Sabtu, 16 November 2013

Cerpen; Ayah?

Dentangan itu masih serupa dengan kali pertama aku menikmati dengarnya. Tetap mendayu, menyesap luka yang merembes di sekelilingnya untuk turut melarung kisi-kisi duka bersama liukan melodi. Aku menikmati, meski dalam kediamanku yang kerap merajai.

Lelaki berjambang itu, yang memiliki potongan rambut paruh burung pelatuk, tanpa disadarinya telah menjadi teman setiaku dalam melewati masa-masa sulit di perasingan. Suatu tempat antah berantah, yang aku dilempar ke dalamnya. Demi keberlangsungan hajat hidupku yang hanya tinggal separuh-separuh putaran waktu.

Aku menyibakkan rambut pirangku yang masai. Setelah merapihkan letak topi yang menutupi benjolan tak lazim di puncak kepala, aku kembali membenamkan diri bersama dentangan itu. Melesakkan setiap makna yang dialunkannya, hingga palung hati terdalam. Terkadang aku harus berpura-pura mencari karang atau mengejar rumput lari di sepanjang pesisir pantai, agar bisa memiliki alasan lebih lama berada di dekatnya, si lelaki kulit hitam pemetik senar gitar.

Entah kenapa, aku merasa ada suatu perasaan aneh yang menggagahi hatiku, setiap berada di jarak tak kurang dari lima meter dari lelaki yang namanya saja tak kudeteksi itu. Bahkan seraut rupanya pun terlampau sulit untuk kubingkai dalam mimpi di malam-malamku yang mengelabu. Dia begitu asing, namun terasa dekat dan mendamaikan. Aku seolah telah mengenalnya seumur hidup.

Aku masih tetap memaku diri untuk berdiri di tepian pantai ini, terkesan tak mengacuhkan dentangan malaikat itu dengan terus memunggunginya. Sesekali aku berusaha beralibi, mencari kesibukan dengan mempermainkan anak-anak pasir yang terhampar di bawah kakiku, hanya agar lelaki itu tak curiga, bahwa aku tengah menikmati pesonanya.

Satu detik berikutnya, alunan itu tiba-tiba tertelan deru angin dan menghilang. Bersamaan dengan suara bariton berat yang menyapaku dari belakang.

“Eleanor?”

Aku memutar kepalaku 120 derajat. Mataku membeliak kaget. Dari mana dia tau namaku? Aku menghadapnya, senyuman canggung yang lebih mirip seringai langsung menjamuku dari rautnya.

“Kau siapa?” Tanyaku defensif dan mulai membangun benteng pertahanan. Kalau-kalau lelaki yang beberapa menit lalu sempat kukagumi ini berniat asusila.

“Bagaimana kesehatanmu? Apa kau merasa sakit di sini?”

Segera kutepis tangan besarnya yang hendak menjamah topi yang melindungi kepalaku. Sorot mataku memandang nyalang, menuntut penjelasan panjang atas tindakan berlebihannya sebagai orang yang tidak kukenal.

“Maaf, maafkan aku. Kau pasti sangat menderita, Elle. Maafkan aku yang belasan tahun melepas tanggungjawab atas nyawamu, Nak.”

Lelaki kulit hitam di depanku itu mulai terisak. Menyanyat sisi sensitifku untuk turut menumpahkan buncah airmata. Namun kepingan-kepingan otakku masih tercecer, bagai puzzle yang sedang kuusahakan keras untuk menyusunnya. Aku terlalu sulit mencerna kata demi kata yang meretas getas dari bibir legamnya. Siapa dia? Siapa aku baginya?

0 Tanggapan:

Posting Komentar

Respon koment akan disesuaikan dengan isi koment. No SPAM, RASIS, HUJATAN, dsj. Merci.... :)

© Born to be "Antagonis" 2012 | Blogger Template by Enny Law - Ngetik Dot Com - Nulis