Minggu, 17 November 2013

Cerpen; Talk to My Middle Finger

Seseorang me-mention nama akun facebook-ku dalam komentar di sebuah posting-an yang ada dalam salah satu grup. Aku mengernyit heran sebelum meng-klik untuk mencari tau ada urusan apa orang-orang di grup “aneh” itu menyeret namaku. Hal itu membuat aku sadar kalau aku belum sempat mengeluarkan diri dari grup tersebut setelah seseorang yang tak kukenal pasti meng-invite-ku ke sana tanpa izin—seperti umumnya sebuah grup.

Aku memang typikal orang yang malas bergabung dengan banyak grup. Sebagai seorang penulis, berbagai grup kepenulisan yang kini kuikuti pun sangat kuseleksi. Daripada hanya nyepam notification, lebih baik aku memilih beberapa grup saja yang kurasa benar-benar bermanfaat untukku. Dan grup aneh itu sama sekali tak termasuk ke dalam list grup berkualitas apalagi bermanfaat bagiku.

Saat tanganku mulai men-scroll mouse, wajahku mengeras melihat komentar-komentar yang muncul dari banyak anggota yang—demi Tuhan—sebagian besarnya tak kukenal sama sekali. Komentar yang bermula dari seseorang yang mengutip salah satu quote di novel terbaruku, yang kemudian beranak pinak dan melenceng ke luar tema.

Aku masih bisa hidup tanpa kamu, tapi yang kumau adalah hidup yang di dalamnya ada kamu. –Deera Ita, Sebelah Hati-

Tulis seseorang dengan nama akun Aznia Azkia Luppi, yang ternyata merupakan tanggapan dari posting-an admin grup tersebut yang kurang lebihnya menanyakan quote paling terfavorit dari buku yang pernah dibaca.

Tak disangka, berselang beberapa komentar setelahnya, seorang provokator yang mengaku pada anggota grup tersebut merupakan teman SMA-ku selama tiga tahun berturut-turut, justru menyulut api kebencian yang kemudian diperparah dengan guyuran bensin dari salah satu anggota lain yang sama sekali tak pernah kukenal, baik di dunia maya apalagi di dunia nyata.

Aznia Azkia Luppi, si Deera Ita penulis buku itu, kan, dulunya satu SMA, loh, sama aku. 3 tahun kami sekelas, tapi sekarang... gila, sombong banget!

Tulis akun dengan nama Fita Fiti Futu, provokatif dan sangat melenceng dari pembahasan isi posting-an. Dan setelahnya, kontan namaku menjadi headline. Orang yang tak mengenalku, kemudian banyak yang tiba-tiba mengaku mengenalku. Orang yang bahkan tak pernah bertegur sapa di dunia maya pun, secara lancang bisa menyimpulkan kalau aku memang orang sombong hanya dengan melihat update-an statusku.

Oh, si Deera Ita itu. Emang dari status-statusnya juga udah bisa keliatan, sih, kalo dia itu orangnya sombong.

Tulisan superbodoh dari seseorang yang tak kukenal dan tak ingin kukenal. Akun bernama Anengnong Nizta yang bahkan ku-konfirmasi permintaan pertemanannya pun setelah dia memohon-mohon di inbox facebook agar aku mau menjadikannya masuk ke dalam friend list.

SO FUNNY! Ketika aku butuh waktu puluhan tahun untuk benar-benar mengenal siapa dan seperti apa diriku, orang-orang itu dengan sok taunya merasa paling mengetahuiku—seolah aku terlahir dari muntahannya!

Wajahku kian mengeras, dengan tangan gemetar karena menahan marah, kuluapkan emosiku. Aku bukan orang baik seperti mereka, yang bisa bersabar untuk mengabaikan pengusiknya dalam pembiaran yang nyaman. Terus memberi kesempatan bagi mulut-mulut berbisa itu untuk menyemburkan buih kebencian hingga mereka bosan. Tidak, itu sangat bukan aku. Saat ada orang yang menoyor kepalaku, aku akan menepisnya. Mencengkram tangannya dan memperingatkannya dengan keras kalau aku tidak suka dengan apa yang dilakukannya padaku.

@Fiti yang TERHORMAT. Saya tidak tau kamu ada masalah apa dengan saya. Saya tidak tau kapan kamu menyapa saya dan saya diam saja—hingga akhirnya kamu menyebarkan opini publik kalau saya ini sombong. Saya tidak tau. Yang saya tau, saya tidak pernah dan tidak ingin memiliki urusan dengan orang seperti kamu—terlebih setelah ini. Dan yang perlu kamu ingat, orang yang katamu SOMBONG ini, masih sangat hapal mati kalau kita hanya sempat satu kelas selama 2 tahun di SMA—kelas 1 dan 2, bukan 3 seperti yang kamu gemborkan.

Tulisku dengan caps lock pada kata “terhormat”, sebuah ironi yang sengaja kulakukan. Aku marah, namun harus tetap menunjukkan cara elegant dalam meluapkannya.

Well, aku dan orang menyebalkan yang tiba-tiba muncul di hadapan publik dengan mengaku sebagai teman SMA-ku itu, masih kuingat jelas hanya sempat satu atap dalam 2 tahun masa ajaran sekolah. Bahkan aku masih sangat hapal bagaimana dulu teman-teman sering mem-bully-nya. Gadis pendek dan berperawakan tambun namun memiliki kadar kenarsisan berlebih—hingga terkesan menyebalkan bagi para teman-teman cowok.

Aku pun masih ingat bagaimana dulu aku cukup sering membelanya yang kerap diejek dengan sebutan “Gentong Amerika” oleh salah seorang teman cowok yang kutau juga ada hati padaku, hingga tak jarang hal itu mengundang tawa ejekan dari yang lain. Aku memarahi anak itu setelah tak sengaja melihat si Fiti mengelus dadanya sambil berkata “Sabar” pada dirinya sendiri.

Aku memang merasa tak begitu dekat dengannya, tapi aku pun yakin kalau aku tak pernah merasa punya masalah dengan dia. Kecuali kalau memang dia sendiri yang merasa bermasalah denganku. Yang kutau—buah kata salah satu seniorku—setiap orang yang sudah dianggap “tinggi”, memang akan selalu menemukan kerikil dari orang-orang yang dengan segala upaya berusaha untuk menimbulkan cela. Tak berlebih jika kukatakan apa yang dilakukannya bisa mematikan pasaranku sebagai penulis.

@Anengnong Sang Pakar PENGAMAT. Sebelumnya, bisa tolong ingatkan saya kapan dan di mana kita pernah saling mengenal? Karena jujur saja, sebelumnya saya merasa tidak pernah mengenal Anda. Dan hal itu yang kemudian membuat saya bingung luar biasa, atas dasar apa Anda bisa mengeluarkan statement kalau Anda bisa tau kepribadian saya hanya dengan melihat update-an status facebook? Yang padahal juga isinya hanya seputar kegiatan saya atau quote-quote yang ada di buku-buku saya.

Sekian menit kutunggu, tak ada respon apa pun dari dua orang yang bersangkutan. Entah mereka memang sedang tak online, atau mereka masih shock karena yang kukira sepertinya mereka tak tau kalau aku pun menjadi salah satu anggota grup ANEH itu.

Bagi kalian, sekarang ini keberadaan saya mungkin tak ubahnya seperti titik hitam kecil di hamparan kain berwarna putih. Namun jangan lupakan satu hal, Tuhan Maha Membolak-balikkan Keadaan. Mana tau orang yang sekarang menurut kalian tak ada pentingnya sama sekali ini, justru akan menjadi orang yang sangat kalian butuhkan untuk dimintai pertolongan di masa esok. Hukum alam itu berlaku.

Tutupku sebelum kemudian mengeluarkan diri dari grup penebar ghibah dan desas-desus itu. Mencoba mengabaikan celetukan-celetukan komentar tak penting dari para anggota lain.

Berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga akhirnya berbilang tahun, tak kudapatkan kepastian respon dari mereka berdua. Atau bahkan sekadar permintaan maaf karena telah membiarkan orang lain bergunjing di “rumahnya” pun tak dilakukan oleh si Admin yang kerap menyertakan gelar pendidikannya di akhir posting-an.

Yang kulakukan setelah keluar dari grup itu adalah segera meng-hide akun Fiti—sengaja aku tidak me-remove atau mem-blokirnya, aku ingin membuat dia semakin gerah dengan posting-an berbagai keberhasilan yang akan kuraih dan kupersembahkan khusus bagi orang yang sangat “perhatian” semacam dia. Sementara untuk akun orang dengan nick name Anengnong Nizta, langsung kublokir tanpa ampun. Muak rasanya membiarkan penjilat menyesaki friend list-ku.

Sekali lagi kutegaskan, aku bukan orang baik bagi orang yang gemar “mengusikku”.

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis