya memanfaatkan kecanggihan teknologi, saya beberhasil membuat saya diakui keberadaannya. Saya bisa memenuhi segala kebutuhan hidup saya di perantauan, bukan hanya kebutuhan pokok saja, tapi kebutuhan untuk sekadar having fun pun bisa saya penuhi. Selain itu, saya pun bisa membantu orangtua dan sodara-sodara saya. Setiap bulannya saya --alhamdulillah-- sejauh ini masih bisa mengirimkan sebagian besar penghasilan saya untuk ortu di kampung halaman, dan sebagian besar lainnya untuk adik saya yang masih kuliah di Jakarta. Di samping itu saya pun bahagia karena kini bisa membantu orang lain dan kakak-kakak saya yang sedang dalam kesulitan finansial, bukan hanya dari doa, tapi juga secara nyata dalam wujud materi.

Meski semuanya terlihat sudah nyaris saya dapatkan dalam pemenuhan passion saya dalam bidang bisnis, namun sebenarnya belum juga. Notebook yang belum satu tahun saya gunakan ini ternyata mulai "sakit-sakitan", bahkan sejak setengah bulan setelah masa pembelian. Maklumlah hanya barang murah, jadi kualitasnya pun menyesuaikan dengan harga. Saya kerap menemui kendala besar jika saya sedang dikejar deadline banyaknya naskah yang masuk dan harus segera diproses terbitkan, sementara notebook saya error. Rasanya kesal, sedih, jengkel, bukan main. Namun untuk membeli yang baru pun saya harus pikir-pikir ulang, sebab penghasilan saya selama ini selalu saya kirimkan pada orangtua dan pada adik saya setelah menyisakan sedikit untuk keperluan pribadi dan simpanan jika untuk keperluan mencetak buku-buku yang memakan dana tidak sedikit (sebab saya belum memiliki percetakan pribadi). Terlebih dengan menggunakan netbook ini pun sering kali saya sampai beruraian airmata karena cahayanya yang tajam, dan berhubung di kamar kost saya yang hanya berukuran kurang dari 3 x 4 meter ini tidak bisa menampung seperangkat meja dan kursi, tengkuk saya pun kerap merasa sakit karena harus selalu dalam posisi tengkurap dan menunduk jika bekerja di depan notebook. Saya khawatir jika terus didiamkan dan diabaikan akan terjadi dampak yang lebih parah seperti pengapuran --naudzubillah--.

Kadang saya berkhayal seandainya saya bisa memiliki perangkat tekhnologi yang bisa saya gunakan sambil dalam kondisi tubuh apa pun, entah itu duduk, berdiri, tengkurap, ataupun terlentang. Dan ternyata produk impian saya itu kini bukan hanya ada dalam khayalan, tapi telah berwujud nyata dalam bentuk Acer Aspire P3. Perangakat yang juga disebut Hybrid Ultrabook™ karena memang sangat cocok bagi saya yang bisa menggunakannya dalam bentuk tablet layar sentuh dengan berat yang hanya 0.79 kg ini bisa saya gunakan saat tengkuk mulai lelah menunduk dan bisa saya gunakan sambil berbaring/terlentang. Dan ketika saya harus serius bekerja dalam kondisi duduk/tengkurap agar pekerjaan saya lekas selesai, saya bisa menggunakannya dalam posisi perangkat sebagai netbook. Perangkat yang hadir dalam 2 prosesor ini yakni Intel Core i3 dan Intel Core i5 yang bertenaga serta hemat energy dan dilengkapi dengan storage SSD yang memiliki kemampuan 5x lebih cepat dari HDD standard, juga dapat memudahkan saya jika ingin berhemat pulsa modem. Sebab perangkat ini bisa saya gunakan di kawasan yang mendukung wifi, karena Acer Aspire P3 ini dilengkapi dengan Acer InviLink Nplify WiFi 802.11a/b/g/n dan Bluetooth 4.0 untuk terhubung ke perangkat penunjang lain secara nirkabel.
 












Ini dia penampakan dari netbook impian saya untuk menunjang passion yang telah ditemukan. :)



Selain informasi di atas yang sangat bisa menunjang pekerjaan saya yang selama ini terkendala, ternyata layar dari Acer Aspire P3 menggunakan layar berukuran 11.6” dengan resolusi 1366×768 yang dilengkapi dengan panel IPS yang akan memberikan warna yang indah dan cemerlang seperti aslinya, serta memberikan viewing angle yang lebar hingga 178 derajat sehingga layar tetap cerah walau dilihat dari sudut manapun. Hal ini bisa sangat membantu saya agar terhindar dari pusing dan uraian airmata karena pengaruh kecerahan layar. Selain itu, layar Acer Aspire P3 mendukung 10 Point multi-touch sehingga dapat digunakan menggunakan 10 jari sekaligus dan juga terasa sangat responsive, ini akan sangat memudahkan saya jika menggunakannya dalam posisi berbaring santai atau jika sedang dalam perjalanan.

Di samping dari keuanggulan-keunggulan di atas yang bisa membantu saya saat dalam proses penggarapan naskah dan promosi via online, masih ada lagi kelebihan dari perangkat ini yang akan begitu bermanfaat bagi saya yang selama ini lebih banyak membuat design cover dengan foto yang saya ambil sendiri menggunakan kamera ponsel yang kualitas gambarnya kurang begitu bagus. Sebab Acer Aspire P3 juga telah dilengkapi dengan dua buah kamera yang ada pada bagian belakang dan depan. Kamera di bagian depan perangkat ini cukup mumpuni untuk kebutuhan video conference, kamera pada Aspire P3 ini dapat merekam sampai dengan 720p. Sementara di bagian belakang diperkuat dengan kamera  5MP yang dapat mengambil gambar dengan Jernih. Dan jika saya mengalami kejenuhan dalam bekerja, saya bisa menghibur diri dengan mendengarkan musik atau menonton video, sebab saya akan dimanjakan dengan dua buah speaker di bagian bawah perangkat ini yang telah memiliki sertifikasi Dolby® Home Theater V4 dan mampu mengadirkan suara yang jernih yang memukau.
 Acer aspire P3_6
Untuk ukuran sebuah perangkat tipis dan nyaman digunakan, Acer Aspire P3 ini menggunakan daya baterai sebesar 4800mAh yang bisa dikatakan cukup besar. Terlebih bagi saya yang kadang setiap harinya bisa menghabiskan lebih dari 3 jam dalam sekali bersitatap dengan netbook, sementara perangkat ini sendiri dengan daya baterai itu, dapat bertahan hidup selama 4 jam 17 menit untuk menonton film HD 720P dan dapat bertahan hidup selama 4 jam 8 menit untuk browsing melalui jalur data WIFI.

Acer Aspire P3 memang sangat membantu sebagai perangkat yang berperan ganda. Dan tentunya cocok untuk penyempurna seseorang dalam mencapai passion-nya, termasuk saya dan seorang DJ bernama Vernon yang kisahnya saya tonton dalam video di http://www.youtube.com/watch?v=7zK-E9th8uQ. Vernon yang semula kerap dipandang sebelah mata dengan kemampuannya, akhirnya mampu menunjukkan hidden passion-nya pada khalayak luas berkat support besar dari Acer Aspire P3. DJ Vernon membuktikan bahwa untuk menghasilkan sesuatu yang luar biasa, sejatinya bisa dilakukan dengan bantuan perangkat kecil yang meski terlihat biasa tapi mengandung fungsi yang amat sangat luar biasa, tentunya ditunjang oleh keyakinan diri untuk menunjukkan bahwa diri istimewa dengan passion yang dimiliki.

Referensi:
-http://www.acerid.com/?p=4102

Tulisan ini diikutsertakan dalam “Follow Your Hidden Passion” Blog Contest bersama Acer Indonesia. Jika ingin join juga, Baca caranya di sini!

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis