Kamis, 14 November 2013

Mimpi Uwak (Lagi)

Tadi malam saya mimpiin Uwak lagi. Seperti mimpi-mimpi sebelumnya, di mimpi ini pun saya sangat sadar betul kalo sebenernya Uwak sudah gak ada. Dan lagi-lagi seperti mimpi sebelum-sebelumnya, di mimpi ini juga saya melihat Uwak dengan kondisi fisik yang segar; masih gemuk dan berambut panjang, sebelum akhirnya dampak kemotherapy mengikis tubuh dan rambutnya habis-habisan hingga meninggal dunia.

Satu hal lagi yang selalu sama ada di setiap mimpi saya tentang Uwak, adalah rasa sesal yang luar biasa karena belum meminta maaf dan berterima kasih secara langsung, secara sungguh-sungguh... tentang berbagai sikap pembangkangan dan kurangajar yang sering saya lakukan padanya yang walau bukan orangtua kandung, tapi kebaikannya setara dengan Ayah dan Ibu.

Yang membuat aneh, di mimpi ini turut berperan sebersit keinginan untuk menuliskan tentang pertemuan saya dan Uwak (yang ternyata adalah mimpi) itu di blog ini, lengkap dengan satu-satunya foto buram yang menjadi kenang-kenangan tentang Uwak (Uwak tidak suka difoto, sempat beberapa kali dulu saya ingin memfotonya, tapi Uwak selalu memalingkan muka) yang diambil secara diam-diam oleh adik saya saat Lebaran tahun 2010 (di sini Uwak masih sehat, badannya masih gemuk dan bugar), dan video berisi keponakan saya yang sedang bernyanyi serta kebetulan menangkap dengan jelas gambaran Uwak yang saat itu sudah kurus kerontang tergerogoti kanker (https://www.facebook.com/photo.php?v=630122477007170&set=vb.100000282707057&type=3&theater).

Dalam mimpi ini, saya melihat Uwak datang ke rumah dengan memakai kain kemben sebatas dada. Rambutnya yang panjang nyaris menggapai bokong itu tergerai dan tampak sedikit basah, tapi tanpa uban sama sekali. Badannya yang semasa hidup dan sehat jauh lebih pendek dan lebih gemuk dari saya, di mimpi ini terlihat satu jengkal lebih tinggi dari saya dan juga lebih langsing dari semasa hidupnya. Entah kenapa, di mimpi itu saya mengira Uwak habis mandi di kali sepulang dari sawah. Saya langsung menubruk dan memeluk Uwak sambil menangis di gapura rumah yang membatasi antara ruang tamu dan ruang keluarga. Saya meminta maaf dan menangis penuh penyesalan.

"Uwak, maafkeun Eli, Uwak. Maafkeun..."

Saya gak tau bagaimana respon Uwak, karena lagi-lagi ada keanehan di mimpi ini, walau saya berhadapan dengannya, saya hanya bisa melihat bagian tubuh selain wajah (bahkan saya lebih bisa melihat punggungnya dengan jelas). Seolah wajahnya tersembunyi untuk saya lihat.

Seperti yang sudah saya uraikan sebelumnya, dalam mimpi ini saya (lagi-lagi) sadar betul kalau sebenarnya Uwak sudah meninggal. Saat memeluknya sambil meminta maaf, dalam hati saya bersyukur pada Allah karena telah mengabulkan doa saya untuk memberi kesempatan terakhir bertemu dengan Uwak dan meminta maaf padanya (sama seperti di mimpi-mimpi tentang Uwak sebelumnya). Menghilanglah sedikit penyesalan saya saat pertama kali tau kalau Uwak sudah tiada, tepat di malam tahun baru kemarin, tepat di saat saya menangis berjam-jam tanpa alasan yang jelas di bawah guyuran air hujan di lapangan luar Stadion Mandala Krida.

Setelah memeluk Uwak, saya membimbingnya untuk duduk di kursi depan TV, kursi yang biasa didudukinya saat masih hidup dan sedang dalam keadaan sakit (karena setiap sakit, Uwak akan tinggal di rumah ortu saya, rumahnya sendiri berada dekat rumah ortu saya. Dan saat masih sehat, biasanya Uwak duduk di ambang pintu rumah samping setiap kali menonton TV). Di situ saya mulai takut, Uwak kan sudah meninggal dan sekarang diam saja, saya takut Uwak marah dan tidak memaafkan saya. Penyesalan itu kian melonjak-lonjak.

Saya menyesal karena belum sempat meminta maaf padanya, saya menyesal karena belum pernah berterima kasih dengan sangat atas segala kebaikannya, saya menyesal karena belum sempat membalas segala jasanya, saya menyesal kenapa Tuhan mengambilnya saat saya belum bisa mengusahakan apa pun untuk kebahagiaan dunianya. Uwak saya yang janda dan mandul itu memang menghabiskan seluruh hidupnya bersama saya dan saudara-saudara saya yang lain untuk diurusinya selayak anak sendiri.

Ketika saya bangun, saya merasa sangat sedih dan jengkel menyadari (lagi-lagi) itu hanya mimpi. Sama kesalnya dengan kala saya memimpikan Ibu meninggal. Harus saya akui, kepergian Uwak ke alam baqa adalah pengalaman perdana bagi saya merasakan sakitnya kehilangan yang sebenar-benarnya hilang. Perpisahan yang diputuskan oleh maut, dan belum tentu saya masih bisa bertemu dengannya di alam sana--sekalipun nanti jika saya sudah meninggal juga.

Sulit rasanya untuk menguraikan bagaimana pedih dan sedihnya penyesalan yang saya alami ini. Sebuah penyesalan yang pada akhirnya memberi lecutan keras pada saya untuk tidak mengulur waktu dalam pengusahaan untuk membahagiakan orangtua yang kini tersisa dua--Ayah dan Ibu. Saya bekerja keras untuk menciptakan kehidupan yang nyaman dan layak bagi masa tua mereka, cukup Uwak yang kematiannya saya sesali karena terlambat memberinya kebahagiaan.

Musibah sakit kanker lidah yang dialami Uwak, yang menyebabkan orangtua saya harus membawanya berobat ke berbagai tempat termasuk kemotherapy di RS Hasan Sadikin Bandung, yang akhirnya bisa menyadarkan saya kalau saya harus sudah tidak lagi menjadikan beban orangtua saya kian berat. Dengan penyakitnya ini pun, saya yakin Uwak merasa terbebani bukan hanya fisiknya, tapi juga batinnya. Saya yakin Uwak memikirkan bagaimana sulitnya orangtua saya yang tak tergolong orang kaya itu harus banting tulang mencari uang untuk biaya hidup dan kuliah saya juga di Jogja. Hal itu juga yang membuat saya amat sangat menyesal hingga kini, saya mendahului takdir Allah dengan beranggapan masih ada hari esok untuk menceritakan pada Uwak di liburan Lebaran kemarin, saat dengan tulusnya Uwak masuk ke kamar saya yang pada saat itu sedang packing untuk kembali ke Jogja dan menyerahkan uang Rp50.000,-, saya menolak meski Uwak memaksa.

"Cuma 50 ribu doang."

Kata Uwak saat saya menolak dengan tenang dan memintanya menyimpannya saja untuk jajan sendiri. Uwak terlihat bingung karena dulu saya tidak pernah menolak saat diberi. Tentu saja, karena dulu Uwak masih sekat dan masih bisa bekerja di sawah, dan dulu pun saya masih jadi benalu pecundang yang tak tau malu meminta uang dari orangtua. Lebaran tahun 2012 itu semuanya sudah berbeda, Uwak tak lagi sehat, tak lagi bekerja, uang yang dipunyanya pun hasil dari zakat fitrah Lebaran. Dan yang terpenting, saat itu saya sudah bekerja dan menghasilkan uang sendiri di Penerbit Harfeey. Tapi saya menyesal kenapa tidak menceritakan alasan saya menolak pemberiannya itu pada Uwak. Saya menyesal karena membiarkannya kebingungan atas penolakan saya. Dengan takaburnya malah saya berniat menyimpan cerita itu sampai liburan Januari depannya, saat waktu yang saya rencanakan untuk kembali pulang dan liburan di rumah. Januari nanti saja saya ceritakannya, pikir saya, sambil saya membawakan sesuatu sebagai hadiah untuk Uwak. Tanpa saya prediksi, bahwa segala sesuatu bisa terjungkirbalik bahkan di satu detik kemudian.

Uwak sudah pergi, tepat dua minggu sebelum kepulangan saya. Tepat di malam di mana saya menangis tanpa sebab. Dan paginya, saya menerima kabar itu via telepon dari Ibu, tepat ketika beberapa menit sebelumnya saya melewati sebuah toko herbal yang juga menjual obat-obat untuk kanker, dan terbersit di pikiran saya untuk membelinya nanti saat saya liburan pulang besok, membelinya untuk Uwak yang saat masih kecil pernah saya buat menangis sambil duduk di pintu rumah karena saya rewel ingin membeli berondong jagung di pasar Jumat. Saya tidak tau kenapa saat itu Uwak tidak membelikan saya berondong jagung itu, dan malah memaksa saya pulang yang terus menangis sambil meronta-ronta di sepanjang jalan. Saya tidak tau kenapa Uwak malah membelikan saya teng-teng di warung yang kemudian saya tolak mentah-mentah walau seberapa keras usaha Uwak membujuk saya. Saya terus menangis sepanjang jalan bahkan sampai ketika saya sudah di rumah. Uwak yang lelah membujuk dengan mengatakan kalau teng-teng ittu enak, akhirnya menangis karena lelah menghadapi kenakalan saya. Baru saat itu akhirnya saya diam dan menyesal. Saya tidak tau kapan tepatnya itu terjadi, tapi yang pasti saat saya belum memasuki usia sekolah. Dan sampai saat ini, saya pun tidak tau kenapa saat itu Uwak tidak menuruti keinginan saya untuk membeli berondong jagung yang hanya dijual seminggu sekali di Pasar Jumat, padahal biasanya Uwak tidak pernah menolak permintaan saya maupun saudara yang lain. Saya tidak tau, dan mungkin tidak akan pernah tau lagi karena satu-satunya orang yang bisa saya tanyai sudah tiada.

Saat masih hidup, ada dua cerita yang berulang kali Uwak kisahkan tanpa bosan. Pertama, tentang penyesalannya yang tidak bisa memberikan uang 25 perak pada kakak kedua saya, hingga akhirnya kakak saya itu meninggal di usianya yang ke-4 tahun. Katanya Uwak menyesal karena saat itu dia tidak punya uang sama sekali untuk memberinya jajan, bahkan sampai kakak saya meninggal. Dan kini, penyesalan luar biasa itu pun sedang dan selalu saya rasakan karena sampai akhirnya Uwak meninggal, saya belum memberikan satu pun kebahagiaan sebaagai balasan. Kedua, tentang keinginannya yang sebagai manusia yang tak berayah-ibu, tak bersuami, dan tak beranak kandung itu untuk meninggal tanpa harus merepotkan orang lain terlebih dahulu, dia ingin meninggal saat tidur. Tapi ternyata Allah berkehendak lain, diberi-Nya hadiah rasa sakit di sekujur tubuh akibat kanker lidah, untuk penggugur segala dosa-dosanya (aamiin). Selama lebih dari satu tahun sakitnya itu bisa dibilang merepotkan banyak orang, walau sebenarnya semasa sehat dulu dia sering menawarkan diri untuk direpotkan oleh orang lain.

Hingga detik ini, saya masih tidak bisa untuk tidak menangis setiap kali mengingat Uwak. Ya Quddus, muliakan jasadnya dalam kubur yang lapang, utamakan ruhnya untuk bersanding tepat di samping-Mu.

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis